Menjadi Pahlawan Bumi Sesungguhnya


oleh Dadan Junaedi


Saat ini sedang hangat-hangatnya membicarakan tentang pemanasan global. Tren untuk berpikir menyelamatkan dunia ini semakin hari semakin kuat. Apalagi dengan banyaknya kampanye tentang lingkungan akhir-akhir ini. Namun di saat kita berpikir idealis dan ingin menyelamatkan dunia kita mulai demonstrasi ke jalanan. Menentang banyak hal, dari pembalakan hutan liar hingga pemborosan minyak bumi. Namun, kadangkala kita lupa hal yang kecil untuk menyelamatkan lingkungan ini, yaitu tentang diri kita.

Bagaimana gaya hidup kita ini menyumbang kerusakan lingkungan terutama masalah konservasi air. Gaya hidup seperti apa itu? Salah satunya adalah gaya hidup berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif ini jika diurut satu per satu, banyak menyumbang kerusakan lingkungan--yang ujung-ujungnya mengabaikan konservasi air.

Bagi sebagian banyak orang, perilaku konsumtif ini seperti sebuah kebanggaan seperti halnya berlomba untuk mendapatkan piala juara satu. Jika kita membaca atau menonton acara infotainment di televisi, banyak artis kita yang begitu bangganya dengan gaya hidup konsumtif ini. Setiap minggunya bahkan setiap hari, mereka berbelanja pakaian yang akhirnya menumpuk tidak terpakai. Padahal dengan membeli pakaian yang begitu banyak, berarti menyumbang pula kerusakan pada lingkungan terutama air. Perlu diketahui dalam proses pembuatan pakaian, terdapat banyak proses panjang yang menghabiskan begitu banyak energi bumi hingga merusak lingkungan terutama, penurunan kualitas air.

Bicara pakaian atau kain, kita akan bicara limbah tekstil yang dihasilkan dalam proses penganjian, proses penghilangan kanji, penggelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan dan proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan kapas menghasilkan limbah yang lebih banyak dan lebih kuat daripada limbah dari proses penyempurnaan bahan sistesis. Gabungan air limbah pabrik tekstil di Indonesia rata-rata mengandung 750 mg/l padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD. Perbandingan COD : BOD adalah dalam kisaran 1,5 : 1 sampai 3 : 1. Pabrik serat alam menghasilkan beban yang lebih besar. Beban tiap ton produk lebih besar untuk operasi kecil dibandingkan dengan operasi modern yang besar, berkisar dari 25 kg BOD/ton produk sampai 100 kg BOD/ton (sumber: shantybio.transdigit.com) dan dalam prosesnya memerlukan ratusan liter kubik air dan menghasilkan limbah tekstil, yang sangat menyedihkan limbah tekstil tersebut dengan mudahnya yang menggelontor begitu saja ke sungai-sungai kita.

**
Banyak pakaian yang kita kenakan sekarang, terbuat dari bahan sintetis seperti nilon dan polyester. Nilon dan polyester terbuat dari petrokimia yang menyebabkan polusi tingkat tinggi pada lingkungan, serta menyebabkan peningkatan panas bumi dan suhu dunia yang menyebabkan mencairnya es di kutub dan menyebabkan ketidakseimbangan alam serta pergeseran benua pada akhirnya.

Keduanya juga merupakan produk yang sulit untuk didaur ulang. Untuk memproduksi nilon, nitro oksida diproduksi sebagai bagian dari prosesnya. Nitro oksida merupakan salah satu gas yang berbahaya dalam efek rumah kaca yang kekuatannya 310 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dan menyebabkan tentunya global warming.

Bahkan, kain katun berwarna putih mungkin terlihat paling natural sepertinya paling ramah lingkungan, namun pada kenyataannya, justru lebih tidak ramah lingkungan dibandingkan dengan kain sintetis kebanyakan. Bahkan untuk menghasilkan 1 kg kain katunm menghabiskan 200 liter air. Lalu berapa banyak setiap harinya pabrik tekstil menghasilkan kain katun?
Jika diasumsikan jumlah penduduk kawasan Bandung raya mencapai 7 juta orang dan kebutuhan air bersih sebanyak 125 liter per hari per orang, kebutuhan air yang harus tersedia sekitar 350 juta m3 per tahun. Bandingkan dengan jumlah air yang digunakan oleh pabrik tekstil . Padahal, idealnya setiap keluarga rata-rata memerlukan air bersih sedikitnya 10 m3 per bulan. Namun, keluarga miskin yang tidak punya akses air bersih tidak dapat memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8/1998).

Sekitar 80% masyarakat Indonesia belum memiliki akses air yang mengalir atau running water (laporan pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto, Jepang). Menurut WHO data tahun 2006, hampir 1,1 miliar orang kekurangan air bersih serta lebih dari 1 miliar orang setiap tahun terjangkit penyakit akibat mengonsumsi air yang sudah terkotaminasi, dan lebih dari tiga juta di antaranya meninggal setiap tahunnya, termasuk sekitar dua juta anak-anak.
Dengan banyaknya dampak buruk yang ada, sudah sewajarnya bagi kita--sering kali berperilaku konsumtif dalam berpakaian sehingga berdampak besar bagi kehidupan manusia itu--mulai memikirkan dan mengambil langkah untuk lebih memerhatikan penggunaan air. Mari kita untuk tidak malu membeli pakaian-pakaian second. Bandung yang terkenal dengan outlets-nya, sudah banyak berdiri toko-toko yang menjual barang-barang bekas atau kita mulai mencari pakaian-pakaian yang terbuat dari katun organik yang dibuat oleh pabrik-pabrik ramah lingkungan.
Demikian juga di rumah, gunakan pancuran lebih pendek atau isi bak mandi Anda hanya sampai ¼ - 1/3 penuh. Gunakan alat pencuci piring saat penuh. Anda bisa menggunakan kembali air jika memungkinkan dengan mendidihkannya. Jika Anda mencuci mobil, parkir kendaraan Anda di kebun dan gunakan ember dan spons. Gunakan selang karet untuk membilas. Gunakan penutup kolam renang untuk mengurangi penguapan dan menjaga dari gugurnya daun-daun. Susah memang untuk memulainya, tetapi bila Anda melakukan konservasi air dari diri sendiri, Andalah pahlawan bumi sesungguhnya!

***

dimuat di Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2008

Desain Sosial Kampanye Anti Narkoba

Dalam satu bulan terakhir ini, harian Kompas banyak menurunkan artikel dan liputan perihal narkoba. Fokus utama pemberitaan tersebut lebih membidik pada aspek penegakan hukum bagi pengedar maupun korban penyalahgunaan narkoba.

Sejumlah data menyebutkan, 97 persen masyarakat Indonesia mengetahui efek samping penyalahgunaan narkoba. Ironisnya, perilaku negatif seperti itu dianggap sebagai angin lalu. Hal itu mempertegas asumsi Unit Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (UP2N) Universitas Gadjah Mada, bahwa faktor pemicu penyalahgunaan dan peredaran narkoba di kalangan mahasiswa karena kurangnya informasi mengenai dampak narkoba bagi kesehatan.

Sementara itu, sosialisasi informasi perihal efek samping penyalahgunaan narkoba dengan memanfaatkan media desain grafis, desain komunikasi visual ataupun iklan layanan masyarakat (public service advertising) sudah banyak dilakukan oleh parapihak yang terkait dengan isu nasional ini. Secara nyata, bisa kita saksikan sejumlah desain sosial kampanye anti narkoba yang ditayangkan, dipancangkan dan disebarkan ke berbagai kantong aktivitas masyarakat.

Sayangnya, pemanfaatan media komunikasi visual dalam rangka kampanye anti narkoba itu tidak diikuti dengan perancangan desain komunikasi visual yang efektif dan komunikatif. Dari aspek jangkauan komunikasi dan tampilan desain visual terkesan sporadis, tidak ada benang merah antara desain sosial yang satu dengan desain sosial lainnya. Dampak lebih luas, pada waktu yang bersamaan masyarakat menyaksikan pesan yang berbeda-beda, dan tidak ada focus interestnyaDalam konteks ini, sering kita jumpai berbagai bentuk komunikasi pesan desain sosial anti narkoba dengan penyajian ide dalam kemasan komunikasi visual cenderung bersifat paritas, membosankan dan tidak mampu mengedukasi target sasaran.Tampilan visual desain sosial kampanye anti narkoba senantiasa menyajikan fragmen pengguna narkoba lengkap dengan asesorisnya: jarum suntik, bong penghisap, lintingan rokok, daun ganja, berbagai macam pil surga, terali besi penjara, borgol, rumah sakit, kuburan dan tengkorak. Dengan visualisasi verbal-visual yang ceriwis dan mengedepankan pendekatan negativisme ini, dampak komunikasinya justru antiklimaks. Artinya target sasaran merasa dibodohi. Mereka tidak mendapatkan sesuatu dari media komunikasi yang disampaikan oleh para komunikator.Akibat yang muncul kemudian, kepedulian dan apresiasi masyarakat akan pentingnya informasi efek samping penyalahgunaan narkoba dalam kemasan perancangan desain komunikasi visual sebagai medium penyampai pesan menjadi kurang berarti.Dampak komunikasi semacam itu tentu bertolak belakang dengan semangat Iklan Layanan Masyarakat (ILM), Public Service Advertising (PSA), atau populer dengan sebutan desain sosial.Sebab keberadaan desain sosial diterjunkan sebagai alat untuk menyebarluaskan pesan-pesan sosial kepada masyarakat dengan cara penyampaian yang berpedoman pada metode periklanan komersial. Tujuannya agar kelompok tertentu dalam masyarakat mau memikirkan, syukur-syukur turut terlibat secara aktif seperti yang dimaksudkan oleh pesan dalam iklan tersebut. Desain sosial jamaknya berkutat pada persoalan sosial. Biasanya tema-tema tersebut disesuaikan dengan masalah sosial berskala nasional yang sedang aktual di tengah masyarakat.Melalui ILM orang bisa diajak berkomunikasi guna memikirkan sesuatu yang bersifat memunculkan kesadaran baru yang bersumber dari nurani individual maupun kelompok. Di antaranya, hal-hal yang berorientasi tentang lingkungan hidup, sosial kemasyarakatan dan kebudayaan. Semuanya itu adalah fenomena yang ada di seputar kita yang sebenarnya telah kita ketahui dan rasakan, namun tak pernah terpikirkan karena mungkin tidak menghantui, menyangkut, bahkan mengusik kepentingan kita secara langsung!. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .Sumbo Tinarbuko Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta
Powered By Blogger