Kuak Konspirasi Bikin Senjata Biologi dari Flu Burung Buku Menkes Fadilah Bikin Gerah AS dan WHO

MENTERI Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1). Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusaha an dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung. "Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta, Kamis (21/2). Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. "Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dankemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya," ujarnya. Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku. "Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar," katanya. Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. "Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush," ujar menterikesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini. Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran. "Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran. Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu. Mengubah Kebijakan Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun. Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah TheEconomist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. "Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, " tulis The Economist. The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung. Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnyaternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong? Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak.Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin. Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia? Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya. Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi.Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia. Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan. .

WUJUD KREATIFITAS DESAINER GRAFIS DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN

oleh : Slamet Eko Andi Purnomo
Minggu, 03 Februari 08


Fenomena kerusakan alam yang semakin meningkat dewasa ini tidak dapat dipungkiri bersumber utama dari manusia dan sikap hidupnya yang cenderung bertolak belakang dari kata “pelestarian” serta ditambah dengan makin besarnya kecenderungan akan eksploitasi secara membabibuta oleh berbagai kalangan seperti pemerintah, pengusaha, makelar serta masyarakat luas tanpa adanya konsekuensi moral untuk melestarikannya. Sementara itu jika kita cermati bencana alam yang kerap terjadi sebagai representasi dari rusaknya keseimbangan alam sering kali dinetralisasikan dengan sikap pasrah dan beranggapan bahwa bencana tersebut adalah bencana alamiah dari alam semata. Pertanyaannya, apakah fenomena mengerikan seperti itu hanya diselesaikan dengan kalimat,”…itukan memang fenomena bencana alam!”. Karena sikap dan pemikiran skeptis tersebutlah yang membuat alam menjadi berbalik mengintimidasi sang penghuninya. Jika kita mau jujur untuk berfikir, sejatinya lingkungan hidup merupakan karunia Tuhan yang sangat pantas untuk kita jaga kesimbangannya serta kita rawat kelestariannya. Untuk itu peran desainer komunikasi visual sejatinya sangatlah penting dalam menyampaikan pesan moral untuk perubahan kearah yang lebih bermakna bagi hidup serta lingkungan kita. Karena melalui ilmu pengetahuan, cara pandang serta konsep kreatif, dan karya desain komunikasi visual senantiasa membawakan pesan penuh makna serta moralitas bagi kehidupan manusia dan secara konseptual seorang desainer senantiasa berupaya untuk memecahkan serta memberi solusi inovatif bagi permasalahan dalam ruang lingkup komunikasi dengan berbagai bentuk visualisasi kreatifnya. Fakta inilah yang menjadi dasar bahwa peran desainer grafis dalam konteks promosi penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan menjadi sangat fleksibel dan dinamis. Berbagai hal bermakna yang dapat diapresiasikan para desainer grafis untuk mendukung tercapainya pelestarian lingkungan sangatlah dibutuhkan. Apresiasi tersebut dapat berupa banyak hal seperti merancang konsep kampanye perihal pelestarian lingkungan hidup melalui tahapan inventarisasi, identifikasi masalah, aplikasi desain di berbagai media seperti poster yang berisikan ilustrasi atau berbagai pesan moral tentang pentingnya pelestarian lingkungan yang diharapkan akan menimbulkan sikap kritis serta peduli bagi siapapun yang melihatnya. Para desainer komunikasi visual diharapkan dapat dengan optimal mengapresiasikan karyanya melalui media desain iklan sosial sebagai wadah untuk mensosialisasikan berbagai pesan moral pelestarian lingkungan dengan asumsi dasar bahwa desain sosial tidak semata-mata hanya untuk kepentingan komersial ataupun kepanjangan tangan kapitalisme, tetapi karya desain sosial memiliki nilai seni tinggi yang patut dihargai melebihi materi karena fungsinya sebagai vasilitator bagi misi penyelamatan kelangsungan hidup sekarang dan masa mendatang. Sehingga karya kreatif tersebut dapat terus dipahami makna pesannya tanpa harus mengalami masa kadaluwarsa, artinya ketika fungsi informasi yang melekat pada karya desain sosial telah berakhir, keberadaan wujudnya dapat tetap dinikmati secara representative dan pada akhirnya para desainer komunikasi visual akan mengangkat karya desain sosial dari sekedar objek berwarna menjadi sebuah subjek penuh makna. Langkah – langkah ataupun cara yang dapat ditempuh untuk merealisasikan program/misi kreatif tersebut adalah : 1. Melakukan brainstorming serta memilih media kemasan untuk komunikasi visual yang efektif, komunikatif serta persuasif untuk mempromosikan dan mempublikasikan pesan penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan. 2. Membuat karya desain yang inovatif dan logis serta mengandung pesan bermakna yang tidak bersifat menggurui tetapi lebih berdampak menyadarkan bagi pelestarian lingkungan. Juga diperlukan adanya penyusunan media yang dimanfaatkan agar informasi yang disampaikan dapat efektif dan berkesan. Dalam hal ini penting sekali adanya pemahaman tentang pendekatan desain komunikasi visual. 3. Kejujuran karya serta kreatifitas yang realis sangat diperlukan dalam kelangsungan misi ini, karena melalui hal tersebut karya desain dapat benar-benar memiliki nilai dan sang desainer grafis dapat dikatakan memiliki kepekaan, kreatifitas, konseptual, fleksibilitas, serta kesederhanaan yang membuatnya layak untuk dihargai. Tentunya hal tersebut sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak selain para pelaku komunikasi visual. Peran serta pihak yang berkompeten dalam penentu kebijakan serta masyarakat menjadi pembuka pintu bagi terwujudnya keinginan bersama yang sebenarnya merupakan keinginan mendasar yang bersumber dari hati nurani. Dengan adanya keyakinan dan peran serta efektif dari seluruh pihak dapat dengan optimal membantu terwujudnya keseimbangan serta pelestarian lingkungan yang sejatinya telah sangat berperan bagi seluruh bidang kehidupan, bukan hanya bidang kreatif dan seni tetapi lebih dari itu sebagai sarana serta prasarana terciptanya karya-karya besar yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia saat ini dan di masa mendatang.

Desain Sosial dan Promosi Pelestarian Lingkungan Hidup

Oleh Sumbo Tinarbuko
Fenomena yang layak dicatat sepanjang dua dasawarsa terakhir ini setiap kali pergantian musim, ternyata banyak menelan korban jiwa dan harta benda.
Para pakar dan pengamat lingkungan yakin, berbagai derita yang mencuat pada musim kemarau dan penghujan, sejujurnya merupakan gejala terjadinya kerusakan lingkungan yang amat memprihatinkan.
Tanda-tanda zaman semacam itu sebenarnya sudah berlangsung lama. Isyarat itu amat jelas, tetapi kita sebagai manusia tidak pernah mengubrisnya. Harus diakui bahwa selama ini kita tidak peduli dengan persoalan lingkungan hidup yang berkesinambungan. Nafsu untuk sekadar memacu pembangunan ekonomi dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu yang singkat, membuat kita lalai menjaga keseimbangan ekosistem alam raya ini.
Sementara itu jika kita cermati, bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan, penyebab fundamentalnya makin banyak kawasan yang kehilangan keseimbangan ekosistem. Anehnya, berbagai kejadian yang muncul kemudian selalu dinetralisasikan dengan sikap pasrah dan hal semacam itu lalu dianggap sebagai sebuah bencana alam. Pertanyaannya, apakah fenomena mengerikan seperti itu hanya diselesaikan dengan sebuah kalimat pendek, ‘’… toh kejadian tersebut merupakan fenomena bencana alam!”.
Pemeo yang menyatakan: alam akan ramah kepada manusia kalau manusia ramah kepada alam. Demikian juga sebaliknya, alam akan murka kalau manusia arogan terhadapnya, agaknya mulai dinisbikan oleh hampir sebagian besar masyarakat Indonesia.
Agaknya pemerintah, pengusaha, makelar, dan masyarakat luas lebih memilih mengeksploitasi alam raya ini secara membabi-buta. Maka sekarang kita menuai hukum alam. Dalam hal ini alam mulai murka akibat kita arogan terhadap keberadaannya. Hukum alam dan simbol-simbol perubahan jagat seperti itu menunjukkan kepada kita bahwa alam raya kehidupan tengah dilanda ketidaktentuan arah, ketidakpastian nilai, distorsi moral, dan carut marut makna hakiki.
Maka yang muncul kemudian, dalam beberapa tahun terakhir ini keberadaan hidup dan kehidupan kita cukup nggrantes (menyedihkan), memprihatinkan, dan berduka. Kondisi kita seperti bunyi sebuah peribahasa: bagaikan jatuh tertimpa tangga.
Berbagai krisis yang mengkristal menjadi krisis multi dimensi belum bisa teratasi secara tuntas. Tiba-tiba penderitaan hidup manusia ditambah dengan datangnya berbagai bencana akibat ulah manusia, berupa kecelakaan kendaraan bermotor, kereta api, pesawat terbang, dan kapal laut secara beruntun, kebakaran kawasan pemukiman padat, kebakaran pasar dan pusat perbelanjaan, kepungan asap akibat kebakaran hutan, ledakan bom dan tindak kriminalitas lainnya, letusan gunung berapi, kekekeringan berbarengan kemarau panjang, wabah malaria, demam berdarah, tanah longsor dan banjir bandang di berbagai daerah di seantero Indonesia.
Akibatnya, banyak sahabat kita kehilangan harta benda, rumah tinggal, orang tua, suami, istri, anak, sanak saudara, kebahagiaan, ketentraman, penghasilan, pendidikan, cita-cita, dan masa depannya.
Sebagai ilmu pengetahuan, konsep dan karya desain komunikasi visual senantiasa membawakan pesan etika dan moralitas kehidupan manusia. Kedigdayaan desain komunikasi visual dalam menghadirkan citra baru bagi promosi penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup telah teruji oleh zaman. Sebab menurut Victor Papanek dalam bukunya ‘’Design for The Real World”, peran desain beserta desainernya diupayakan menjadi pioner dalam mengatasi perubahan dan pembaruan. Artinya, secara konseptual sang desainer senantiasa berupaya memecahkan masalah komunikasi visual untuk mencari jawab tentang hal-hal kebutuhan mental dan material manusia melalui kreativitasnya sehingga mampu memenuhi tuntutan fungsional dan keindahan suatu produk atau jasa. Semangat semacam inilah yang menyebabkan peran desain komunikasi visual dalam konteks penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup menjadi sangat fleksibel dan dinamis.
Atas dasar itulah, maka sejatinya paradesainer yang bergelut dalam ranah desain komunikasi visual memiliki kemampuan merancang konsep kampanye desain sosial perihal pelestarian lingkungan hidup dengan melakukan tahapan inventarisasi, mengidentifikasikan masalah, menganalisa, menetapkan konsep kreatif dan media yang tepat, kemudian menyusun dalam bentuk desain final yang siap dipresentasikan kepada masyarakat dalam konteks pelestarian lingkungan hidup.
Paradesainer komunikasi visual berkarya melalui medium desain iklan sosial sebagai wahana untuk mensosialisasikan pesan-pesan sosial pelestarian lingkungan hidup dengan asumsi dasar bahwa desain sosial sebagai wacana ekspresi artistik tidak semata-mata mengabdi untuk kepentingan komersial dan kepanjangan tangan kapitalisme, tetapi karya desain sosial sebagai sebuah karya seni terap tetap bisa dipajang, dinikmati dan dipahami makna pesannya tanpa harus mengalami masa kadaluwarsa. Artinya, ketika fungsi informasi yang diemban oleh karya desain sosial telah berakhir, keberadaan karya tersebut masih bisa dimikmati sebagai sebuah karya visual yang artistik, menarik dan indah ketika di pajang di sudut ruang perkantoran, areal kampus, rumah sakit, rumah tinggal atau ruang publik lainnya yang dianggap representatif. Dalam konteks ini, paradesainer komunikasi visual pada akhirnya mengangkat posisi karya desain sosial dari sekadar objek menjadi sebuah subjek.
Pertanyaannya kemudian, apa saja yang harus dilakukan paradesainer komunikasi visual agar program promosi penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup lebih memasyarakat?
Secara konseptual paradesainer komunikasi visual seyogianya mengetahui atau sengaja mengetahui positioning program promosi penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan adalah: pertama, memilih media dengan kemasan desain komunikasi visual yang komunikatif dan persuasif untuk mempromosikan dan mempublikasikan program penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup.
Kedua, menentukan rentetan media yang dimanfaatkan sebagai barisan barikade guna menyumbat informasi agar tidak hablur sia-sia. Untuk itu, sebaiknya mulai dipikirkan keberadaan materi informasi yang selanjutnya dikemas dengan pendekatan desain komunikasi visual. Dalam konteks ini, desain komunikasi visual adalah garda depan dari sebuah program promosi. Keberadaan desain komunikasi visual menjadi sangat penting karena ia memiliki potensi untuk merobek image dan menghadirkan citra yang sejalan dengan konsep program promosi penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup.
Sebagai ujung tombak dari kampanye program promosi penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup membuat fungsi desain komunikasi visual semakin signifikan. Sebuah karya desain komunikasi visual dalam bentuk desain iklan sosial program penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup harus bisa segera menarik perhatian khalayak luas. Ia harus menanamkan suatu citra yang mudah diingat. Menciptakan kepercayaan dengan menampilkan realisme, menunjukkan suasana akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Memantapkan kepribadian target sasaran betapa pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Mengikat objek sasaran demi kepentingan pelestarian lingkungan hidup dengan suatu simbolisme atau gaya hidup modern yang ramah lingkungan. Memperciut jarak dan waktu dengan memelihara daya tarik objek pelestarian lingkungan hidup.
Hal itu menjadi penting, sebab parameter keberhasilan sebuah proses kreatif perencanaan dan perancangan karya desain komunikasi visual bisa disimak manakala paradesainer komunikasi visual mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap pemecahan masalah komunikasi (visual dan verbal), lancar dan orisinal dalam berpikir kreatif, konseptual, fleksibel, cepat mendefinisikan dan mengkolaborasikan berbagai macam persoalan komunikasi khususnya yang terkait dengan masalah promosi program penyadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup kepada parapihak yang menjadi target sasarannya.

*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/), Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Sekarang Kandidat Doktor FIB UGM.

Air Mahal Bagi Si Miskin

DALAM urusan akses terhadap air bersih, kita masih mendapati banyak hal yang ironis. Di satu sisi, rakyat miskin sangat kesulitan mendapatkan akses air bersih. Pemerintah--melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)--seolah lupa pada nasib si miskin karena terlalu memprioritaskan orang kaya sebagai pelanggan mereka.
Akibatnya, untuk mendapatkan air bersih, orang miskin harus mengeluarkan biaya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan orang kaya. Sedangkan bagi orang yang masuk kategori sangat miskin dan tidak mampu membeli air bersih, terpaksa banyak yang mati muda pada usia dini karena mengonsumsi air tak bersih.
Idealnya, sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri No.8/1998, setiap keluarga rata-rata memerlukan air bersih sedikitnya 10 meter kubik per bulan. Namun, keluarga miskin yang tidak punya akses air bersih tidak dapat memenuhi kebutuhan minimal tersebut. Survei yang dilakukan dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengungkapkan, keluarga yang beranggotakan lima orang dan tidak memiliki akses sambungan air hanya mengonsumsi 2 meter kubik air bersih per rumah tangga per bulannya.
Bahkan, banyak keluarga miskin di Indonesia harus membayar paling tidak 10-20 persen dari pendapatannya untuk membeli air bersih dari penjual air keliling. Hal ini terutama dialami oleh keluarga yang berpenghasilan di bawah Upah Minimun Regional (Laporan Bank Dunia: Enabling Water Utilities to Serve the Urban Poor).
Bagi masyarakat miskin perkotaan yang tidak terjangkau oleh jaringan distribusi, kebutuhan akan air bersih dipenuhi dengan membeli melalui penjaja air dengan gerobak dorong. Contohnya di suatu kawasan Bandung, masyarakat membeli air dari penjaja dengan harga Rp 500,00 untuk tiap satu jeriken isi 20 liter. Tiap 2 hari sekali, mereka membeli 2 jeriken air untuk kebutuhan makan dan minum. Kebutuhan untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK) biasanya mempergunakan sum­ber air lain yang tidak jelas kualitasnya. Dalam satu bulan biaya yang dikeluarkan = 15 hari x Rp 500,00/ jeriken X 2 jeriken = Rp 15.000,00 untuk volume 15 x 2 jeriken X 20 liter/ jeriken = 600 liter. Dikonversikan dalam 1 m3 menjadi = 1.000 liter/ 600 liter X Rp 15.000,00 = Rp 25.000,00. Sedangkan tarif air PDAM yang berlaku saat ini adalah seharga Rp 1.000,00/m3.
Ternyata masyarakat miskin harus membayar lebih dari dua puluh kali lipat dari harga tarif yang berlaku. Suatu gambaran betapa tidak adilnya bagi masyarakat kecil yang harus menanggung biaya yang lebih besar. Tanggungan itu masih ditambah lagi dengan biaya untuk kesehatannya karena mengonsumsi air yang tidak jelas kualitasnya. Berdasarkan catatan WHO (2006), hampir 2,6 miliar orang di dunia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, 1,1 miliar orang kekurangan air bersih, dan lebih dari 1 miliar orang setiap tahun terjangkit penyakit akibat mengonsumsi air yang sudah terkontaminasi dan lebih dari tiga juta di antaranya meninggal setiap tahunnya, termasuk sekitar dua juta anak-anak. Hal ini mengakibatkan orang miskin menjadi semakin tidak berdaya dan terperangkap dalam kemiskinannya.

Tanggung jawab pemerintah
Menilik PP No.16/2005 tentang Pengembangan Sistem Air Minum, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab terhadap pemenuhan air minum bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari. Sekitar 40 persen rumah tangga di daerah perkotaan mendapatkan suplai air dari PDAM. Sisanya mendapatkan air dari sumber lain seperti sumur atau dari penjual air keliling. Untuk meningkatkan akses orang miskin terhadap air bersih, dibutuhkan dana sebesar Rp 23–66 triliun hingga 2015. Ironisnya, anggaran publik untuk sektor air bersih dari APBN hanya sebesar Rp 400 – 600 miliar. Jumlah ini sangat jauh dari kebutuhan sebenarnya sebesar Rp 2,5 – 6 triliun per tahun (http://satudunia.oneworld.net, “Perlu Komitmen Pemerintah untuk Atasi Krisis Air,” Andy A. Krisnandy).
Pemerintah masih dinilai pasif dalam menghadapi masalah air bersih, terlihat dengan keengganan pemerintah untuk melakukan investasi secara langsung untuk membangun infrastruktur penyediaan dan pengolahan air bersih. Sebaliknya pemerintah malah lebih menitikberatkan pada mekanisme kerja sama pemerintah dan swasta untuk memenuhi pembiayaan air bersih dengan alasan keterbatasan anggaran pemerintah.
Padahal, menurut Laporan World Bank, Indonesia Public Expenditure Review 2007 mengindikasikan bahwa pemerintah saat ini sebenarnya memiliki ruang fiskal yang cukup besar untuk mengalokasikan dana untuk investasi membangun infrastruktur dasar (air bersih, listrik, jalan, dan telekomunikasi) sebesar 2 persen dari GDP (Rp 50-60 triliun) setiap tahunnya. Sumber pembiayaan lain berasal dari pajak, yang dapat meningkatkan pendapatan pemerintah secara signifikan yang dapat dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur dasar yang mendukung program pengurangan kemiskinan.
Masalah ini perlu adanya peran aktif negara—dalam hal ini pemerintah, untuk mengatur, mengelola, mengawasi, dan memiliki sumber-sumber dan infrastruktur penyediaan air bersih. Bagaimanapun, air bersih adalah kebutuhan dasar sehingga dikategorikan sebagai hak asasi manusia. Dengan demikian, pemerintah bisa disebut gagal apabila tidak bisa memenuhi kebutuhan air bersih bagi rakyatnya—yang berarti pula kegagalan pemerintah dalam melindungi hak asasi manusia seutuhnya. Oleh karena itu, rakyat berhak menuntut agar negara atau pemerintah menjamin tersedia air bersih yang murah dan berkelanjutan bagi kehidupannya.***

Oleh: Dadan Junaedi. Penulis adalah Koordinator perencanaan media kampanye di Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A) dan Ketua Yayasan Kriyamedia Komunika.

Powered By Blogger