Sekilas Pengetahuan Dasar Flu Burung

Biasanya virus flu burung hanya menjangkiti burung-burung. Virusnya terdapat pada kotoran burung yang terinfeksi. Penyakit ini gampang sekali menular dari burung ke burung. Jenis-jenis binatang lainnya, seperti macan, kucing dan babi dapat pula terinfeksi oleh flu burung ini.

Wabah flu burung sekarang ini sangatlah cepat, sulit untuk diatasi dan belum pernah terjadi sebelumnya. Migrasi dari unggas air dipercaya sebagai penyebar virus flu burung dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya.

Kasus pada manusia
Virus H5N1 menjangkiti manusia di Indonesia . Sebagian besar dari manusia yang terinfeksi meninggal dunia. Sebagian besar kasus berjangkit pada manusia yang bekerja atau tinggal di dekat peternakan unggas. Anak-anak lebih banyak terinfeksi penyakit ini dibandingkan orang dewasa.

Kemungkinan terjadinya wabah
Ada kekhawatiran bahwa virus H5N1 mengalami perubahan genetik, atau meniru gen dari virus influenza lainnya. Perubahan ini memungkinkan H5N1 menyebar dengan mudah dari manusia ke manusia. Karena pada umumnya penduduk memiliki sedikit kekebalan atau bahkan tidak adanya kekebalan samasekali terhadap virus burung ini, penularan dan wabah dunia dapat meluas dengan cepat. Wabah dunia ini dapat menyebabkan jumlah kematian yang sangat tinggi.

Salah satu cara pencegahan Flu Burung
Pencegahan yang di lakukan oleh pemerintah pada saat ini adalah memberikan vaksin kepada hewan unggas yang dimiliki setiap warga secara cuma-cuma, namun tidak cukup hanya dengan itu saja. Melainkan peran aktif dari warga sendiri sangat lebih penting untuk mencegah virus tersebut, salah satunya dengan selalu membersihkan kandang hewan unggas tersebut dengan rutin.

Mencari Kampiun Lokal dengan Pendekatan Partisipatif

Oleh Dadan Junaedi,

DARI waktu ke waktu, kondisi alam semakin tidak bersahabat dengan manusia. Hal ini, disadari atau tidak, disebabkan oleh adanya campur tangan manusia dalam mengelola alam. Lihat saja, dalam sehari saja hutan di Indonesia bisa hilang lebih kurang seluas lapangan sepak bola. Saat ini, ada 93,6 juta ha lahan yang terdegradasi (setara dengan tiga kali luas negara Italia) disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan, konversi hutan, ekspansi lahan pertanian yang tak terencana, dan juga berbagai konflik sosial terkait isu kehutanan (Nawir dkk., 2007).

Kondisi hutan ini diperparah dengan timpangnya laju degradasi dan rehabilitasi lahan. Menurut data dari Departemen Kehutanan (2007), laju degradasi hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta ha, sedangkan inisiatif rehabilitasi rata-rata per tahun melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) mencapai 500.000 ha sampai 700.000 ha per tahun. Fakta ini menunjukkan, ada selisih 500.000 ha per tahun lahan rusak yang tidak terehabilitasi. Akibatnya, ketika musim hujan, muncul arus air pada permukaan tanah karena lahan gundul semakin luas. Sementara pada musim kemarau, daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang dan menyebabkan kekeringan. Pada musim hujan, masalah tersebut mengundang bencana lain, seperti banjir. Banjir adalah bencana yang relatif sering terjadi, demikian juga di Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, selama 1997-2004, terjadi 229 bencana banjir dan 219 tanah longsor di Indonesia yang mengakibatkan ratusan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal, harta benda, bahkan nyawa.

Berbagai upaya "pelestarian lingkungan" sering kali dilakukan berbagai pihak untuk melakukan kegiatan dalam masalah penyelesaian lingkungan hidup ini sehingga muncul banyak program kegiatan lingkungan hidup di masyarakat. Sayangnya, program lingkungan hidup tersebut disinyalir kurang mendapat respons yang baik serta kurang melibatkan masyarakat secara penuh.

Banyak pihak, khususnya pemerintah, merasa sudah melakukan proses-proses partisipatif. Namun, kenyataan di lapangan masih terlihat ketidakpuasan masyarakat karena merasa tidak ada atau masih minus keterlibatannya. Masyarakat masih dianggap objek sebuah "projek", di mana ketika muncul hal tersebut tidak menimbulkan potensi-potensi masyarakat itu sendiri. Semua sudah teratur. Dengan model pendekatan seperti itu, pertemuan yang layaknya menjadi pertemuan yang menggali partisipasi masyarakat menjadi ritual yang tidak ada "roh partispatif"-nya. Semuanya tersekat karena jadwal projek dan pelaporan administrasi.
Dengung tentang metode partisipatif sudah lama sekali terdengar. Namun dengan cara demikian, metode ini tidak dipahami dengan benar. Muncul berbagai persepsi dan pemahaman yang berbeda tentang partisipasi. Sejak kata pendekatan partisipatif semakin populer, namun praktik di lapangan yang salah ini menghasilkan banyak "projek partisipatif" yang sering kali terlalu menyederhanakan masalah-masalah yang kompleks.

Pendekatan partisipatif atau participatory sudah populer di kalangan LSM maupun pemerintahan, apalagi saat krisis moneter. Pendekatan partisipatif pun mengalami perkembangan pesat. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai pendekatan yang mulai lebih mementingkan partisipasi (keterlibatan masyarakat) dengan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat secara aktif dalam mencapai tujuan program.

Secara eksplisit, partispasi masyarakat sendiri telah diatur oleh negara melalui Peraturan Pemerintah No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Dengan demikian, secara konstitusi masyarakat sudah punya hak dan kewajiban memberikan kontribusi dalam proses pembangunan. Hingga saat ini, proses-proses partisipasi masyarakat masih terabaikan.

Kampiun lokal
Menilik apa yang sudah dilakukan oleh Environmental Services Program (ESP) - USAID telah dilakukan serangkaian kegiatan tentang persoalan-persoalan lingkungan hidup, perubahan perilaku hidup sehat, sanitasi, dan persampahan. Dalam proses pelaksanaan programnya, ESP mempunyai strategi kunci ,yaitu dengan pendekatan partisipatif.
Melalui pendekatan ini, masyarakat lokal diposisikan sebagai "manajer" dan dilibatkan secara aktif dalam proses setiap tahap inisiatif, misalnya dalam program rehabilitasi lahan, masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pengelolaan. Dalam pengalaman pelaksanaan program-programnya secara partisipatif terdapat berbagai keuntungan.

Pertama, sesuai dengan kebutuhan setempat. Inisiatif ini akan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan di tingkat lokal sejak awal, mulai dari identifikasi kebutuhan rehabilitasi, perencanaan, pemilihan spesies yang akan ditanam, penanaman, pengelolaan serta monitoring, dan evaluasi secara partisipatif

Kedua, meningkatkan rasa kepemilikan terhadap upaya rehabilitasi lahan karena inisiatif ini melibatkan masyarat dan para pemangku kepentingan di tingkat lokal maka muncul rasa memiliki yang lebih kuat. Hal ini menjamin komitmen mereka untuk memastikan keberhasilan upaya tersebut.

Ketiga, kepastian hak kelola masyarakat. Dalam hal ini masyarakat didorong untuk melakukan penyusunan kebijakan tingkat lokal secara kolaboratif yang menjamin hak akses masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan (baik yang berfungsi sebagai kawasan konservasi seperti hutan lindung, taman nasional, cagar alam, maupun hutan produksi).
Ini merupakan insentif yang cukup menarik bagi masyarakat lokal sehingga bisa menumbuhkan komitmen jangka panjang mereka dalam upaya merehabilitasi lahan.
Masyarakat pun akan terlatih untuk mencoba membangun relasi dan bekerja sama dengan berbagai instansi dan jaringan kerja lainnya--yang terkait dengan program pelestarian lingkungan, misalnya Dinas Pertanian, PU Pengairan, Lingkungan Hidup, dan lainnya. Dengan demikian, masyarakat telah membentuk dirinya sebagai kampium lokal dalam melindungi aset-aset lingkungan yang dimilikinya.

Dimuat di Pikiran Rakyat, Senin 22 Desember 2008

KOMUNIKASI ORGANISASI

Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan
(Dedi Mulyana, Rosdakarya,2006)


Sifat – sifat kita sekitar organisasi :
- Orang kita menyukai organisasi yang baik
- Seperti hal-nya mereka menyukai tim olahraga yang mengalahkan tim lainnya
Yang belum mempunyai nama.
- Meski sebenarnya budaya kita cenderung menekankan individualisme
- Kita juga mementingkan aktivitas terkoordinasi yang menghasilkan sesuatu yang istimewa.
(Mulyana Dedi,2006,3)

Organisasi / Pengorganisasian
Sebagian orang mempunyai cara pandang baik objektif ataupun subjektif, pandangan objektif antara lain menyarankan bahwa sebuah organisasi adalah bersifat fisik dan konkrit dengan struktur dengan batasan yang konkrit. Sebagian orang menyebut pendekatan ini sebagian pandangan yang menganggap organisasi sebagai wadah, organisasi eksis sebagai seperti sebuah keranjang dan semua unsur yang membentuk organisasi tersebut ditempatkan dalam satu wadah. (Mulyana Dedi,2006,11)

“Organisasi” (organization), secara khas dianggap sebagai kata benda, sementara “Pengorganisasian” (organizing), dianggap sebagai kata kerja,(Weick,1979).

Jadi jawaban untuk organisasi tergantung pada perspektif yang diambil, dan untuk tujuan studi, penting untuk disadari bahwa tidak satu perspektif pun yang menjawab pertanyaan itu secara lengkap. (Mulyana Dedi,2006,11)

Sumber:
KOMUNIKASI ORGANISASI
Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan
(Dedi Mulyana, Rosdakarya,2006)

Bentuk-bentuk Komunikasi Politik

Bentuk-bentuk Komunikasi Yang Mendominasi Komunikasi Politik

1. Kampanye
Pada dasarnya pidato, kampanye, dan propaganda merupakan bentuk-bentuk komunikasi antarmanusia (human communications) yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan teknik dan metode tertentu pula.
Istilah kampanye berasal dari Bahasa Inggris campaign yang juga berasal dari Bahasa Latin campus yang berarti “extensive track of country, series of operation in a particular theactric war, an organized series of operation, meeting canvassing”. Hal ini membawa permasalahan ke masalah berkomunikasi populer/popularisasi tentang suatu masalah.
Menurut Rice dan Paisley yang dikutip oleh F. Rachmadi dalam dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) bahwa kampanye adalah keinginan seseorang untuk mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku orang lain dengan daya tarik yang komunikatif. Tujuan kampanye adalah menciptakan ‘perubahan’ atau ‘perbaikan’ dalam masyarakat... (1993 : 134).
Menurut Astrid S. Soesanto dalam buku Pendapat Umum menyatakan bahwa prinsip dasar dalam kampanye adalah bahwa kampanye mengikuti proses komunikasi dan unsur-unsurnya, yaitu :
Proses Rasionalisasi/Emosionalitas. Proses rasional yaitu apa yang secara harfiah disampaikan dalam suatu kegiatan komunikasi. Proses emosional yang “sekedar” tersirat dalam penyampaian informasi. Proses rasionalitas biasanya terjadi waktu orang membahas hal-hal yang tidak terlalu melibatkan kepentingan pribadinya sehingga konsensus mudah tercapai. Unsur rasionalitas adalah proses pengoperan lambang-lambang secara harfiah dan proses komunikasi ialah proses emosionalitas yang mengiringi informasi rasional tadi. Tingkat emosionalitas dapat dideteksi melalui : pilihan kata dan tanda penyampaian. Hal lain yang berkaitan dengan proses rasionalitas adalah anteseden yaitu sumber pengalaman yang mendahului.

Unsur emosionalitas dan rasionalitas juga makin meningkat atau berkurang bila dikaitkan dengan :
• Kemampuan ekonomi/pendidikan
• Relevansi dengan hidup
• Demi waktu/rencana memanfaatkan waktu

Proses Informasi dan Proses Komunikasi. Proses perumusan informasi diambil dari sumber retreval yang tepat sumber, tepat alinea, tepat digit. Proses Komunikasi dengan retreval ditentukan oleh anteseden atau pengalaman yang mendahului, tetapi yang terpenting ialah adanya logika yang mengkaitkan informasi baru dengan informasi lama. (1975 : 123).

Sedangkan pendapat F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) bahwa dalam melaksanakan kampanye ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, antara lain :
Perkiraan terlebih dahulu kebutuhan, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan dari khalayak sasaran.
• Rencanakan kampanye secara sistematis.
• Lakuakan evaluasi secara terus-menerus.
• Gunakan media massa dan Komunikasi Interpersonal.
• Pilihlah media massa yang tepat untuk mencapai khalayak sasaran. (1993 : 135).

Menurut Astrid S. Soesanto secara ilmiah proses kampanye berjalan sebagai berikut :
mirip dengan iklan, tetapi lebih kuat dan agresif (Catatan : iklan adalah sejenis kampanye memerlukan proses lebih panjang dan lama) kampanye “mencegat” orang hampir di semua sudut. Tidak menyerahkan pengaruh kepada free market / social forces, menemui sasarannya dalam berbagai bentuk, keberhasilan kampanye ditentukan oleh tersedianya sesuatu segera setelah pesan mencapai sasaran, singkatnya kampanye “mengeroyok” sasaran di mana-mana dengan kata dan kegiatan, dan tidak mengenal ragu dan sangat yakin dan meyakinkan.(1975 : 124)

Selanjutnya menurut Astri S. Soesanto sebelum mengadakan program kampanye perlu diadakan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan dalam merumuskan suatu program pesan-pesan kampanye, seperti :

siapakah komunikator , kepentingannya dan sasarannya ?
apakah lingkungan mendukung ?
• bagaimana ketersedian “sesuatu” alternatif bila pesan kampanye diterima khalayak ?
• bagaimanakah masa depan “sesuatu” (yang dikampanyekan) berikut unsur pendukung dan persaingan

Semua topik telah diteliti, seperti sasaran, lingkungan, latar belakang budaya, overlapping of interest (perimpitan kepentingan). Contoh overlapping of interest adalah KB memakai perbaikan taraf hidup asebagai sasaran, yang “berimpit” dengan sasaran dan harapan masyarakat.
Apakah data secara rasional telah siap untuk merumuskan slogan atau motto yang sesuai dan tidak memaksakan. Contoh motto BERIMAN (Bersih Indah dan Aman); ASRI (Aman Serasi Rapi Indah) merupakan motto yang dipaksakan. Slogan Sumedang Tandang cukup berhasil memacu masyarakat Sumedang untuk membangun dan setiap warga berpikir demikian tanpa adanya motto di jalan-jalan.
Dalam kampanye memungkinkan untuk dialog, karena kampanye bersifa two way traffic communication dan juga kampanye menggunakan pendekatan modern bersifat ekspresif. Hal ini membuat kampanye berbeda dengan propaganda.
Proses kampanye mirip proses komputer (PC) yang memiliki kemampuan strorage, retrieval, processing, transference dan preference.
Perubahan/pendekatan kampanye selalu mengikuti atau disesuaikan tahap demi tahap dengan tingkat perubahan yang telah dicapai.

Menurut Astrid S. Soesanto secara teknis langkah-langkah tersebut ialah :
• Pesan sama untuk khalayak yang berbeda kemampuan menyebarluaskan informasi (share) dan memisahkan (sepaate) informasi bila tingkat IQ khalayak berbeda mampu mengerjakan massifikasi dan juga de-massifikasi.
• Memanfaatkan pendekatan single sensory (indera tunggal) dan multy sensory (indera ganda). Didesak oleh waktu, dan
Mengenal sikap interaktif, yaitu :
• Dengan khalayak,
• Antar media, dan
• Person to person (tetapi tidak selalu face to face) (1975 :136).

Kesuksesan suatu kampanye selalu dipengaruhi oleh seberapa jauh suatu kelompok atau suatu partai politik atau suatu perusahaan atau pun lembaga pemerintah di kenal di lingkungan khalayak, dan seberapa banyak pesan kampanye itu disebarluaskan melalui beberapa media sekaligus.
Kampanye juga sangat tergantung dari jenis saluran komunikasi yang digunakan dan juga tergantung tergantung dari isi pesan kampanye tersebut. Isi pesan biasanya akan terhalang oleh kepentingan khalayak terhadap pesan yang disampaikan. Juga isi pesan selalu ditafsirkan sesuai dengan persepsi khalayak. Maka jika persepsi khalayak berbeda dengan isi pesan sesungguhnya akan mengakibatkan boomerang effect (berbalik menentang) dan counter effect (tidak akan mengikuti/menjalankan isi pesan kampanye).
Yang terakhir dan sangat menentukan kesuksesan dalam kampanye adalah bahwa dalam melaksanakan suatu kampanye diperluklan juga kredibilitas juru kampanye. Rice dan Paisley menyatakan kesuksesan kampanye suatu kampanye sangat tergantung dari personal influence, dalam arti para juru kampanye harus orang yang dihormati di lingkungannya dan juru kampanye tersebut memiliki kridibilitas yang tinggi. Kredibitas yang tinggi akan menumbuhkan wibawa para juru kampanye.
Yang perlu diingat bahwa dalam dalam kampanye dilakukan cara-cara yang sesuai dengan prosedur, baik prosedur secara ilmiah maupun prosedur secara etika dan hukum. Maka kampanye tersebut disebut juga white campaign. Apabila proses kampanye dilaksanakan tidak sesuai atau bertentangan prosedur ilmiah dan prosedur etika hukum yang berlaku maka kampanye itu dinamakan black campaign.

http://kampuskomunikasi.blogspot.com/2008/07/bentuk-bentuk-komunikasi-politik.html

Media Kampanye, Media Massa Kalahkan Mesin Partai

Sabtu, 08 November 2008 00:00:00
Picture taken from http://bedzine.com/blog/category/bean-bag/

PEMILU 2009 diperkirakan berlangsung ketat. Bukan saja jumlah pesertanya bertambah signifikan ketimbang pemilu 2004, tapi masa kampanye yang panjang dipastikan menyedot energi dan sumber daya partai untuk memenangkan kompetisi. Dengan 46 partai nasional dan lokal (Aceh), hampir sama dengan pemilu pertama era reformasi (1999), pemilu 2009 menunjukkan gejala lain yang unik, yaitu banyak bakal calon presiden yang mulai mengajukan diri untuk bertarung. Jika dibandingkan dengan 2004, ketika calon presiden asal partai jumlahnya tidak terlalu banyak.

Kalangan purnawirawan TNI mencatat rekor capres terbanyak jika dibandingkan dengan musim pemilu sebelumnya. Incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), Wiranto (2004 Golkar, kini Partai Hanura), Prabowo Subijanto (Partai Gerindra), Sutiyoso (nonpartai), M Yasin (Pakar Pangan), dan Kivlan Zein (nonpartai).

Kalangan sipil tak kurang banyaknya. Hampir semua partai politik memiliki bakal capresnya. Jusuf Kalla, Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, Agung Laksono, Akbar Tandjung, dan Yuddy Chrisnandi (Golkar), Megawati Soekarnoputri (PDIP), Amien Rais atau Sutrisno Bachir (PAN), Gus Dur (PKB), Hidayat Nur Wahid (PKS), Rizal Ramli (PBR), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Meutia Hatta (PKPI), dan Rizal Mallarangeng, Fadjroel Rachman, dan Ratna Sarumpaet (Independen).

Jika kita ringkas, suasana menjelang pemilu legislatif lebih banyak diwarnai wacana bakal calon presiden karena figur dipercaya merupakan faktor paling berpengaruh dalam mengumpulkan suara. PDIP adalah pionirnya ketika semua partai belum berani bersuara siapa calon presiden yang akan diusung. Efeknya ternyata positif untuk mendongkrak awareness publik pada PDIP. Langkah itu tidak diikuti partai besar lain, seperti Golkar karena banyaknya calon di internal partai dan kecilnya popularitas ketua umum Jusuf Kalla jika diajukan sebagai capres. Suatu dilema yang sulit dipecahkan Partai Beringin.

Pilihan antara figur dan partai yang diutamakan dalam merebut suara pemilu legislatif masih menjadi perdebatan kunci bagi partai politik dalam menyusun strategi pemenang. Golkar, misalnya, sekalipun ketua umumnya tidak memiliki popularitas capres yang tinggi masih menikmati tingkat awarness yang paling tinggi di antara partai politik lainnya. Sebaliknya, PDIP yang punya figur populer sekelas Megawati harus puas berada di urutan kedua. Kasus Golkar dan PDIP adalah contoh yang baik untuk mengukur tingkat awarness publik pada partai dan tingkah elektibilitas partai yang bersangkutan.

Efektivitas media massa

Gejala lain yang menarik untuk disimak lebih lanjut adalah gencarnya iklan politik jauh-jauh hari sebelum laga dimulai. Penyebabnya bukan masa kampanye yang dikenalkan KPU sangat panjang, tapi juga kompetisi yang ketat mendorong elite untuk berlomba-lomba memompa tingkat kedikenalannya pada calon pemilih. Pilihannya tidak jatuh pada mesin organisasi partai, tapi media massa. Media massa adalah instrumen kampanye paling efektif dalam melakukan sosialisasi pada calon pemilih.

Media apa yang paling efektif? Mari kita lihat hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) September 2008 lalu. Dalam survei rutin yang digelar untuk melihat sejauh mana efek media pada partai politik, hasil LSI menunjukkan bahwa gencarnya iklan politik tidak selalu berdampak pada sentimen positif pemilih pada partai politik. Artinya, iklan politik boleh jalan terus dengan besar-besaran, tapi efek positifnya sulit diterka secara pasti sehingga betul-betul menguntungkan bagi partai politik sebagai pemasang iklan.

Televisi menempati urutan pertama yang dipilih politisi dan partai politik sebagai media kampanye. Memori publik lebih banyak dibentuk iklan politik lewat gambar-gambar menarik di televisi ketimbang media lain, seperti surat kabar dan radio, ataupun internet. Namun, kampanye alat peraga (nonmedia) terbukti lebih ampuh daripada radio dan surat kabar. Hanya selisih 10% antara memori publik tertinggi yang dibentuk iklan di televisi dan alat peraga. Jika dibandingkan dengan, misalnya, surat kabar dan radio yang di mana memori publik dibentuk kurang 15% saja. Jauh di bawah televisi dan alat peraga yang berkisar 40-50%.

Hasil tersebut semakin menunjukkan realitasnya belakangan ini. Pilihan pada televisi diambil Prabowo Subijanto dan Partai Gerindra sehingga hasilnya memperlihatkan memori publik pada iklan televisi dari tokoh dan partai tersebut merebut posisi paling tinggi. Gerindra berhasil mengalahkan partai-partai lama, seperti Golkar, PDIP, Partai Demokrat, bahkan partai baru Hanura yang dipimpin Wiranto (Grafik 1). Hal itu bertolak belakang dengan memori publik yang berhasil dibentuk Gerindra lewat surat kabar, radio, dan alat peraga. Surat kabar hanya menyumbang posisi ke-4 (9%), radio urutan ke-4 (4%), dan alat peragam pada urutan ke-7 (18%). Angka-angka itu kemudian mengerucut pada tingkat awareness publik pada Gerindra yang hanya mampu bertengger pada urutan ke-8, yaitu sebesar 44% (Grafik 5). Sekalipun di tempat ke-8, Gerindra hanya dikalahkan tujuh partai besar utama hasil pemilu 2004 dan berhasil mengungguli awarenes Partai Hanura dan partai-partai kecil lainnya. Sumbangan iklan televisi yang gencar dilakukan tampaknya terlihat nyata dalam urutan awareness ini.

Surat kabar, radio, dan alat peraga tampaknya dikuasai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat. Ketiganya berada di urutan tiga besar pertama sebagai partai politik yang berhasil menanamkan memori pemilih pada partainya. Angkanya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan televisi. Di surat kabar, misalnya, tiga partai nasionalis tersebut berbagi angka sama, yaitu 12%. Itu terjadi sama pada radio dengan angka yang lebih kecil, yaitu 5%. Hasil lebih baik pada media alat peraga ketika Golkar meraih memori pemilih terbesar, yaitu 40%. PDIP di urutan kedua dengan 39%. Hasil cukup baik dinikmati Partai Demokrat 30% dan PAN 29% pada urutan berikutnya. (Grafik 4)

Perbedaan besaran memori yang ditimbulkan iklan politik dari berbagai media dan alat peraga tersebut tidak otomatis berbanding lurus dengan awarness publik pada partai secara keseluruhan. Grafik lima memperlihatkan hal tersebut. Golkar dan PDIP yang 'kalah' di televisi tetap paling unggul pada akhirnya dengan angka masing-masing 76% dan 74%. Begitu juga dengan lima partai utama lainnya tetap masih berada di atas Gerindra sebagai 'pemain' televisi paling banyak.

Dari angka-angka yang kita perbincangkan sebelumnya, beberapa hal dapat didalami lebih lanjut dari hasil survei itu.

Pertama, mayoritas partai politik peserta pemilu 2009 adalah partai politik baru sehingga harus berjuang keras untuk dikenal publik. Namun, sayangnya mereka tidak melakukan sosialisasi secara sistematik, jika dilihat dari memori atau ingat tidak ingatnya pemilih atas berbagai iklan dan informasi yang disebarkan lewat media massa atau alat peraga. Jadi pada umumnya, mereka tidak dikenal pemilih. Sekalipun masa kampanye sudah berjalan lebih dari tiga bulan, sangat sedikit dari partai politik baru yang mampu melakukan sosialisasi agar betul-betul dapat dikenal publik. Hasilnya mengecewakan. Survei menunjukkan dua partai politik baru dari 13 partai politik yang paling dikenal publik dengan angka di atas 10%. Hanya Gerindra dan Hanura yang dapat masuk tiga belas besar tersebut. Gerindra bukan saja unggul atas Hanura yang sudah lebih dulu bergerak dengan angka sebesar 13%, tapi juga PBB, PBR, PDS, dan PDKB sebagai partai lama (Grafik 5).

Selebihnya merupakan sebagian besar partai yang tak dikenal publik. Mereka tidak mampu melakukan sosialisasi yang baik sehingga dampaknya sangat negatif bagi eksistensi mereka dalam pertarungan nanti. Sekalipun lolos dalam verifikasi, partai-partai baru itu tidak mampu juga menggerakkan mesin partai untuk melakukan sosialisasi dan penyebaran informasi sehingga keberadaan dan kepesertaan dalam pemilu hanya memperumit sistem kepartaian dan proses pelaksanaan pemilu.

Kedua, secara umum kampanye, iklan politik, atau sosialisasi partai politik belum banyak mengubah peta kekuatan partai. Penyebabnya karena tidak ada upaya sistematik untuk melakukan sosialisasi kecuali Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN. Pada Gerindra dan Demokrat, efek sosialisasi cukup jelas, tapi pada PAN dan partai-partai lain hal itu belum menjadi kenyataan. Peta itu tidak banyak berubah karena masih kuatnya dominasi tujuh partai utama dalam peringkat awareness publik (Grafik 5). Peta suara antara partai-partai nasionalis dan Islam juga tak bergeser jauh ketika partai nasionalis masih unggul hingga sekarang. Tidak ada perpindahan suara dari kedua belah kelompok.

Ketiga, dan ini yang terpenting, adalah mesin partai politik telah 'dikalahkan' media massa terutama televisi sebagai alat kampanye, sosialisasi, dan penyebaran informasi. Televisi adalah rajanya karena memiliki jangkauan paling luas bagi publik dalam memperoleh informasi. Televisi masuk hingga kamar-kamar tidur pemilih. Bagi pemilih, sekalipun ia dekat dengan partai politik tertentu, hal itu tidak membatasi dirinya untuk menonton iklan politik partai lain. Hanya pemanfaatan media massa sebagai alat yang paling efisien untuk kampanye tidak dilakukan secara maksimal oleh partai politik. Akibatnya, iklan politik yang gencar tidak selalu memperkuat sentimen positif pada partai politik. Jadi, ada semacam situasi yang 'tidak nyambung' antara citra partai yang dibangun melalui iklan dan citra ideal yang dimaui rakyat. Buktinya, masa tiga bulan lebih kampanye tak memberikan perubahan peta yang berarti kecuali Gerindra dan Hanura yang berhasil menyodok sebagai partai baru yang paling dikenal publik.

Lingkungan dan mode kompetisi telah berubah. Mesin partai kalah bersaing dengan media massa. Namun, mayoritas partai politik belum mau sepenuhnya beradaptasi dengan situasi dan tren baru itu. Padahal infrastruktur partai politik yang bertebaran hingga tingkat desa/kelurahan tak lebih hanya untuk pemenuhan administratif partai politik agar lolos menjadi peserta pemilu. Keberadaannya sama sekali tidak efektif dalam melakukan sosialisasi. Untuk itu, sekalipun mesin partai digunakan, fungsinya hanyalah komplementer dan tak akan mampu menyaingi efisiensi dan efektivitas media massa. Jika hal itu tak juga disadari elite politik, jangan salahkan media massa lebih dipilih rakyat sebagai alat penyampai aspirasi utama mereka nanti, bukan partai politik.

(Marbawi A Katon)

Aksi Memperingati Hari AIDS

Pikiran Rakyat, Senin, 01 Desember 2008 , 16:43:00SEJUMLAH massa berjalan sambil membawa spanduk, poster dan membagi-bagikan selebaran mengenai Virus HIV dan AIDS kepada warga saat melintas di Jln. Merdeka Kota Bandung, Senin (1/12). Aksi yang dilakukan oleh Yayasan Kriyamedia serta 25 Messengers dan 11 kelompok remaja tersebut, dilakukan dalam rangka memperingati hari AIDS dunia sekaligus bertujuan mengingatkan warga untuk waspada terhadap masalah AIDS.* ADE BAYU INDRA

Hari AIDS Sedunia 2008


“Yang Muda Yang membuat Perubahan

Menurut Dinas Kesehatan Jawa Barat menyebutkan bahwa tahun 1989 hingga Maret 2008 terdapat kasus HIV/AIDS 1576 di Kota Bandung, 50 % lebih pada usia produktif. Bila merujuk pada fenomena gunung es (dark number) di mana Badan Kesehatan Dunia, WHO, menyatakan bahwa 1 kasus HIV yang terlaporkan sebanding dengan 100 kasus, artinya dapat diperkirakan ada sekitar 157.600 kasus yang belum terungkap. Angka tersebut hanyalah gambaran 1 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.

Selama ini remaja tidak termasuk dalam agenda prioritas dalam penanggulangan HIV-AIDS. Akibatnya sedikit sekali perhatian dan informasi mengenai HIV-AIDS yang diberikan kepada mereka. Padahal semakin banyak remaja yang terkena dampak langsung HIV-AIDS, remaja yang menjadi yatim-piatu karena orang tuanya meninggal oleh AIDS, dan kemungkinan bayi lahir dengan HIV karena perempuan atau ibu yang terinfeksi HIV.

Memandang peroslan-persoaln diatas, Yayasan Kriyamedia Komunika dan 25 Messengers beserta 11 kelompok remaja yang concern terhadap persoalan remaja dan HIV/ AIDS serta Adiksi, dalam rangka memperingati Hari AIDS Dunia melakukan Long March dari Jl. Cikapayang (bawah jembatan PASOPATI) menuju Bali Kota Bandung. Kegiatan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali masyarakat Bandung—khususnya remaja, untuk waspada terhadap masalah AIDS dan mendorong pemerintah kota Bandung untuk lebih memperhatikan persolan-persoalan remaja. Melalui tema Yang mudalah yang akan membuat perubahan. Bagaimanapun juga remaja adalah generasi penerus bangsa. Remaja adalah penentu masa depan, menuju arah yang lebih baik ataukah arah yang lebih buruk? (DJ)



foto : Kompas

Penyelenggaraan Pemilihan Ketua RW Layaknya “PILGUB

Pesta Demokrasi Lokal di Tamasari RW 05 ini sangat menarik, dimana Panitia Pemilihan RW 05 ini begitu serius melakukan tugasnya dari penggarapan calon hingga proses pemilihan dikelola begitu sempurna layaknya PESTA DEMOKRASI Nasional… Hal ini patut ditiru oleh semua pihak bahkan… KPU?? Berikut laporannya, dikutip dari Buletin Lokal “OPINI WARGA” RW 05 TAMANSARI........



Penyelenggaraan Pemilihan Ketua RW Layaknya “PILGUB"

Paradigma baru dalam perubahan sistem dan mekanisme pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia tampaknya telah mengakar pula pada pemilihan kepala pemerintahan di level mikro (baca:ketua RW). Seperti yang terjadi di lingkungan RW 05 Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan. Dalam upaya memilih ketua RW yang baru, layaknya pesta demokrasi telah berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut dengan aman dan tertib tanpa ada tindakan yang mencoreng kesakralan pesta demokrasi tersebut.

Bahkan sesaat setelah acara penghitungan suara berakhir dengan terpilihnya Bapak Nano Kahono, mantan Ketua RW 05 yang lama yaitu Bapak Maman Sulaeman langsung memberikan ucapan selamat dengan hangat. Ini suatu fenomena yang positif. Apalagi menurut salah seorang warga, pesta demokrasi di RW 05 yang baru usai, seakan menjadi ajang silaturahmi warga dari kalangan muda dan tua yang selama ini seakan hilang.

Tanggapan positif yang dilontarkan warga seiring harapan positif untuk kelangsungan kehidupan kema-syarakatan di lingkungan RW 05 Kelurahan Tamansari. Selain dihadiri warga yang berduyun ke TPS dan menyaksikan acara penghitungan suara, Bapak Lurah Tamansari hadir pula menyaksikan, juga pihak media televisi lokal seperti STV Bandung turut meliput pesta demokrasi. Walhasil, pesta demokrasi usai, dan harapan warga RW 05 menjadi spirit bagi pengurus baru.

Ada hal menarik yang dapat kita ambil contoh dari pesta demokrasi di lingkungan RW 05 Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan, yaitu pola kerja panitia yang didominasi anak-anak muda/remaja seakan memberi warna dalam pengelolaan pesta demokrasi tersebut. Berawal kerja dari pengumpulan /penjaringan bakal calon yang selanjutnya menjadi calon. Partisipasi masyarakat RW 05 begitu antusias untuk menetapkan jagoan pilihannya. Hingga panitia menetapkan calon yang berjumlah tiga orang yaitu Bapak Nano Kahono (RT 01), Bapak Hanafiah (RT 07) dan Bapak Endang Kurnia (RT 07).

Minggu, tanggal 29 Juni 2008, adalah hari dimulainya pencoblosan. Lokasi TPS yang bertempat di Jalan Kebon Bibit Utara II RT 05 sejak pagi hari telah semarak dengan nuansa pesta demokrasi. Warga yang akan menyalurkan aspirasinya mulai berdatangan pukul 08.00. Sambil menunjukkan surat panggilan, warga diberikan surat suara untuk dilakukan pencoblosan suara.

Usai menentukan pilihannya, warga memasukkan surat suara pada kotak suara yang telah disediakan. Hingga pukul 13.00 penyampaian aspirasi diakhiri. Tahap berikutnya mulai penghitungan suara dengan hasil suara sebagai berikut; 278 suara untuk Bapak Nano Kahono, 95 suara untuk Bapak Hanafiah, 90 suara untuk Bapak Endang Kurnia. Usai penghitungan suara sontak suara tepuk tangan warga bergemuruh menyambut kemenangan bagi Bapak Nano Kahono. Ucapan selamat pun mengalir dari para warga. Adapun total suara yang masuk sebanyak 475 suara dengan rincian 463 suara sah, tidak sah sebanyak 8 suara, dan abstain 4 suara.
Layaknya sebuah pesta demokrasi, pemilihan Ketua RW 05 Kel. Tamansari Kec. Bandung Wetan juga lengkapi dengan perangkat pemantau sebanyak dua orang yaitu Sdr. Achmad Murjani dan Sdr. Tri Agusta. Selain itu tiga orang saksi yaitu Bapak Entang (RT 04), Bapak Dadang (RT 05), dan Bapak Acin (RT 04).

Harapan seluruh warga RW 05 yaitu dengan adanya kepengurusan baru, diharapkan ada perubahan ke arah yang lebih baik, demi terciptanya masyarakat yang madani. SEMOGA. DUNIS art design

Menyikapi Fenomena Komunikasi Belakangan Ini

oleh: Anonim

Belakangan ini persoalan komunikasi di media massa menjadi bahan pembicaraan. Dari kritik terhadap iklan yang dianggap kurang sesuai etika, tayangan pornografi dan/atau pornoaksi, hingga kekerasan yang merebak karena sering ditayangkan di televisi. Masih segar dalam ingatan, ketika pelaku mutilasi yang membuang korbannya di bus kota, mengaku bahwa ia mendapat inspirasi untuk melakukan mutilasi dari berita tentang Rian, dari televisi!

Lalu apa komentar para ahli. Pelaku media berkomentar, "Ini kan fenomena yang tidak terjadi secara luas. Pihak media selama ini sudah berusaha mengurangi tayangan kekerasan dengan mengubah format programnya." Ahli kriminolog ikut berkomentar, "Maraknya kasus mutilasi yang pertama kali muncul di Indonesia sejak tahun 1990-an ini dikarenakan efek peniruan (imitation effect). Dengan kata lain, pelaku meniru peristiwa sebelumnya yang dilakukan oleh pelaku lain. Peran media massa pun diyakini tidak urung berpengaruh dalam pola pikir pelaku kejahatan."

Dia mencontohkan, dalam pemberitaan, media massa kerap terlalu detail dalam memberitakan kasus mutilasi bahkan hingga reka ulang yang dilakukan oleh pelaku mutilasi yang tertangkap. Selain mendapat inspirasi dari teknik yang dilakukan pelaku sebelumnya, pemberitaan media massa turut mengajarkan pelaku baru untuk dapat belajar dari kesalahan menghilangkan jejak.

Pendidikan tinggi DKV, entah kenapa tidak sanggup bereaksi. Padahal mereka belajar tentang komunikasi visual. Tentu mereka bisa menjelaskan seberapa besar efek komunikasi visual melalui media massa seperti televisi itu mempengaruhi cara pandang masyarakat. Lebih penting lagi, bagaimana menangkalnya. Tapi coba kita tengok kurikulumnya? Ouuww... sayang sekali. Komunikasi visual yang kita bicarakan itu sudah tereduksi menjadi "Iklan".

Oke lah, tidak perlu yang berkaitan dengan tayangan berita kekerasan. Yang menyangkut iklan sajalah. Seberapa peka institusi pendidikan kita merespon fenomena iklan yang semakin merajalela saja, seolah tumbuh bebas tanpa kawalan? Siapa juga yang harusnya mengawal? PPPI?

Apa ini salah? Apa ini ngawur? Tidak relevan untuk dibicarakan? Atau, apa?

sumber: http://dkv-unpas.blogspot.com/2008/11/menyikapi-fenomena-komunikasi.html

MEDIA PENYIARAN SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF

Oleh : Drs. R. Sulaiman


I. Peranan Radio Sebagai Media Komunikasi Pembangunan
Radio sebagai salah satu media massa memiliki fungsi tertentu dalam proses
pembangunan. Secara umum, fungsi tersebut adalah memberikan informasi,
pendidikan dan hiburan kepada masyarakat. Menurut Lasswell (1948) fungsi
media massa termasuk radio dikatakan mencakup fungsi pengawasan (surveillance),
pertalian bagian -bagian masyarakat dalam memberikan respon terhadap
lingkungannya (correlation) dan transmisi warisan budaya (transmission of culture).
Selain tiga fungsi tersebut Wright (1960) menambahkan satu lagi yakni hiburan
(entertainment). Dengan adanya berbagai fungsi yang dimiliki, sebagai salah satu
media massa radio diharapkan mampu berperan dalam proses pembangunan.
Pada waktu lalu beberapa pakar komunikasi berpendapat bahwa radio
memiliki peran penting dalam pembangunan. Radio dianggap mampu berperan
sebagai kekuatan pengganda atau magic multipliers yang mampu mengubah
anggota masyarakat menjadi pribadi-pribadi yang mobile. Menurut Pye (1967) radio
sebagai salah satu media massa juga diharapkan mampu berperan sebagai pengawas
umum (inspector general) bagi kebijaksanaan dan tindakan pemerintah. Dalam
masyarakat yang sedang membangun, informasi dianggap mampu memainkan tiga
macam peranan, yaitu untuk mengawasi dan melaporkan kembali (the watchman
role), membantu dalam memutuskan kebijaksanaan, mengarahkan dan mengatur
(the policy role) dan mendidik anggota-anggota baru dalam masyarakat membawa
dan membekali mereka dengan keahlian dan kepercayaan yang sesuai dengan
masyarakat tersebut (the teacher role)
Hal tersebut diatas secara empiris dibuktikan oleh hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa komunikasi massa mampu menciptakan suatu iklim bagi
perubahan dengan cara memperkenalkan nilai-nilai baru dan membantu
masyarakat dalam menemukan norma-norma baru dan kesenangan dalam periode
transisi (Schram, 1964).
Untuk memberikan gambaran lebih jelas lagi sejauhmana media massa
berperan dalam proses pembangunan dapat ditelusuri dalam kerangka modelmodel
komunikasi pembangunan berikut ini.

II. Model Komunikasi Pembangunan
Ketika berbicara peran media asa (radio) dalam pemberdayaan masyarakat,
maka dapat dilihat dalam paradigma pendekatan komunikasi dalam proses
pembangunan. Menurut Srinivas R. Melkote (1991) ada 3 model komunikasi yang
bisa dijadikan rujukan dalam melihat peran media massa dalam proses
pembangunan itu, yaitu:
g 2 e

1. Pendekatan Efek Komunikasi
Inilah model awal tentang efek media massa, dinyatakan bahwa efek media
massa bersifat langsung, kuat (power full) dan seragam terhadap sasarannya. Model
ini dikenal dengan nama The Bullet Theory atau dengan lain. The Hypodermic
Needle. Lasswell, Shanon dan Weaver, Berlo, Schram dsb adalah pakar komunikasi
model ini. Di dalam model seperti ini, komunikasi berjalan linier dan satu arah
dari sumber yang kuat kepada khalayak yang pasif.
Terlepas dari kritik yang muncul dalam model komunikasi ini, paling tidak
didapat gambaran bahwa media massa (radio) mempunyai pengaruh atas khalayak
sasarannya. Schram (1964) mengatakan media massa sebagai “bridge to a wider
world”.
Laksmana Rao (1963) dalam kajian klasiknya menyatakan media massa
merupakan penggerak utama dalam proses pembangunan. Kesimpulan ini didapat
setelah ia melakukan penelitian eksperimental terhadap dua desa di India. Rao
memilih desa Kathooru yakni sebuah desa yang akan dikembangkan menjadi desa
modern dan desa Pathooru sebuah desa yang terisolasi dan dibiarkan tetap berada
dalam budaya dan nilai-nilai tradisionalnya.
Di desa Kathooru dibuka jalan baru yang menghubungkan desa dengan
pusat kota terdekat sebagai awal proses modernisasi. Dengan adanya jalan tersebut
membuka jalan bagi datangnya kaum pendatang, ide-ide baru(inovasi) dan
masuknya media massa ke dalam kehidupan masyarakat desa. Pada sisi lain telah
memungkinkan masyarakat desa berkunjung ke pusat kota. Akibat dari semua itu
telah membuka cakrawala pandangan masyarakat desa Kathooru. Mereka tidak
hanya siap berubah tetapi mereka menginginkan perubahan itu. Berbeda dengan
masyarakat desa Pathooru perubahan ide dan model-model perilaku yang
tradisional tetap bertahan.

2. Pendekatan Difusi Inovasi
Model ini masih berkaitan dengan model efek media massa. Bagaimana
kemampuan pesan media massa dan pemuka pendapat (opinion leader) yang
menciptakan pengetahuan tentang ide dan praktek-praktek kehidupan baru
(inovasi) dapat mempengaruhi agar khalayak sasarannya bersedia mengadopsinya.
Model ini dipercayai sebagai jalur penting pembangunan individu dari
tradisional menjadi individu yang modern dengan menerima dan mempraktekkan
ide-ide baru yang berasal dari sumber eksternal ke dalam sistem sosial mereka.
Evert Rogers (1971), perintis model ini mengidentifikasi elemen -elemen
difusi dengan menyatakan inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang
dianggap baru oleh seseorang dan dikomunikasikan melalui saluran tertentu
kepada anggota sistem sosial dalam jangka waktu tertentu.

sumber : Radio Mahasiswa Politeknik PPKP Yogyakarta
[Alamat ] >> Studio Jl. Kaliurang Km 4.5 Gg. Kinanthi Yogyakarta 55281 [E- mail ] >>gshfm@eudoramail.com
[Homepage] >>http:// www.geocities.com/RadioGSHfm

HIDUP MATI MEDIA ALTERNATIF

Ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan lagi dalam diskusi ini yang akan jadi lebih mendasar. Pertama-tama adalah label alternatif itu sendiri. Apakah memang diperlukan sebuah media alternatif. Kedua, mempermasalahkan hidup mati sebuah media, yang menurut saya adalah tergantung pada pola operasional media itu sendiri.

Membahas permasalahan pertama yang mempertanyakan mengenai pentingnya sebuah media alternatif, untuk mudahnya kita bisa ambil pada contoh kasus Perang Teluk II yang masih cukup hangat disini, alasan saya, karena perang ini adalah sebuah perang imaji yang sangat mengandalkan peranan media. Pada dasarnya kita sudah cukup mengerti bahwa media massa akan selalu beroperasi sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang ada dibelakangnya, dan dalam hal ini adalah kepentingan para pemilik modal yang seringkali mengacu pada kekuasaan. Individu-individu yang selalu mengikuti jalannya perang melalui media-media massa, memiliki dua kemungkinan, bahwa ia akan merasa terhanyut oleh emosi spontan atas perang atau ia akan merasa bosan dan menyadari bahwa perang tersebut hanyalah sebuah tragedi yang memang biasa terjadi. (Hampir dari kita semua akan berpikir bahwa perang adalah sebuah kejadian yang kejam dan mengerikan, tapi begitu perang berakhir, tak seorangpun lagi yang akan berpikir soal perang).
Menyadari hal tersebut, sebaiknya kelompok-kelompok atau individu-individu yang tidak ingin proses seperti perang tersebut terjadi lagi di ruang dan waktu yang lain, mulai membentuk sebuah pertanyaan mendasar mengenai alasan terjadinya perang dan siapa yang berperan di dalamnya serta mempertanyakan posisi para spektator itu sendiri. Bahkan seandainya perang masih berlangsung, perlu tetap diadakan semacam pertemuan-pertemuan dalam bentuk-bentuk yang kecil untuk mempelajari bagaimana perang dan media hanyalah sebuah bentuk kebohongan belaka—karena penggunaan imaji-imaji perang yang direkatkan sehingga membentuk sebuah rasa emosional tertentu; pengisolasian even perang dari konteks historis; pembatasan perdebatan soal siapa yang berkepentingan dalam perang itu sendiri atas dasar sentimen agama; proses generalisasi (Saddam = Irak); pengeliminiran opsi (anti invasi Sekutu = pro-Saddam) dan lain sebagainya. Pengeksplorasian tersebut diharapkan akan dapat membantu meningkatnya penerbitan
tulisan, literatur atau wacana lain yang menganalisa peran media.

Mereka yang sangat naif, melihat distorsi media sebagai sebuah kesalahan teknis atau bias yang dapat diperbaiki apabila ada cukup audiens yang melayangkan surat komplain, atau mendorong individu-individu di posisi tertentu dalam industri media massa itu untuk digantikan oleh individu lain yang dianggap “berdedikasi”, “dapat bersikap obyektif” dan jujur dalam menyampaikan berita. Atau beberapa dari kubu yang naif ini juga banyak yang menyarankan agar media-media massa tersebut memperluas sudut pandang dalam tiap liputannya. Dalam titik radikalnya, kubu ini paling banter menyerukan untuk melakukan aksi massa untuk menuntut agar media massa lebih bersikap obyektif dan mewakili sudut pandang mereka.

Kubu lainnya, menyadari bahwa media massa memang dimiliki oleh kepentingan-kepentingan yang sama dengan kepentingan yang dibawa oleh negara dan sistem ekonominya. Dengan kata lain, bagi mereka bukanlah sesuatu yang mengejutkan apabila media massa merepresentasikan kepentingan tersebut, berkonsentrasi dalam menyaring informasi sesuai dengan kepentingan di balik media tersebut. Kubu ini membangun media alternatifnya sendiri dalam berbagai bentuknya, yang dilakukan secara kelompok maupun secara individual. Masalahnya media ini menganggap bahwa media massa memang telah bersalah memberikan liputan palsu sesuai dengan kepentingan yang ada di baliknya, tetapi mereka juga menganggap bahwa media merekalah yang paling benar alias paling obyektif dengan melupakan bahwa mereka sendiripun memiliki kepentingan lain di balik pembuatan media tersebut. Mereka berpura-pura bersikap obyektif, menolak subyektifitas dengan mempraktekkan subyektifitas. Kontribusi mereka justru tidak pernah berhasil
membantu melawan spectacle, melainkan turut memapankan spectacle itu sendiri dengan tidak mendorong individu lain untuk membangun mediasinya sendiri. Sisi lain dari mata uang yang sama. Maka seringkali informasi sensasional yang diliput oleh media alternatif maupun analisa-analisanya dalam masyarakat spectacle ini hanya membuat relevasinya tidak mengarah kemanapun selain kepada peningkatan depresi dan sinisme.

Sementara sebagian individu lainnya justru melabrak semua apatisme ini dengan mengadopsi metode manipulasi dalam propaganda dan pengiklanan. Sebuah film anti-perang, misalnya, secara umum berusaha untuk membawa efek yang kuat apabila ditayangkan tentang betapa horornya sebuah perang. Tapi hal semacam itu tampaknya juga kurang mengena lagi saat ini saat hal-hal tersebut justru menguntungkan bagi mereka yang mendukung perang—menariknya film anti-perang justru seringkali berujung menjadikan para spektator terdiam di depan layar. Emosi yang mendera para individu atas potongan-potongan imaji yang melintas cepat di hadapan para spektator hanya mengkonfirmasikan betapa kita semua sebenarnya tak berdaya sama sekali di hadapan sistem dunia yang tak mungkin teraih dalam kontrol kita. Spektator yang memperhatikan dalam tigapuluh detik, mungkin akan tersentak melihat bayi-bayi yang terkapar terbakar bom karpet, tetapi hal tersebut akan dapat dengan sangat cepat berganti menjadi kengerian
fasistik keesokan harinya saat ia melihat imaji lain yang sama mengejutkannya—katakanlah demonstran yang menginjak-injak gambar Megawati.

Mengesampingkan pesan-pesan radikal yang dibawa oleh media-media alternatif, mereka secara umum hanya mereproduksi sebuah hubungan antara spectacle dengan spektator. Intinya, untuk menghancurkan spectacle, kita semua harus menguburkan pola pikir bahwa media-media tersebut dapat merepresentasikan hidup kita—dengan kata lain, kita harus menantang di tingkat pertama semua media dan kondisi yang menyebabkan publik percaya bahwa ada obyektifitas dalam sebuah media dan hanya tinggal bagaimana memilih media tersebut. Hal yang berarti juga mempertanyakan organisasi-organisasi yang memproduksi media-media tersebut, yang telah menyebabkan individu-individu menjadi seorang spektator atas petualangan virtual. Dan terakhir, adalah mendorong terciptanya kondisi-kondisi yang memungkinkan tiap individu untuk memproduksi medianya sendiri, menciptakan petualangannya sendiri—bukan hanya dalam bentuk imaji.


*****

Membahas masalah hidup mati sebuah media, sebagaimana telah dipaparkan dalam paragraf pertama bahwa hal tersebut hanyalah permasalahan pola operasional sebuah media itu sendiri. Banyak media-media yang menganggap diri mereka media alternatif tetapi gagal menyadari perlunya juga pola alternatif dalam sisi operasional mereka. Sebuah media alternatif yang menganggap diri adalah sebuah alternatif lain dari media massa yang notabene ada dalam kekuasaan para pemilik modalnya, kebanyakan tetap mengikuti pola operasional yang diterapkan oleh media massa. Membuat alternatif lain bagi media ataupun bagi diri kita sendiri haruslah secara total atau setidaknya meminimalisir secara maksimal pola yang sama dengan pola yang digunakan oleh media massa atau hal tersebut hanya akan terjebak dalam level yang palsu. Seorang kawan pernah berkata bahwa banyak media alternatif yang akhirnya mati dikarenakan masalah pendanaan yang juga mati. Dan dia berkata bahwa sudah bukan saatnya bagi kita untuk
menawarkan alternatif tetapi pola kita tetap sama, alias bisnis adalah bisnis walaupun dengan label alternatif.

Sebagai contoh kecil, saya akan ambil dengan apa yang dilakukan oleh sebuah kelompok kecil yang bergerak di bidang media di Amerika Utara sana yang kini telah melebar dan tumbuh kelompok-kelompok sejenis secara sporadis di berbagai belahan dunia, bernama CrimethInc. Kelompok ini memproduksi medianya tidak secara berkala. Itu point pertama yang menjadi penting berkaitan dengan masalah pendanaan. Kedua, mereka mendapatkan hampir seluruh dana operasionalnya berupa donasi dari mereka para penerima media tersebut yang setuju dan mendukung kelompok tersebut dalam pola operasional maupun dalam tataran ide. Ketiga, ini yang paling menakjubkan, setidaknya bagi diri saya secara pribadi, adalah bahwa mereka mendistribusikan hampir sebagian terbesar medianya secara gratis.

Tanpa bermaksud mengikonkan CrimethInc., tapi apa yang mereka lakukan adalah membangun sebuah media yang dapat dikatakan sebuah alternatif, dengan cara yang juga alternatif. Dari pola operasionalnya dapat jelas sekali tampak, bahwa untuk menjadi sebuah alternatif lain dari apa yang ada, kita tak cukup hanya melakukannya dalam tataran imaji atau hanya dalam satu sisi saja, tetapi kita harus melakukannya semaksimal kita mampu untuk menuju sebuah totalitas. Menjadi alternatif hanya dalam tataran imaji adalah tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh MTV saat hampir semua media musik di televisi Indonesia menayangkan hal-hal yang itu-itu saja, apalagi spektator telah dibuat bosan dengan ideologi Pancasila yang dipaksakan bertahun-tahun sebelumnya—MTV menjadi sebuah jalur pelepasan. Tapi apakah MTV adalah sebuah alternatif? Jawabnya: ya, apabila kita melihatnya dalam tataran imaji. Apakah MTV memberikan sebuah makna alternatif terhadap hidup itu sendiri? Saya pikir jawabnya tidak,
karena apa yang dilakukan oleh MTV hanya memapankan status quo, mereka tetap membuat kita untuk tidak beranjak dan melihat pada hidup kita sendiri selain hanya untuk tetap menonton dan terus mengkonsumsi.

Menjadi media alternatif adalah menyadari sepenuhnya bagaimana media massa beroperasi semua aspek termasuk dalam tingkatan paling mendasar, seperti pola ekonominya, serta memberikan sebuah pola baru yang akan membuatnya menjadi benar-benar sebuah alternatif. Berusaha untuk melepaskan diri dari tatanan masyarakat spectacle ini. Ataukah membiarkan alternatif menjadi sekedar komoditi lain yang ditawarkan pada spektator yang mulai bosan dengan apa yang ada, untuk membuat mereka tetap menjadi seorang konsumer. Kalau pilihannya memang yang kedua, dimana media alternatif hanya mereproduksi hubungan antara spectacle dengan spektator, maka tidak salah apabila kawan saya berkata: “Sudahlah, kalau bisnis ya bilang aja bahwa itu memang bisnis.”


Catatan:
Tulisan ini dibawakan dalam diskusi tentang media di Common Room, Bandung bersama media On/Off tanggal 3 Mei 2003.

sumber: http://lists.indymedia.org/pipermail/imc-jakarta/2006-March/0324-0f.html

Media dan Advokasi Publik: Agenda Baru Jurnalisme (Bencana)

Anang Hermawan**

Ketika gempa tiba-tiba mengguncang Jogja dan sekitarnya, serentak media dari seluruh dunia memberitakannya. Masifnya pemberitaan bencana tersebut menjadi salah satu faktor penentu mengapa pada saat itu publik beramai-ramai tergerak hatinya memberikan bantuan. Dari sudut pandang jurnalistik, tentu bukan saja karena besaran peristiwa gempa itu saja yang menjadikan bencana tersebut menarik untuk diliput. Sadar atau tidak sadar, liputan tentang bencana telah turut serta membangkitkan kesadaran dan pemahaman tentang nasib bersama manusia.

Sembilan bulan berlalu, seiring munculnya bencana-bencana di lain tempat dan bertimbunnya pelbagai persoalan baru yang melanda negeri ini, nampaknya kita perlu sekali lagi bercermin dengan realitas yang terjadi di Jogja. Saat ini jika kita berjalan-jalan dan mencermati kembali wilayah-wilayah bencana, kita masih akan menemukan bahwa masih terdapat banyak persoalan yang bisa dikatakan serius. Namun pada aras itu, nampaknya intensitas pemberitaannya makin terdesak ke belakang. Isu-isu yang sebetulnya tak kalah krusial segera digantikan oleh isu-isu lain yang boleh jadi tidak kalah seksi, gampang diburu, dan tidak memerlukan mekanisme serius untuk menampilkannya di media.

Barangkali tidak terlalu menjadi masalah alias masuk akal jika media nasional kurang lagi tertarik lagi dengan bencana Jogja. Media massa nasional lazimnya memang ibarat kutu loncat yang suka berpindah daun, di mana ada daun muda muda yang lezat dan segar, di situlah mereka makan. Sementara untuk hal itu, negeri ini seakan tak pernah kehabisan stok. Bencana demi bencana terus berlangsung di berbagai tempat dan lebih menarik perhatian mereka. Akan halnya dengan media lokal yang seharusnya berbicara dalam konteks yang lebih spesifik, semestinya bertanggung jawab untuk meneruskan liputan itu. Hal ini tentu dilandasi dengan satu itikad baik bahwa media lokal mempunyai sewajarnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar di dalam menyusun agenda masyarakat setempat dibandingkan dengan media massa nasional.

Taruhlah misalnya perihal bantuan program bantuan yang masih menyimpan persoalan, bagaimana dengan nasib kaum difabel, korupsi, pungutan liar dan lain-lain. Intinya, terdapat banyak poin yang layak mendapat tempat untuk tetap diberitakan secara berkesinambungan. Media lokal selayaknya mampu tetap berperan sebagai watch dog bagi upaya-upaya pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan elemen masyarakat.
Dari sisi liputan, media sekarang ini nerada dalam peliputan fase pascabencana (Iwan Awaluddin Yusuf: 2006). Persoalannya adalah sejauh mana pemberitaan pasca bencana ini benar-benar mampu dibuat semenarik mungin tanpa harus kehilangan momentum advokasi. Media dihadapkan pada pekerjaan pelik dan tiap kali memerlukan sikap reflektif yang kritis. Diperlukan bukan hanya atensi khusus serta kepekaan di tengah-tengah isu yang nampaknya remeh temeh tetapi berskala luas. Persoalannya adalah bahwa acapkali media ini terjebak dalam permainan atensi itu.

Media harus pula bisa berperan menyelenggarakan dialog dan debat publik. Ruang-ruang yang tersedia di setiap halaman koran atau jam tayang radio dan televisi adalah panggung terbuka itu. Panggung terbuka hanya bisa tegak berdiri pada saat media secara aktif memberikan informasi yang berkesinambungan sehingga apa yang menjadi agenda media pun dapat benar-benar dapat menjadi agenda masyarakat. Media memberi ruang terbuka bagi publik untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah sekaligus menjadi arena representasi kegelisahan masyarakat secara umum, karena lazimnya apa yang diprogramkan oleh negara dan pemerintah pada praktiknya berbeda dengan realitas yang berlangsung di masyarakat.

Informasi dalam ruang representasi media ibarat informasi yang bekerja dalam arena yang penuh persaingan di mana masing-masing aktor ingin berebut perhatian. Tentu wajar jika dinamika yang berlangsung didalamnya bukan hanya sekadar beradu siapa yang paling keras keras suaranya, tetapi juga beradu apa dan siapa yang paling menarik. Dari sini masyarakat akan menilai kepada siapa media berpihak, apakah pada kontestan yang bernama states apparatus atau pada kontestan yang bernama grass root. Tentu tidak mudah untuk menterjemahkan rumusan ini ke dalam praktik, karena kerja media juga diikat dengan kaidah-kaidah profesional yang harus dijaga dan dipegang teguh. Iklim pers yang relatif bebas sekarang ini sesungguhnya memberi peluang bagi media untuk memberikan kontribusi itu.

Di tengah situasi pasca bencana yang dihadapi para korban dan kerabatnya, dan juga juga miskoneksi di balik kehadiran kebijakan pemerintah dengan persepsi publik, media tentu memiliki peran kemanusiaan yang sangat diharapkan. Dalam catatan Amiruddin (“Media dalam Liputan Bencana”, Suara Merdeka, 26 Januari 2007), media setidaknya dapat berperan memberikan kontribusi liputan bencana berdasarkan lima prinsip rujukan. Pertama, prinsip akurasi. Akurasi menjadi sangat penting dalam pemberitaan. Seorang jurnalis perlu berperan sebagai seorang peneliti yang mengidentifikasi setiap data yang diperoleh dan akurat. Dalam konteks ini, pemilihan sumber berita menjadi sangat penting karena di sini berlaku adagium bahwa kecepatan informasi sesungguhnya bermula dari kecepatan dalam memilih narasumber.

Kedua, berlaku pula prinsip pemberitaan harus memperhatikan aspek manusia (human elements). Proses jurnalisme dituntut sanggup mengungkapkan suatu peristiwa dari dua sisi; cerita tentang manusia serta situasi atau konteks yang melingkunginya. Dalam prinsip ini, konsep perlindungan terhadap korban, kerabat, dan publik tentunya harus menjadi poin yang patut diperhatikan. Ketiga, dalam liputan trauma pascabencana berlaku pula prinsip suara korban. Media selayaknya mampu mengungkapkan harapan, keluhan, keinginan, dan rasa sedih para korban. Pada aras ini, menjadi sebuah alternatif menarik jika pemberian ruang editorial lebih banyak diberikan untuk untuk kepentingan itu. Ruang editorial menjadi wujud pembelaan terhadap para korban, dan tentunya tidak salah jika porsi ini ditempatkan lebih besar daripada porsi kepentingan ekonomi, politik, dan primordialisme yang justru bisa mengacaukan situasi dalam upaya recovery.

Keempat, jurnalisme bencana selayaknya mampu meletakkan peristiwa traumatik bencana ke dalam perspektif (kemanusiaan) yang lebih luas melalui pemberitaan. Di dalam liputannya, jurnalis tidak sekadar menempatkan dii sebagai pengumpul fakta yang tiba-tiba terkejut sekaligus bangga dengan temuannya lantas menjadikannya sebagai satuan-satuan berita. Menjadi suatu kewajaran jika jurnalis seharusnya memikirkan bagaimana teknik pencarian dan pengolahan berita yang dapat memberikan bingkai kemanusiaan. Dalam konteks ini patut mendapat perhatian tersendiri jika sentuhan kebudayaan setempat perlu dikedepankan di dalam pemberitaan sehingga perasaan para korban tidak akan tersakiti.

Kelima, jurnalis perlu mengungkapkan sisi lain dari peristiwa traumatik bencana atau sisi lain dari persoalan-persoalan yang berlangsung di seputar recovery yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Ada banyak hal yang dapat diungkap berupa kejadian atau informasi-informasi ikutan baik sifatnya berat atau ringan. Hal ini berguna untuk memberikan kelengkapan cerita, sehingga sebuah peliputan tidak kering dan melulu berbau hard news. Seringkali publik sangat membutuhkan cerita-cerita ikutan itu, disamping bahwa mereka membutuhkan membutuhkan kejelasan tentang informasi dan nilai-nilai yang dapat menjadi rujukan dalam bersikap dan bertindak. Maka model pemberitaan in depth report atau investigative report menjadi pilihan bagus untuk dapat menerjemahkan advokasi terhadap korban bencana.

Menjadikan kelima prinsip tersebut sebagai pijakan dalam peliputan bencana nampaknya dapat menjadi sebuah alternatif untuk membangun model peliputan yang pas untuk beragam bentuk bencana. Mudah-mudahan tidak terlalu berlebihan jika suatu saat nanti jurnalisme bencana dapat menjadi sebuah tren baru yang layak dipersandingkan dengan tren-tren jurnalisme yang telah ada semacam jurnalisme empati, jurnalisme advokasi, jurnalisme damai, jurnalisme lingkungan dan lain-lain. Wallahu a’lam bisshowab

*****

* Artikel dimuat di harian BERNAS JOGJA edisi Kamis, 22 Februari 2007
** Staf pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta

MEDIA PENYIARAN KOMUNITAS: MENGAPA DAN APA

OLEH : Zainal A.Suryokusumo
Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia

“ TEKNOLOGI KOMUNIKASI membuat lebih banyak orang terhubung secara elektronik, dan teknologi inipun berjanji akan mempersatukan kita. Tapi yang terjadi, justru memisahkan kita. Teknologi komunikasi merubah orientasi secara radikal. Kebenaran dan moralitas yang dulu kita lihat sebagai petunjuk, kini dianggap tidak berguna. Dengan keterhubungan elektronik itu, saban hari kita dibombardir dengan kekerasan, mimpi-mimpi kosong, gossip, tahayul dan gaya hidup diluar jangkauan kebanyakan orang. Semua itu dilakukan secara membabi buta, demi mencari keuntungan lebih besar. Kita telah kehilangan kontrol, sementara jurang antara kita semakin lebar. “

Adopsi dari novel: Angels & Demons; Dan Brown.

I. NATURE DARI KOMUNIKASI :


COMMUNICARE – bahasa Latin – to share – BERBAGI
UNSUR KESETARAAN;
LEWAT PROSES KOMUNIKASI, MANUSIA MENJADI LEBIH TAHU UNTUK BERTINGKAH LAKU, BERSIKAP, DAN BERBUAT SEHINGGA HIDUP MENJADI LEBIH SEJAHTERA.

II. MENGAPA PENYIARAN KOMUNI-TAS ?

SEJAK 15 TH TERAKHIR, MARAK BERKEMBANG DISCOURSE IHWAL MEDIA KOMUNITAS/PENYIARAN KOMUNITAS DAN GERAKAN MENDORONG PELAHIRAN MEDIA ALTERNATIF TSB. TENAGA PENDORONGNYA ADALAH:


SISTEM MEDIA DIDOMINASI OLEH MEDIA KOMERSIAL;
KONGLOMERASI INSTITUSI MEDIA;
INSTITUSI MEDIA TAK LAGI MEREPRESENTASIKAN DIRI SEBAGAI INSTITUSI PUBLIK. AKIBAT IKUTAN FENOMENA ITU ADALAH;
TERDAPAT KELOMPOK BE-SAR PUBLIK TAK TERLAYANI KEBUTUHAN INFORMASINYA.
KETIDAK ADILAN DALAM DISEMINASI INFORMASI

MENDUKUNG WACANA/GERAKAN TSB:
 LAHIR HASIL RISET & BUKU/KARYA TULIS, DARI SEJUMLAH SKOLAR, ANTARA LAIN:


ALAN O’CONNOR – 1990 – Perkembangan Radio Komunitas di Bolivia.
NORMA FAY GREEN – karya tentang publikasi berjudul “Street Wise” , terbit di Chicago;
CLEMENCIA RODRIGUES – 2001 – studi kasus internasional mengenai pengembangan “Citizens Media” ; & terbaru
KEVIN HOWLEY – 2005 – Community Media; People, places & Communication Technologies.

 GFMD; Amman,Jordan Conference 1 – 3 October 2005.

II. GERANGAN APAKAH MEDIA/PENYIARAN KOMUNITAS TERDAPAT DUA VERSI:

VERSI ILMU KOMUNIKASI: LAYAKNYA ILMU SOSIAL, TERDAPAT BERAGAM DEFINISI:


MEDIA KOMUNITAS ADALAH MEDIA ALTERNATIF;
MEDIA KOMUNITAS ADALAH MEDIANYA KAUM MARGINAL;
MEDIA KOMUNITAS ADALAH MEDIA KONFRONTATIF.

VERSI AMARC – ASOSIASI RADIO KOMUNITAS SEDUNIA - TENTANG APA ITU RADIO KOMUNITAS :

1. Community radio, rural radio, cooperative radio, participatory radio, free radio, alternative, popular, educational radio. If radio stations, networks & production group that makes up the World Association of Community Radio Broadcasters refer to themselves by variety of names, then their practices & profile are even more varied. Some are musical, some militan & some mix music & militancy. They are located in isolated rural villages & in the heart of largest cities in the world. The signals may reach only a kilometer, cover a whole country or be carried via shortwave to other parts of the world.
Some station are owned by not-for-profit groups or by cooperatives whos members are listeners themselves. Others are owned by students, universities, municipalities, churches or trade unions. There are stations finance by donations from listeners, by international development agencies, by advertising & by government.
“Waves from Freedom “
Report on the 6th World Conference of Community Radio Broadcasters. Dakkar-Senegal, January 23-29, 1995.

2. When radios fosters the participation of citizens & defend their interest, when it reflects the tastes of the majority & make good humor & hope its main purpose; when it truly informs, when it helps resolve the thousand & one problems of daily life; when all ideas are debated in its programs & all opinions are respected; when cultural diversity is stimulated over commercial homogeneity; when women are main players in communication & not simply a pretty voice or a publicity gimmick; when no type of dictatorship is tolerated, not even the musical dictatorship of the big recording studios; when everyone”s words fly without discrimination or censorship, that is community radio.

Radio Stations that bear this name do not fit the logic of money or advertising. Their purpose is different, their best effort are put at the disposal of civil society. Of course this service is highly political; it is a question of influencing public opinion, denying conformity, creating consensus, broadening democracy – whence the name – is to build community life.

“ Manual Urgente para Radialistas Apasionados “.

Jose Ignacio Lopes Vigili, 1997

3.The historical philosophy of community radio is to use this medium as the voice of the voiceless, the mouthpiece of oppressed people (be it on radial, gender, or class ground) and generally as a tool for development.

Community radio is defined as having three aspects; non-profit making, community ownership & control, community participation

It should be made clear that community radio is not about doing something for community but about the community doing something for itself, is owning & controlling its own means of communication.

“What is Community Radio ? A Resource guide “.
AMARC AFRICA & PANOS SOUTHERN AFRICA – 1998.

In Latin America, there are approximately one thousand radio stations that can be considered community, educational, grassroots or civic radio stations. They are characterized by their political objectives of social change, their search for a fair system that takes into account human rights, and makes power accessible to the masses & open to their participation. They can also be recognized by the fact that they are non-profit. This does not prevent them from growing & seeking a place in the market.
*Community radio is defined by community of shared interest it represents & by the coherent political-cultural, communication & business objectives of the same interest.
*Community & civic radio incorporated new language, new format, other sound, type of music, voices. It brings other ways of talking, new raltionships with listeners, ways of asking & answering questions, ways of making demand & pressuring the authorities.

“Gestion de la radio comunitaria y ciudadana”
Claudia Villamayor y Ernesto Lamas AMARC y Friedrich Ebert Stiftung, 1998.

Community radio in the commercially dominated media system, means radio in the community, for the community, about the community & by the community. There is a wide participation from regular community members with respect to menagement & production programs. This involvement of community members distinguishes it from the dominant media in the Philippines that are operated for PPPP – profit, propaganda, power, politics, privilege etc. Serving the big P (people or public) as a token gesture mainly to justify existence in the government bureaucratic licensing procedure (..). Stations collectively operated by the community people. Stations dedicated to the development, education & people empowerment. Stations which adhere to the principles of democracy & participation.

TAMBULI – Communication Project Phillipine.

Free, independent, lay radio station that are linked to human rights & concerned about the
Environment.

They are many & pluralistic.
They refuse mercantile communication.

They scrupulously respect to the code of ethic of journalist & work to disseminate culture by giving artist broader expression within their listening audience.

They have association status, democratic operation & financing consistent with the fact that they are non-profit organization.

Charte de la Confedartion des Radios Libres
CNRL - France

Over the years, community radio has become an essential tool for community development. People can recognize themselves & identity with community radio, in addition to communicating among themselves.

The tone of each community radio station is well modulated in the image of the listeners. The important thing is to seek out differences.
Alliance des radios communautaires du Canada.
ARC – CANADA.

III. KARAKTER MEDIA KOMUNITAS/ RADIO KOMUNITAS :

Dilongok dari batasan baik ilmu komunikasi, maupun rumusan AMARC , media komunitas/radio komunitas :


Peranti politik; yang mengejawantahkan hak-hak sipil & politik warganegara – voice of the voiceless; the mouthpiece of the oppressed people; creating consensus; broadening democracy.
Peranti pemberdayaan kaum papa informasi yang berada pada kalangan akar rumput pedesaan maupun perkotaan – to build community life; essetial tool for development.
Peranti cultural ; incorporate new format, other sound, type music, & voices; to seek out differences; to disseminate culture by giving artist broader expression within their listening audience.

IV PERAN KOMUNITAS ADALAH KATA KUNCI


Gozali, Effendi ( Dep Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2003):
“ Media yang memfokuskan diri pada program dan pelayanan bagi masyarakat dan melibatkan anggota komunitasnya, dalam operasional stasiun radio “;
Gerard, Bruce ( 2001 ) :
“Radio komunitas bergantung pada keterlibatan masyarakat, dalam struktur maupun operasional. Masyarakat yang menentukan prioritas dan sekaligus menjalankan radio.”;
Lewis, Peter ( 1998 ):
“Komunikasi bersifat partisipatif; participatory communication. Lantaran itu, maka tidak bisa lain, Media Komunitas, sifat kerjanya partisipatif. “
Howley, Kevin ( 2005 ) :
“ Community Media ; locally oriented and participatory media organizations and practices “

DASAR PEMIKIRAN MENGAPA KOMUNITAS DITEMPATKAN PADA POSISI SENTRAL DALAM PENGELOLAAN MEDIA :

PRAKTIK KOMUNIKASI INI, MEMUNGKINKAN TERBANGUN-NYA KERJA DIKALANGAN MASYARAKAT. PRAKTIK SERUPA ITU, JUGA MEMBANGUN KESEMPATAN UNTUK BERBAGI KEKUASAAN, YANG SEBELUMNYA CENDERUNG DIKUASAI OLEH ORANG-ORANG TERTENTU.

V. MEDIA KOMUNITAS DALAM PERSPEKTIF UU PENYIARAN 2002.

Berbeda dengan UU Pers 1999, maka UU Penyiaran 2002 mengatur dengan tegas, keberadaan Media Komunitas.

Simak bunyi Pasal 13 ayat ( 1 ) dan ( 2 ).
Pasal 13 ayat ( 1 ) :

Jasa penyiaran terdiri atas :

a. jasa penyiaran radio; dan
b. jasa penyiaran televisi

Pasal 13 ayat ( 2 ):

Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) diselenggarakan oleh :


Lembaga Penyiaran Publik;
Lembaga Penyiaran Swasta;
Lembaga Penyiaran Komunitas; dan
Lembaga Penyiaran Berlangganan. Ihwal Radio Komunitas, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengaturnya pada Bagian Keenam, yang terdiri atas empat pasal yakni, pasal 21 sampai dengan 24.

Berkaitan dengan masalah modal pendirian dan sumber pembiayaan, ketentuan-ketentuan pada pasal-pasal 21 s/d 23 tegas-tegas mengatur sebagai berikut :

 tidak komersial – pasal 21 ayat ( 1 )
 tidak untuk mencari laba atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata– pasal 21 ayat ( 2 ) butir a
 didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas – pasal 22 ayat (1)
 dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana operasional dari pihak asing – pasal 23 ayat (1)
 dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran komersial lainnya – pasal 23 ayat ( 2 )

Benar adanya, Radio Komunitas pada pasal 22 ayat ( 1 ) dibenarkan untuk didirikan dengan biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitasnya. Berdasarkan pengalaman praktek, kecuali komunitas keagamaan, komunitas diluar itu akan sangat sulit diharapkan kontribusinya secara teratur. Sampai pada investasi pendirian, rasanya masih mungkin. Tapi secara teratur memberikan kontribusi, bagi biaya operasional, sungguh menjadi pertanyaan besar.

Tiga elemen penting sustainabilitas radio komunitas adalah :


Faktor sosial;
Faktor institusi; dan
Faktor finansial

Faktor sosial, berhubungan dengan:

dukungan masyarakat, dalam keterlibatan mereka, baik dalam pendanaan, maupun operasional radio.

Sementara faktor institusi, kait-berkait dengan :

Aspek internal radio seperti manajemen dan program, maupun aspek eksternal radio, yang acap bertemali dengan pembinaan hubungan-hubungan dengan lembaga-lembaga swasta, pemerintah maupun antar stasiun radio komunitas.

( Penelitian Bank Dunia, bekerja sama dengan Combine ).

Menjawab tantangan tadi, memang harus dicarikan jalan keluar, agar Radio Komunitas tidak sekedar menjadi penghias perundang-undangan belaka. Dan yang terpenting adalah, untuk menjaga agar kebutuhan informasi dari komunitas-komunitas yang tak terlayani oleh penyiaran komersial maupun penyiaran publik, te tap dapat disediakan oleh Radio Komunitas.

Sebagaimana diperintahkan oleh pasal 28F Amandemen Kedua UUD 1945:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia “

Komunikasi dan informasi, pada hakikatnya adalah hak asasi manusia. Untuk itu, simak pula perintah pasal 28 ayat ( 1 ) yang menyatakan :

“…..hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Simak pula bunyi amanat pasal 28 ayat (3):

“ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban “

KEBERADAAN PENYIARAN KOMUNITAS, SESUNGGUHNYA KOKOH, BAIK BERDASARKAN KONSTITUSI MAUPUN UNDANG-UNDAN.

DALAM KONTEKS INDONESIA, MAKA POSISI RADIO KOMUNITAS :


SENANTIASA BERADA DIGARIS DEPAN – AVANT-GARDE;
BERFUNGSI SEBAGI TOOL OF DEVELOPMENT, PADA KOMUNITAS YANG BERADA DI WILAYAH-WILAYAH TERPENCIL.

VI. JALAN APA YANG BISA DITEMPUH RADIO KOMUNITAS :

Bergerak sendiri-sendiri, jelas akan sangat menyulitkan. Cara-cara yang bisa ditawarkan antara lain adalah :


membangun networking untuk Radio Komunitas sejenis atau seformat.
memproduksi produk-produk – baik dalam bentuk program atau iklan layanan masyarakat - yang dapat disiarkan secara bersamaan pada setiap anggota/afiliasi network yang seformat
head and tail dari saban produk acara atau mengembangkan ILM yang disiarkan network, diisi brand – contohnya; GIA, PLN, bank – institusi-institusi pendukung dana produksi program dan penyiaran ILM.
melakukan kegiatan-kegiatan merchandising dan off-air
organisasi nasional Radio Komunitas, mendirikan perusahaan pencari laba, dimana sebahagian dari keuntungan harus didistribusikan kepada anggota organisasi;
organisasi membentuk lembaga pencari dana dari berbagai badan-badan nasional, maupun internasional.

Usulan pada butir-butir 3 dan 4 memang sangat memungkinkan terbukanya perdebatan, terutama pada butir tiga, brand pendukung dana program, dalam pengertian penjualan, terbilang sebagai soft-sell. Dasar pertimbangan usulan ini adalah : undang-undang melarang penghimpunan laba,sebagaimana ketentuan pasal 21 ( 2.a ).

Radio Komunitas harus berupaya keras dan terencana untuk membangun public trust. Karena, kepercayaan publik tsb, sesungguhnya akan menjadi social capital.

Membangun kepercayaan publik, bukanlah karya enteng. Namun, merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan setiap media komunitas.

Paulo Freire :

Dalam menarik minat masyarakat, langkah terpenting adalah membuat mereka percaya bahwa, hak mereka terpenuhi. Hal itu akan membuat mereka lebih percaya diri, dan bersedia bekerja sama serta memberikan manfaat bagi kelompok.

<>o<>o<>o<>

Referensi:


Encyclopedia of Social Sciences; vol 3-4, 12th printing, 1957
Encyclopedia Britanica , Deluxe Edition, 2002
Media Asia, an Asian Mass Communication Quarterly; vol 27 number 1 2000 – an AMIC/SCS-NTU Publication
Media Communications and the Open Society; reader-ed Yassen N.Zas soursky & Elena Vartanova – Moskow State University Faculty of Journalism, Publishing IKAR, Moskow 1999
Media Law; Geoffrey Robertson QC and Andrew Nicol – Third Edition, Penguin Book, London 1992
Membangun Ilmu Komunikasi dan Sosiologi; reader-tim Ed Ana Nadhya Abrar, Setio Budi HH, Mario Antonius Birowo, Lucinda, F Anita Herawati – cetakan pertama, diterbitkan bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Politik-Pe nerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta 1999.
Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial; Charles F.Adrain, Penerjemah- Luqman Hakim, Cetakan Pertama, Penerbit PT Tiara Wacana, Yogya 1992.
Masyarakat Indonesia Dalam Transisis; Studi Perubahan Sosial: Wertheim WF, Penerjemah Misbah Zulfa Ellizabeth, Cetakan Pertama, Penerbit PT Tiara Wacana Yogya, Yogaya 1999
Konstruksi Sosial Industri Penyiaran; Plus Acuan Tentang Penyiaran Publik dan Komunitas; Effendy Gozali, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Jakarta, 2003.
Bruce Girard ( 2001 ) : A Passion of Radio; Radio Waves and Community. Electronic documen Retrieved on June 22, 2005. From: http//comunica org/passion/pdf/passion4radio.pdf
Peter Lewis ( 1998 ); Radio Theory and Community Radio. Retrieved on June 15, 2005, from http://www.teichenberg.at/essential/lewis.htm
What Is Community Radio; Retrieved on December 3-4, 2005 from : http://www.amarc.org.
Community Media: People, Places, and Communication Technologies, Kevin Howley , 2005, Cambridge University Press.

SUMBER:http://basuki1.ganeca.net/index.php/MEDIA-PENYIARAN-KOMUNITAS-MENGAPA-DAN-APA.html

Pengembangan Media Massa Pembelajaran

Ditulis pada Juni 3, 2008 oleh rezaervani

Bismilahirrahmanirrahiim

Ketika penulis menyebutkan media pendidikan, mungkin sebagian besar pendidik akan langsung teringat dengan Papan Tulis, White Board, OHP atau In Focus Projektor.

Ketika penulis coba ajukan pertanyaan, apakah televisi dan radio bisa menjadi media pembelajaran ? Mungkin sebagian besar pendidik menjawab “Ya”

Jikalau pertanyaan dilanjutkan kembali menjadi, “Apakah Televisi dan Radio saat ini pantas disebut sebagai media pembelajaran ?” Mungkin sebagian besar pendidik akan menjawab “Tidak”.

Ketika Rumah Ilmu Indonesia mencoba merancang media dengan menggunakan berbagai fasilitas yang memungkinkan, seperti internet dan radio, setidaknya ada beberapa hal yang harus dicapai tahapan-tahapannya :

1. Membangun “Opini Pembelajaran” di Masyarakat

Tahapan ini sesungguhnya harus dilakukan dengan sangat massive. Menggeser paradigma kebutuhan masyarakat akan media, dari media sebagai penyedia “hiburan” (entertaint) menjadi media sebagai penyedia materi pembelajaran (learning content) harus dilakukan dengan sangat kreatif dan produktif. Tanpa itu, sulit rasanya menggeser budaya menonton dan mendengar yang selama ini ada di masyarakat.

Selain itu peran `issu maker’ juga harus bisa diambil oleh media-media yang dirancang dan dimanfaatkan oleh Rumah Ilmu Indonesia. Maksudnya adalah, harus adanya kemampuan Rumah Ilmu Indonesia untuk mengendalikan aliran isu yang mengalir.

Di zaman euforia reformasi seperti yang masih berlangsung saat ini, kejadian apapun sebenarnya memiliki dua sisi opini yang saling kontra satu sama lain. Kasus Ahmadiyah misalnya, tampak jelas sekali kubu yang mendukung dan kubu yang menolak. Jika kemudian media massa masuk ke salah satu kubu, maka seolah-olah kubu itulah yang lebih besar, sekalipun nyatanya secara kuantitas kubu itu kecil adanya.

Kasus lain misalnya, Islam Liberal. Walau secara kuantitas orang-orang ini kecil, tetapi secara kemampuan infiltrasi media massa dan membangun opini, kita harus mengakuinya. Sehingga terkadang masalah yang sudah jelas “gelap terangnya” malah bisa bergeser menjadi abu-abu, masalah yang sudah jelas “halal haramnya” malah bergeser menjadi “syubuhat”

Contoh kasus tersebut dapat dipelajari oleh Team Media & Broadcast Rumah Ilmu Indonesia agar tidak terjebak pada isu-isu yang malah membawa kepada “politisasi pendidikan”. Mengendalikan apa yang didapat, ditonton dan didengar oleh masyarakat menjadi penting untuk membangun opini pembelajaran tadi.

Untuk itu, sedapat mungkin semua yang disampaikan haruslah berada dalam skenario yang dikaji secara matang, dan upayakan semua yang dilakukan patuh pada skenario tersebut.

Di tahap ini, materi-materi yang diangkat belumlah spesifik. Masih berkisar pada isu-isu dan masalah-masalah umum pendidikan.

Pemilihan tema programpun harus dipilih dengan hati-hati.

Pemilihan radio komunitas sebagai media sambung siar menjadi tepat karena pembangunan opini memang lebih mudah dilakukan pada komunitas-komunitas kecil daripada harus sekaligus `menyerang’ massa yang lebih besar dan sudah memiliki `own opinion’ yang dibangun oleh media massa-media massa yang lebih kuat dan besar skalanya.

Setidaknya, dalam pengamatan penulis, ada beberapa tahapan juga yang harus dilakukan di tahapan ini :

a. Kampanye marketing yang massive

Ingat selalu bahwa leaflet dan iklan juga merupakan media untuk membangun opini pembelajaran

b. Pelebaran penggunaan media dan jaringan media
Termasuk dalam hal ini adalah pelebaran tema dan penggunaan berbagai stasiun radio dan televisi yang sudah ada untuk menayangkan program-program media & broadcast Rumah Ilmu Indonesia

c. Pengembangan kegiatan offline
Program-program seperti pelatihan, Media goes to School dan semacamnya diharapkan mampu mendorong pembentukan opini pembelajaran yang lebih cepat dan lebih luas.

2. Memfasilitasi “Komunitas Pembelajaran” dengan Media yang Lebih Spesifik

Diharapkan jika tahap pertama ini bisa kita jalankan dengan baik, maka akan terbentuk kemudian komunitas-komunitas pembelajar di masyarakat.

Sebagai catatan kembali, pembentukan komunitas itu harus pula mampu didorong oleh media-media yang dirancang oleh Rumah Ilmu Indonesia. Beberapa hal sudah kita lakukan, misalnya mailing list rezaervani menghasilkan komunitas yang cukup besar. Hal lain yang dapat kita lakukan misalnya, mendorong tumbuhnya komunitas pendengar acara BINCANG GURU & PENDIDIKAN, atau komunitas pembaca buletin FORISTIC.

Ini harus pula dicermati dan mampu teranalisa dengan baik oleh seluruh komponen Rumah Ilmu Indonesia, jangan sampai tidak terdeteksi apalagi terlepas.

Komunitas-komunitas itu tidak akan banyak kuantitasnya, tapi itulah tantangannya. Memfasilitasi komunitas itu dengan media yang lebih spesifik diharapkan mampu mendorong terjadinya perpaduan antar berbagai media pembelajaran.

Contohnya adalah apa yang pernah dilakukan oleh BBC Step by Step (Pelajaran Bahasa Inggris) dan Deutsche Welle dalam pembelajaran Bahasa Jerman.

Selain mengadakan siaran di Radio dan televisi, mereka juga mengirimkan buku-buku panduan yang memudahkan para pendengarnya untuk mengikuti pelajaran yang dilangsungkan.

Karena itulah sebenarnya, Rumah Ilmu Indonesia juga menyiapkan Departemen Penerbitan.

Saat ini, Rumah Ilmu Indonesia juga sedang menjalani riset media Web 2.0 sebagai media pembelajaran. Perpaduan antara web based learning dengan media massa akan menjadi sangat optimal jika dilakukan secara terpadu.

Mampukah Rumah Ilmu Indonesia ? Harus !!

3. Membangun Media Massa Pembelajaran Mandiri

Jika tahapan-tahapan diatas dapat kita lakukan, maka tahapan terakhir yang nanti kita kerjakan adalah membangun media massa pembelajaran mandiri.

Ini dapat berarti kita harus punya radio sendiri, stasiun televisi sendiri, production house sendiri, majalah dan surat kabar sendiri, yang semuanya memiliki orientasi pencerdasan masyarakat.

Pra dan pasca tahap ketiga ini, harus pula dilakukan penelitian (research) seputar pemanfaatan media bagi pembelajaran. Banyak model yang sesungguhnya sudah dilakukan oleh negara-negara di luar Indonesia, termasuk yang dikembangkan di Afganistan. Kita bisa ambil model-model tersebut untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

***
Tanpa melewati tahapan-tahapan diatas, rigiditas Rumah Ilmu Indonesia di bidang media dapat dipertanyakan. Perjalanan akan membuat kita belajar lebih banyak dan menjadi kuat.

Akhir kata, ini adalah sebuah pekerjaan besar yang membutuhkan nafas panjang. Yang paling mahal dari semuanya adalah komitmen dan keteguhan niat kita untuk menjadikan Rumah Ilmu Indonesia menjadi salah satu garda terdepan dalam membangun budaya belajar masyarakat, sehingga harapan terbentuknya sebuah masyarakat madani yang berdiri di atas pondasi moral yang teguh dan ilmu yang luas dapat terwujud.

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Al Quran Al Karim Surah Al Maidah ayat 54)
Faidza azzamta fa tawakal `alaLlah

sumber: http://rezaervani.wordpress.com/2008/06/03/pengembangan-media-massa-pembelajaran/

Agenda Baru Etika Media Massa

Rabu, 12 November 2008 | 00:43 WIB
oleh: R Kristiawan

Kegelisahan masyarakat terkait praktik media massa akhirnya muncul juga. Media massa dianggap sebagai salah satu agen yang amat berperan dalam imitasi perilaku sosial, termasuk kriminalitas. Harian Kompas dan Tb Ronny Nitibaskara (10/11/2008) menulis, media massa, terutama televisi, berperan dalam imitasi perilaku kejahatan, termasuk mutilasi.

Telaah tentang pengaruh media massa bagi perilaku sosial sebenarnya sudah menjadi kajian lama. Riset Albert Bandura tahun 1977 menemukan, televisi mendorong peniruan perilaku sosial, bahkan pada tahap akhir mampu menciptakan realitas (teori pembelajaran sosial kognitif). Untuk konteks Indonesia, debat tentang tema itu masih berlangsung tanpa refleksi berarti bagi media massa, terutama televisi.

Dua wilayah etika media

Hingga kini, fokus perhatian etika media massa ada pada wilayah teknik jurnalistik. Wilayah teknis dalam etika media massa ini terkait proyek bagaimana menghasilkan berita yang sesuai dengan fakta dan mengurangi bias sekecil mungkin. Nilai berita, yaitu kebaruan, kedekatan, kebesaran, signifikansi, dan human interest, menjadi rambu-rambu teknis untuk menentukan kelayakan berita.

Pada wilayah itu, pembangunan etika didasarkan prinsip-prinsip teknis, yaitu akurasi, keberimbangan, dan keadilan (fairness). Tujuan utamanya adalah membangun obyektivitas dan kebenaran (truth). Hingga kini, berbagai jenis pelatihan etika jurnalistik hanya berorientasi pada masalah etika dalam wilayah teknik jurnalistik.

Dalam kompetisi industri media yang kian seru, pertimbangan teknis sering hanya didasari etika teknis. Sebuah talkshow di televisi baru-baru ini membahas mutilasi dengan mengundang dua narasumber: seorang kriminolog dan ahli forensik. Sang ahli forensik dengan dingin memaparkan aneka jenis modus mutilasi dengan amat rinci, termasuk cara pemotongan bagian-bagian tubuh.

Jika memakai kaidah etika teknik, tidak ada yang salah dengan acara itu karena memenuhi kaidah akurasi. Namun, sulit disanggah, susah menemukan makna publik di balik pemaparan berbagai teknik mutilasi itu bagi masyarakat. Tak heran jika Sri Rumiyati memutilasi suaminya karena terinspirasi Ryan lewat tayangan televisi.

Masalahnya, ada di wilayah etika kedua terkait makna publik. Wilayah ini melampaui wilayah teknik dan berusaha menampilkan media massa terkait makna publik (public meaning) di balik berita. Etika pada level ini tidak lagi berurusan dengan operasi teknis, tetapi sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik (Ashadi Siregar, 2008).

Jadi, masalahnya bukan bagaimana menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan analisis berita (news analysis) agar mempunyai makna publik. Dengan demikian persoalannya bukan apakah sebuah berita sesuai dengan fakta, tetapi apakah berita itu memiliki nilai publik.

Dalam konteks televisi, temuan Bandura tiga puluh tahun lalu seharusnya menjadi peringatan bahwa menampilkan fakta apa adanya ternyata tidak cukup. Menampilkan ahli forensik dalam talkshow TV dan memaparkan teknik mutilasi secara rinci harus dihadapkan pada konteks makna publiknya.

Berita dan kompetisi wacana

Konsekuensi dari etika jenis kedua adalah melihat berita sebagai wacana (discourse) dalam konteks kompetisi perebutan makna adalah kehidupan publik. Berita diposisikan sebagai unit yang mampu memengaruhi proses pembentukan makna dalam kehidupan publik. Kehidupan publik merupakan kawanan makna yang dihasilkan dari perebutan makna oleh berbagai pemegang alat produksi makna.

Postmodernitas mengajarkan, makna selalu relatif bergantung pada siapa yang keluar sebagai pemenang dari medan pertempuran makna. Media massa tidak bisa bersikap naif dengan melarikan diri dari pertempuran itu dan dengan selubung teknik jurnalisme. Persis saat media massa merupakan salah satu lembaga yang signifikan dalam produksi makna, di situ masalah etika publik menjadi relevan.

Dalam perang makna, ada tiga peserta utama, yaitu negara, pasar, dan masyarakat. Tiga hal ini saling berseteru memperebutkan makna sesuai kepentingan masing-masing. Kehidupan publik yang ideal adalah fungsi dari keseimbangan tiga sektor itu.

Di manakah posisi media massa? Secara struktural, sebenarnya bangunan kehidupan media massa sudah ideal. Negara sudah menumpulkan sengat politiknya lewat UU Pers No 49/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002. Artinya, hegemoni negara sudah bisa dilucuti. Untuk media penyiaran, aspirasi masyarakat sipil sudah termanifestasikan melalui KPI (meski KPI sering kelimpungan menghadapi industri yang keras kepala). Secara bisnis, bisnis media massa Indonesia sudah amat leluasa, bahkan cenderung mendominasi. Tiga pilar itu sudah hidup dengan leluasa dalam habitat media massa Indonesia.

Ketika fasilitas makro sudah diberikan dan ternyata masih timbul masalah, pendulum harus diarahkan pada wilayah internal media massa sendiri. Dalam iklim kebebasan media, mekanisme swa-sensor menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan berita, meninggalkan sensor eksternal dari negara. Dengan demikian, etika menjadi signifikan dalam proses self-censorship. Masalah muncul karena yang dominan dipakai media massa Indonesia adalah etika teknis yang amat rentan bagi publik dalam konteks kompetisi industrial.

Di sisi lain, menyambut liberalisasi, kita dihadapkan fakta, ada perbedaan bentuk kontrol negara dan kontrol pasar. Kontrol negara bersifat koersif, sedangkan kontrol pasar bersifat intrusif. Intrusivitas kontrol pasar itu menjelma dalam watak berita yang berorientasi pada kompetisi pasar, berlandaskan etika teknis sehingga berita sering kehilangan makna publiknya.

R Kristiawan Senior Program Officer for Media, Yayasan TIFA, Jakarta; Mengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

MEDIA MASSA: OUTLET BAGI PESAN ADVOKASI

Saat ini, advokasi selalu erat berkaitan dengan media massa. Ada baiknya media masa kita sikapi secara netral, bukan teman dan bukan musuh. Walau demikian ada satu tujuan yang dimiliki secara bersamaan oleh para aktivis dan media massa yaitu: membuat berita. Hubungan aktivis dan media massa adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling memanfaatkan.

Untuk bisa memanfaatkan media massa secara optimal guna menyalurkan pesan-pesan kepada publik dan pembuat keputusan, aktivis wajib memahami media massa. Media massa sebaiknya dipahami pada skala dunia. Ini penting karena sekarang ini hampir semua isu bisa dipastikan memiliki dimensi lokal, regional, nasional, dan global. Mengingat skala dan lingkup media massa yang demikian besarnya, aktivis harus mampu mengarahkan strategi komunikasinya pada media massa yang:
- Paling tertarik pada isu yang diadvokasikan.
- Akan menimbulkan dampak yang paling besar.

Struktur Media massa bisa dirinci sbb:
- Berdasarkan jenis media: Kantor Berita (wires), koran, majalah, TV, radio, dsb.
- Berdasarkan kawasan paparannya: Internasional, regional, nasional, daerah.
- Berdasarkan timeline publikasi/siaran -- hingga ke ukuran menit, jam, harian, mingguan, bulanan.
- Berdasarkan fokus yang diambil oleh media massa: berita, bisnis, feature, hiburan, speciality, dsb.

Kualitas dan kuantitas peliputan yang didapatkan oleh berita yang sengaja dibuat para aktifis melalui berbagai aksinya, sangat dibantu oleh strategi komunikasi yang didasari pengetahuan mengenai apa yang dicari oleh berbagai outlet media massa. Pengetahuan ini penting dimiliki oleh para aktifis.

Beberapa jenis media

Kantor Berita

Beberapa contoh kantor berita Internasional adalah Reuters, Associated Press (AP), Agence France Presse (AFP) dan United Press International (UPI). Indonesia juga memiliki kantor berita yaitu Antara. Masing-masing kantor berita tentu memiliki keunikan, akan tetapi pada umumnya semua memiliki fungsi yang sama yaitu mengirimkan tulisan (copy) dan foto pada para pelanggan mereka diseluruh dunia. Media lain sangat membutuhkan keberadaan kantor berita internasioanl ini. Stasiun-stasiun TV misalnya: memanfaatkan kantor berita untuk mengikuti perkembangan berita-berita baru yang merebak diseluruh dunia untuk perencanaan programnya. Copy atau photo yang disalurkan suatu kantor berita memiliki kesempatan besar untuk mencapai jutaan orang diseluruh penjuru dunia. Program komunikasi ORNOP sering melupakan peran penting kantor berita nasional maupun internasional dalam merencanakan kerjanya. Kantor-kantor berita Internasional yang utama, semuanya mempunyai perwakilan dan reporter di Jakarta, kenali siapa mereka. Mungkin juga mereka memiliki 'stringer' di kota-kota lain di Jawa maupun luar Jawa.

Koran
Hal penting yang perlu diingat tentang koran, adalah bahwa meskipun koran selalu dipacu untuk memuat 'hard news' terutama di halaman depan, akan tetapi di halaman-halaman lain terdapat berbagai bagian yang bisa anda manfaatkan. Misalnya bagian bisnis, 'lifestyle', berita daerah, 'entertainment', dan koran minggu. Juga ada bagian 'surat anda' atau surat pada editor yang biasa terdapat dihalaman opini. Bagi aktivis advokasi, halaman opini sangat penting dan wajib dimanfaatkan. Sebagai pembaca anda berhak menuangkan opini di halaman ini. Tulisan opini umumnya berkisar antara 500 hingga 800 kata, dan sebaiknya memberikan informasi yang meyakinkan untuk pembaca awam.

Majalah
Bagi aktivis, majalah merupakan outlet informasi yang penting terutama untuk informasi yang tidak bersifat hard news.Jenis majalah yang paling banyak dimanfaatkan oleh aktifis dan ornop Indonesia hingga kini baru majalah berita. Jobalah mulai menjalin hubungan dengan berbagai majalah spesialis seperti majalah wanita, olahraga, ekonomi, bisnis, kesehatan dan lain sebagainya. Melalui berbagai majalah anda bisa menjangkai pembaca yang belum tentu terjangkau oleh berita koran, radio, dan TV.

Para pembaca majalah spesialis biasanya punya lebih banyak waktu luang dan juga uang - mereka berpotensi menjadi pendukung aktif kampanye advokasi anda.

TV
Ada banyak ragam outlet TV diantaranya: International wire feeds (misalnya Reuters TV), International broadcasters (CNN, BBC,dsb), national bradcasters (RCTI,SCTV,TVRI,dsb), dan TV yang hanya melakukan bradcasting regional di daerah seperti TVRI Yogyakarta, TVRI Pontianak, dsb.

Banyak cara yang bisa anda tempuh untuk menyalurkan berita anda melalui TV. Salah satu yang lazim dilakukan adalah dengan membuat VNR (Video News Release) yang juga sering disebut Video Press Release. VNP sangat menolong bila anda mengundang wartawan TV ke konferensi pers yang anda selenggarakan.

Anda juga bisa menawarkan berita anda pada para produser berita atau produser dokumenter di berbagai stasiun TV. Upayakan mengenali orang-orang ini, sehingga anda bisa setiap saat mengontaknya. Produserr dokumenter dari berbagai TV international seperti CNN dan BBC sering tertarik pada berbagai isu lingkungan, Masyarakat Adat, dan yang sejenisnya dari negara berkembang seperti Indonesia.
Radio
Di Indonesia ada ratusan stasiun radio. Radio juga menjangkau jauh lebih banyak orang dibandingkan media massa lainnya di negeri ini. Kenali semua stasiun radio di daerah anda. Jika bisa terbitkan buletin informasi secara rutin sebagai servis anda pada semua stasiun radio yang ada. Upayakan factual, singkat, padat, dan menarik. Para pembawa acara radio biasanya membutuhkan informasi ringan untuk diobrolkan dari waktu ke waktu, manfaatkan peluang ini dengan baik
Powered By Blogger