Sekilas Pengetahuan Dasar Flu Burung

Biasanya virus flu burung hanya menjangkiti burung-burung. Virusnya terdapat pada kotoran burung yang terinfeksi. Penyakit ini gampang sekali menular dari burung ke burung. Jenis-jenis binatang lainnya, seperti macan, kucing dan babi dapat pula terinfeksi oleh flu burung ini.

Wabah flu burung sekarang ini sangatlah cepat, sulit untuk diatasi dan belum pernah terjadi sebelumnya. Migrasi dari unggas air dipercaya sebagai penyebar virus flu burung dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya.

Kasus pada manusia
Virus H5N1 menjangkiti manusia di Indonesia . Sebagian besar dari manusia yang terinfeksi meninggal dunia. Sebagian besar kasus berjangkit pada manusia yang bekerja atau tinggal di dekat peternakan unggas. Anak-anak lebih banyak terinfeksi penyakit ini dibandingkan orang dewasa.

Kemungkinan terjadinya wabah
Ada kekhawatiran bahwa virus H5N1 mengalami perubahan genetik, atau meniru gen dari virus influenza lainnya. Perubahan ini memungkinkan H5N1 menyebar dengan mudah dari manusia ke manusia. Karena pada umumnya penduduk memiliki sedikit kekebalan atau bahkan tidak adanya kekebalan samasekali terhadap virus burung ini, penularan dan wabah dunia dapat meluas dengan cepat. Wabah dunia ini dapat menyebabkan jumlah kematian yang sangat tinggi.

Salah satu cara pencegahan Flu Burung
Pencegahan yang di lakukan oleh pemerintah pada saat ini adalah memberikan vaksin kepada hewan unggas yang dimiliki setiap warga secara cuma-cuma, namun tidak cukup hanya dengan itu saja. Melainkan peran aktif dari warga sendiri sangat lebih penting untuk mencegah virus tersebut, salah satunya dengan selalu membersihkan kandang hewan unggas tersebut dengan rutin.

Mencari Kampiun Lokal dengan Pendekatan Partisipatif

Oleh Dadan Junaedi,

DARI waktu ke waktu, kondisi alam semakin tidak bersahabat dengan manusia. Hal ini, disadari atau tidak, disebabkan oleh adanya campur tangan manusia dalam mengelola alam. Lihat saja, dalam sehari saja hutan di Indonesia bisa hilang lebih kurang seluas lapangan sepak bola. Saat ini, ada 93,6 juta ha lahan yang terdegradasi (setara dengan tiga kali luas negara Italia) disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan, konversi hutan, ekspansi lahan pertanian yang tak terencana, dan juga berbagai konflik sosial terkait isu kehutanan (Nawir dkk., 2007).

Kondisi hutan ini diperparah dengan timpangnya laju degradasi dan rehabilitasi lahan. Menurut data dari Departemen Kehutanan (2007), laju degradasi hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta ha, sedangkan inisiatif rehabilitasi rata-rata per tahun melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) mencapai 500.000 ha sampai 700.000 ha per tahun. Fakta ini menunjukkan, ada selisih 500.000 ha per tahun lahan rusak yang tidak terehabilitasi. Akibatnya, ketika musim hujan, muncul arus air pada permukaan tanah karena lahan gundul semakin luas. Sementara pada musim kemarau, daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang dan menyebabkan kekeringan. Pada musim hujan, masalah tersebut mengundang bencana lain, seperti banjir. Banjir adalah bencana yang relatif sering terjadi, demikian juga di Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, selama 1997-2004, terjadi 229 bencana banjir dan 219 tanah longsor di Indonesia yang mengakibatkan ratusan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal, harta benda, bahkan nyawa.

Berbagai upaya "pelestarian lingkungan" sering kali dilakukan berbagai pihak untuk melakukan kegiatan dalam masalah penyelesaian lingkungan hidup ini sehingga muncul banyak program kegiatan lingkungan hidup di masyarakat. Sayangnya, program lingkungan hidup tersebut disinyalir kurang mendapat respons yang baik serta kurang melibatkan masyarakat secara penuh.

Banyak pihak, khususnya pemerintah, merasa sudah melakukan proses-proses partisipatif. Namun, kenyataan di lapangan masih terlihat ketidakpuasan masyarakat karena merasa tidak ada atau masih minus keterlibatannya. Masyarakat masih dianggap objek sebuah "projek", di mana ketika muncul hal tersebut tidak menimbulkan potensi-potensi masyarakat itu sendiri. Semua sudah teratur. Dengan model pendekatan seperti itu, pertemuan yang layaknya menjadi pertemuan yang menggali partisipasi masyarakat menjadi ritual yang tidak ada "roh partispatif"-nya. Semuanya tersekat karena jadwal projek dan pelaporan administrasi.
Dengung tentang metode partisipatif sudah lama sekali terdengar. Namun dengan cara demikian, metode ini tidak dipahami dengan benar. Muncul berbagai persepsi dan pemahaman yang berbeda tentang partisipasi. Sejak kata pendekatan partisipatif semakin populer, namun praktik di lapangan yang salah ini menghasilkan banyak "projek partisipatif" yang sering kali terlalu menyederhanakan masalah-masalah yang kompleks.

Pendekatan partisipatif atau participatory sudah populer di kalangan LSM maupun pemerintahan, apalagi saat krisis moneter. Pendekatan partisipatif pun mengalami perkembangan pesat. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai pendekatan yang mulai lebih mementingkan partisipasi (keterlibatan masyarakat) dengan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat secara aktif dalam mencapai tujuan program.

Secara eksplisit, partispasi masyarakat sendiri telah diatur oleh negara melalui Peraturan Pemerintah No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Dengan demikian, secara konstitusi masyarakat sudah punya hak dan kewajiban memberikan kontribusi dalam proses pembangunan. Hingga saat ini, proses-proses partisipasi masyarakat masih terabaikan.

Kampiun lokal
Menilik apa yang sudah dilakukan oleh Environmental Services Program (ESP) - USAID telah dilakukan serangkaian kegiatan tentang persoalan-persoalan lingkungan hidup, perubahan perilaku hidup sehat, sanitasi, dan persampahan. Dalam proses pelaksanaan programnya, ESP mempunyai strategi kunci ,yaitu dengan pendekatan partisipatif.
Melalui pendekatan ini, masyarakat lokal diposisikan sebagai "manajer" dan dilibatkan secara aktif dalam proses setiap tahap inisiatif, misalnya dalam program rehabilitasi lahan, masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pengelolaan. Dalam pengalaman pelaksanaan program-programnya secara partisipatif terdapat berbagai keuntungan.

Pertama, sesuai dengan kebutuhan setempat. Inisiatif ini akan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan di tingkat lokal sejak awal, mulai dari identifikasi kebutuhan rehabilitasi, perencanaan, pemilihan spesies yang akan ditanam, penanaman, pengelolaan serta monitoring, dan evaluasi secara partisipatif

Kedua, meningkatkan rasa kepemilikan terhadap upaya rehabilitasi lahan karena inisiatif ini melibatkan masyarat dan para pemangku kepentingan di tingkat lokal maka muncul rasa memiliki yang lebih kuat. Hal ini menjamin komitmen mereka untuk memastikan keberhasilan upaya tersebut.

Ketiga, kepastian hak kelola masyarakat. Dalam hal ini masyarakat didorong untuk melakukan penyusunan kebijakan tingkat lokal secara kolaboratif yang menjamin hak akses masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan (baik yang berfungsi sebagai kawasan konservasi seperti hutan lindung, taman nasional, cagar alam, maupun hutan produksi).
Ini merupakan insentif yang cukup menarik bagi masyarakat lokal sehingga bisa menumbuhkan komitmen jangka panjang mereka dalam upaya merehabilitasi lahan.
Masyarakat pun akan terlatih untuk mencoba membangun relasi dan bekerja sama dengan berbagai instansi dan jaringan kerja lainnya--yang terkait dengan program pelestarian lingkungan, misalnya Dinas Pertanian, PU Pengairan, Lingkungan Hidup, dan lainnya. Dengan demikian, masyarakat telah membentuk dirinya sebagai kampium lokal dalam melindungi aset-aset lingkungan yang dimilikinya.

Dimuat di Pikiran Rakyat, Senin 22 Desember 2008

KOMUNIKASI ORGANISASI

Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan
(Dedi Mulyana, Rosdakarya,2006)


Sifat – sifat kita sekitar organisasi :
- Orang kita menyukai organisasi yang baik
- Seperti hal-nya mereka menyukai tim olahraga yang mengalahkan tim lainnya
Yang belum mempunyai nama.
- Meski sebenarnya budaya kita cenderung menekankan individualisme
- Kita juga mementingkan aktivitas terkoordinasi yang menghasilkan sesuatu yang istimewa.
(Mulyana Dedi,2006,3)

Organisasi / Pengorganisasian
Sebagian orang mempunyai cara pandang baik objektif ataupun subjektif, pandangan objektif antara lain menyarankan bahwa sebuah organisasi adalah bersifat fisik dan konkrit dengan struktur dengan batasan yang konkrit. Sebagian orang menyebut pendekatan ini sebagian pandangan yang menganggap organisasi sebagai wadah, organisasi eksis sebagai seperti sebuah keranjang dan semua unsur yang membentuk organisasi tersebut ditempatkan dalam satu wadah. (Mulyana Dedi,2006,11)

“Organisasi” (organization), secara khas dianggap sebagai kata benda, sementara “Pengorganisasian” (organizing), dianggap sebagai kata kerja,(Weick,1979).

Jadi jawaban untuk organisasi tergantung pada perspektif yang diambil, dan untuk tujuan studi, penting untuk disadari bahwa tidak satu perspektif pun yang menjawab pertanyaan itu secara lengkap. (Mulyana Dedi,2006,11)

Sumber:
KOMUNIKASI ORGANISASI
Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan
(Dedi Mulyana, Rosdakarya,2006)

Bentuk-bentuk Komunikasi Politik

Bentuk-bentuk Komunikasi Yang Mendominasi Komunikasi Politik

1. Kampanye
Pada dasarnya pidato, kampanye, dan propaganda merupakan bentuk-bentuk komunikasi antarmanusia (human communications) yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan teknik dan metode tertentu pula.
Istilah kampanye berasal dari Bahasa Inggris campaign yang juga berasal dari Bahasa Latin campus yang berarti “extensive track of country, series of operation in a particular theactric war, an organized series of operation, meeting canvassing”. Hal ini membawa permasalahan ke masalah berkomunikasi populer/popularisasi tentang suatu masalah.
Menurut Rice dan Paisley yang dikutip oleh F. Rachmadi dalam dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) bahwa kampanye adalah keinginan seseorang untuk mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku orang lain dengan daya tarik yang komunikatif. Tujuan kampanye adalah menciptakan ‘perubahan’ atau ‘perbaikan’ dalam masyarakat... (1993 : 134).
Menurut Astrid S. Soesanto dalam buku Pendapat Umum menyatakan bahwa prinsip dasar dalam kampanye adalah bahwa kampanye mengikuti proses komunikasi dan unsur-unsurnya, yaitu :
Proses Rasionalisasi/Emosionalitas. Proses rasional yaitu apa yang secara harfiah disampaikan dalam suatu kegiatan komunikasi. Proses emosional yang “sekedar” tersirat dalam penyampaian informasi. Proses rasionalitas biasanya terjadi waktu orang membahas hal-hal yang tidak terlalu melibatkan kepentingan pribadinya sehingga konsensus mudah tercapai. Unsur rasionalitas adalah proses pengoperan lambang-lambang secara harfiah dan proses komunikasi ialah proses emosionalitas yang mengiringi informasi rasional tadi. Tingkat emosionalitas dapat dideteksi melalui : pilihan kata dan tanda penyampaian. Hal lain yang berkaitan dengan proses rasionalitas adalah anteseden yaitu sumber pengalaman yang mendahului.

Unsur emosionalitas dan rasionalitas juga makin meningkat atau berkurang bila dikaitkan dengan :
• Kemampuan ekonomi/pendidikan
• Relevansi dengan hidup
• Demi waktu/rencana memanfaatkan waktu

Proses Informasi dan Proses Komunikasi. Proses perumusan informasi diambil dari sumber retreval yang tepat sumber, tepat alinea, tepat digit. Proses Komunikasi dengan retreval ditentukan oleh anteseden atau pengalaman yang mendahului, tetapi yang terpenting ialah adanya logika yang mengkaitkan informasi baru dengan informasi lama. (1975 : 123).

Sedangkan pendapat F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) bahwa dalam melaksanakan kampanye ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, antara lain :
Perkiraan terlebih dahulu kebutuhan, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan dari khalayak sasaran.
• Rencanakan kampanye secara sistematis.
• Lakuakan evaluasi secara terus-menerus.
• Gunakan media massa dan Komunikasi Interpersonal.
• Pilihlah media massa yang tepat untuk mencapai khalayak sasaran. (1993 : 135).

Menurut Astrid S. Soesanto secara ilmiah proses kampanye berjalan sebagai berikut :
mirip dengan iklan, tetapi lebih kuat dan agresif (Catatan : iklan adalah sejenis kampanye memerlukan proses lebih panjang dan lama) kampanye “mencegat” orang hampir di semua sudut. Tidak menyerahkan pengaruh kepada free market / social forces, menemui sasarannya dalam berbagai bentuk, keberhasilan kampanye ditentukan oleh tersedianya sesuatu segera setelah pesan mencapai sasaran, singkatnya kampanye “mengeroyok” sasaran di mana-mana dengan kata dan kegiatan, dan tidak mengenal ragu dan sangat yakin dan meyakinkan.(1975 : 124)

Selanjutnya menurut Astri S. Soesanto sebelum mengadakan program kampanye perlu diadakan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan dalam merumuskan suatu program pesan-pesan kampanye, seperti :

siapakah komunikator , kepentingannya dan sasarannya ?
apakah lingkungan mendukung ?
• bagaimana ketersedian “sesuatu” alternatif bila pesan kampanye diterima khalayak ?
• bagaimanakah masa depan “sesuatu” (yang dikampanyekan) berikut unsur pendukung dan persaingan

Semua topik telah diteliti, seperti sasaran, lingkungan, latar belakang budaya, overlapping of interest (perimpitan kepentingan). Contoh overlapping of interest adalah KB memakai perbaikan taraf hidup asebagai sasaran, yang “berimpit” dengan sasaran dan harapan masyarakat.
Apakah data secara rasional telah siap untuk merumuskan slogan atau motto yang sesuai dan tidak memaksakan. Contoh motto BERIMAN (Bersih Indah dan Aman); ASRI (Aman Serasi Rapi Indah) merupakan motto yang dipaksakan. Slogan Sumedang Tandang cukup berhasil memacu masyarakat Sumedang untuk membangun dan setiap warga berpikir demikian tanpa adanya motto di jalan-jalan.
Dalam kampanye memungkinkan untuk dialog, karena kampanye bersifa two way traffic communication dan juga kampanye menggunakan pendekatan modern bersifat ekspresif. Hal ini membuat kampanye berbeda dengan propaganda.
Proses kampanye mirip proses komputer (PC) yang memiliki kemampuan strorage, retrieval, processing, transference dan preference.
Perubahan/pendekatan kampanye selalu mengikuti atau disesuaikan tahap demi tahap dengan tingkat perubahan yang telah dicapai.

Menurut Astrid S. Soesanto secara teknis langkah-langkah tersebut ialah :
• Pesan sama untuk khalayak yang berbeda kemampuan menyebarluaskan informasi (share) dan memisahkan (sepaate) informasi bila tingkat IQ khalayak berbeda mampu mengerjakan massifikasi dan juga de-massifikasi.
• Memanfaatkan pendekatan single sensory (indera tunggal) dan multy sensory (indera ganda). Didesak oleh waktu, dan
Mengenal sikap interaktif, yaitu :
• Dengan khalayak,
• Antar media, dan
• Person to person (tetapi tidak selalu face to face) (1975 :136).

Kesuksesan suatu kampanye selalu dipengaruhi oleh seberapa jauh suatu kelompok atau suatu partai politik atau suatu perusahaan atau pun lembaga pemerintah di kenal di lingkungan khalayak, dan seberapa banyak pesan kampanye itu disebarluaskan melalui beberapa media sekaligus.
Kampanye juga sangat tergantung dari jenis saluran komunikasi yang digunakan dan juga tergantung tergantung dari isi pesan kampanye tersebut. Isi pesan biasanya akan terhalang oleh kepentingan khalayak terhadap pesan yang disampaikan. Juga isi pesan selalu ditafsirkan sesuai dengan persepsi khalayak. Maka jika persepsi khalayak berbeda dengan isi pesan sesungguhnya akan mengakibatkan boomerang effect (berbalik menentang) dan counter effect (tidak akan mengikuti/menjalankan isi pesan kampanye).
Yang terakhir dan sangat menentukan kesuksesan dalam kampanye adalah bahwa dalam melaksanakan suatu kampanye diperluklan juga kredibilitas juru kampanye. Rice dan Paisley menyatakan kesuksesan kampanye suatu kampanye sangat tergantung dari personal influence, dalam arti para juru kampanye harus orang yang dihormati di lingkungannya dan juru kampanye tersebut memiliki kridibilitas yang tinggi. Kredibitas yang tinggi akan menumbuhkan wibawa para juru kampanye.
Yang perlu diingat bahwa dalam dalam kampanye dilakukan cara-cara yang sesuai dengan prosedur, baik prosedur secara ilmiah maupun prosedur secara etika dan hukum. Maka kampanye tersebut disebut juga white campaign. Apabila proses kampanye dilaksanakan tidak sesuai atau bertentangan prosedur ilmiah dan prosedur etika hukum yang berlaku maka kampanye itu dinamakan black campaign.

http://kampuskomunikasi.blogspot.com/2008/07/bentuk-bentuk-komunikasi-politik.html

Media Kampanye, Media Massa Kalahkan Mesin Partai

Sabtu, 08 November 2008 00:00:00
Picture taken from http://bedzine.com/blog/category/bean-bag/

PEMILU 2009 diperkirakan berlangsung ketat. Bukan saja jumlah pesertanya bertambah signifikan ketimbang pemilu 2004, tapi masa kampanye yang panjang dipastikan menyedot energi dan sumber daya partai untuk memenangkan kompetisi. Dengan 46 partai nasional dan lokal (Aceh), hampir sama dengan pemilu pertama era reformasi (1999), pemilu 2009 menunjukkan gejala lain yang unik, yaitu banyak bakal calon presiden yang mulai mengajukan diri untuk bertarung. Jika dibandingkan dengan 2004, ketika calon presiden asal partai jumlahnya tidak terlalu banyak.

Kalangan purnawirawan TNI mencatat rekor capres terbanyak jika dibandingkan dengan musim pemilu sebelumnya. Incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), Wiranto (2004 Golkar, kini Partai Hanura), Prabowo Subijanto (Partai Gerindra), Sutiyoso (nonpartai), M Yasin (Pakar Pangan), dan Kivlan Zein (nonpartai).

Kalangan sipil tak kurang banyaknya. Hampir semua partai politik memiliki bakal capresnya. Jusuf Kalla, Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, Agung Laksono, Akbar Tandjung, dan Yuddy Chrisnandi (Golkar), Megawati Soekarnoputri (PDIP), Amien Rais atau Sutrisno Bachir (PAN), Gus Dur (PKB), Hidayat Nur Wahid (PKS), Rizal Ramli (PBR), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Meutia Hatta (PKPI), dan Rizal Mallarangeng, Fadjroel Rachman, dan Ratna Sarumpaet (Independen).

Jika kita ringkas, suasana menjelang pemilu legislatif lebih banyak diwarnai wacana bakal calon presiden karena figur dipercaya merupakan faktor paling berpengaruh dalam mengumpulkan suara. PDIP adalah pionirnya ketika semua partai belum berani bersuara siapa calon presiden yang akan diusung. Efeknya ternyata positif untuk mendongkrak awareness publik pada PDIP. Langkah itu tidak diikuti partai besar lain, seperti Golkar karena banyaknya calon di internal partai dan kecilnya popularitas ketua umum Jusuf Kalla jika diajukan sebagai capres. Suatu dilema yang sulit dipecahkan Partai Beringin.

Pilihan antara figur dan partai yang diutamakan dalam merebut suara pemilu legislatif masih menjadi perdebatan kunci bagi partai politik dalam menyusun strategi pemenang. Golkar, misalnya, sekalipun ketua umumnya tidak memiliki popularitas capres yang tinggi masih menikmati tingkat awarness yang paling tinggi di antara partai politik lainnya. Sebaliknya, PDIP yang punya figur populer sekelas Megawati harus puas berada di urutan kedua. Kasus Golkar dan PDIP adalah contoh yang baik untuk mengukur tingkat awarness publik pada partai dan tingkah elektibilitas partai yang bersangkutan.

Efektivitas media massa

Gejala lain yang menarik untuk disimak lebih lanjut adalah gencarnya iklan politik jauh-jauh hari sebelum laga dimulai. Penyebabnya bukan masa kampanye yang dikenalkan KPU sangat panjang, tapi juga kompetisi yang ketat mendorong elite untuk berlomba-lomba memompa tingkat kedikenalannya pada calon pemilih. Pilihannya tidak jatuh pada mesin organisasi partai, tapi media massa. Media massa adalah instrumen kampanye paling efektif dalam melakukan sosialisasi pada calon pemilih.

Media apa yang paling efektif? Mari kita lihat hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) September 2008 lalu. Dalam survei rutin yang digelar untuk melihat sejauh mana efek media pada partai politik, hasil LSI menunjukkan bahwa gencarnya iklan politik tidak selalu berdampak pada sentimen positif pemilih pada partai politik. Artinya, iklan politik boleh jalan terus dengan besar-besaran, tapi efek positifnya sulit diterka secara pasti sehingga betul-betul menguntungkan bagi partai politik sebagai pemasang iklan.

Televisi menempati urutan pertama yang dipilih politisi dan partai politik sebagai media kampanye. Memori publik lebih banyak dibentuk iklan politik lewat gambar-gambar menarik di televisi ketimbang media lain, seperti surat kabar dan radio, ataupun internet. Namun, kampanye alat peraga (nonmedia) terbukti lebih ampuh daripada radio dan surat kabar. Hanya selisih 10% antara memori publik tertinggi yang dibentuk iklan di televisi dan alat peraga. Jika dibandingkan dengan, misalnya, surat kabar dan radio yang di mana memori publik dibentuk kurang 15% saja. Jauh di bawah televisi dan alat peraga yang berkisar 40-50%.

Hasil tersebut semakin menunjukkan realitasnya belakangan ini. Pilihan pada televisi diambil Prabowo Subijanto dan Partai Gerindra sehingga hasilnya memperlihatkan memori publik pada iklan televisi dari tokoh dan partai tersebut merebut posisi paling tinggi. Gerindra berhasil mengalahkan partai-partai lama, seperti Golkar, PDIP, Partai Demokrat, bahkan partai baru Hanura yang dipimpin Wiranto (Grafik 1). Hal itu bertolak belakang dengan memori publik yang berhasil dibentuk Gerindra lewat surat kabar, radio, dan alat peraga. Surat kabar hanya menyumbang posisi ke-4 (9%), radio urutan ke-4 (4%), dan alat peragam pada urutan ke-7 (18%). Angka-angka itu kemudian mengerucut pada tingkat awareness publik pada Gerindra yang hanya mampu bertengger pada urutan ke-8, yaitu sebesar 44% (Grafik 5). Sekalipun di tempat ke-8, Gerindra hanya dikalahkan tujuh partai besar utama hasil pemilu 2004 dan berhasil mengungguli awarenes Partai Hanura dan partai-partai kecil lainnya. Sumbangan iklan televisi yang gencar dilakukan tampaknya terlihat nyata dalam urutan awareness ini.

Surat kabar, radio, dan alat peraga tampaknya dikuasai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat. Ketiganya berada di urutan tiga besar pertama sebagai partai politik yang berhasil menanamkan memori pemilih pada partainya. Angkanya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan televisi. Di surat kabar, misalnya, tiga partai nasionalis tersebut berbagi angka sama, yaitu 12%. Itu terjadi sama pada radio dengan angka yang lebih kecil, yaitu 5%. Hasil lebih baik pada media alat peraga ketika Golkar meraih memori pemilih terbesar, yaitu 40%. PDIP di urutan kedua dengan 39%. Hasil cukup baik dinikmati Partai Demokrat 30% dan PAN 29% pada urutan berikutnya. (Grafik 4)

Perbedaan besaran memori yang ditimbulkan iklan politik dari berbagai media dan alat peraga tersebut tidak otomatis berbanding lurus dengan awarness publik pada partai secara keseluruhan. Grafik lima memperlihatkan hal tersebut. Golkar dan PDIP yang 'kalah' di televisi tetap paling unggul pada akhirnya dengan angka masing-masing 76% dan 74%. Begitu juga dengan lima partai utama lainnya tetap masih berada di atas Gerindra sebagai 'pemain' televisi paling banyak.

Dari angka-angka yang kita perbincangkan sebelumnya, beberapa hal dapat didalami lebih lanjut dari hasil survei itu.

Pertama, mayoritas partai politik peserta pemilu 2009 adalah partai politik baru sehingga harus berjuang keras untuk dikenal publik. Namun, sayangnya mereka tidak melakukan sosialisasi secara sistematik, jika dilihat dari memori atau ingat tidak ingatnya pemilih atas berbagai iklan dan informasi yang disebarkan lewat media massa atau alat peraga. Jadi pada umumnya, mereka tidak dikenal pemilih. Sekalipun masa kampanye sudah berjalan lebih dari tiga bulan, sangat sedikit dari partai politik baru yang mampu melakukan sosialisasi agar betul-betul dapat dikenal publik. Hasilnya mengecewakan. Survei menunjukkan dua partai politik baru dari 13 partai politik yang paling dikenal publik dengan angka di atas 10%. Hanya Gerindra dan Hanura yang dapat masuk tiga belas besar tersebut. Gerindra bukan saja unggul atas Hanura yang sudah lebih dulu bergerak dengan angka sebesar 13%, tapi juga PBB, PBR, PDS, dan PDKB sebagai partai lama (Grafik 5).

Selebihnya merupakan sebagian besar partai yang tak dikenal publik. Mereka tidak mampu melakukan sosialisasi yang baik sehingga dampaknya sangat negatif bagi eksistensi mereka dalam pertarungan nanti. Sekalipun lolos dalam verifikasi, partai-partai baru itu tidak mampu juga menggerakkan mesin partai untuk melakukan sosialisasi dan penyebaran informasi sehingga keberadaan dan kepesertaan dalam pemilu hanya memperumit sistem kepartaian dan proses pelaksanaan pemilu.

Kedua, secara umum kampanye, iklan politik, atau sosialisasi partai politik belum banyak mengubah peta kekuatan partai. Penyebabnya karena tidak ada upaya sistematik untuk melakukan sosialisasi kecuali Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN. Pada Gerindra dan Demokrat, efek sosialisasi cukup jelas, tapi pada PAN dan partai-partai lain hal itu belum menjadi kenyataan. Peta itu tidak banyak berubah karena masih kuatnya dominasi tujuh partai utama dalam peringkat awareness publik (Grafik 5). Peta suara antara partai-partai nasionalis dan Islam juga tak bergeser jauh ketika partai nasionalis masih unggul hingga sekarang. Tidak ada perpindahan suara dari kedua belah kelompok.

Ketiga, dan ini yang terpenting, adalah mesin partai politik telah 'dikalahkan' media massa terutama televisi sebagai alat kampanye, sosialisasi, dan penyebaran informasi. Televisi adalah rajanya karena memiliki jangkauan paling luas bagi publik dalam memperoleh informasi. Televisi masuk hingga kamar-kamar tidur pemilih. Bagi pemilih, sekalipun ia dekat dengan partai politik tertentu, hal itu tidak membatasi dirinya untuk menonton iklan politik partai lain. Hanya pemanfaatan media massa sebagai alat yang paling efisien untuk kampanye tidak dilakukan secara maksimal oleh partai politik. Akibatnya, iklan politik yang gencar tidak selalu memperkuat sentimen positif pada partai politik. Jadi, ada semacam situasi yang 'tidak nyambung' antara citra partai yang dibangun melalui iklan dan citra ideal yang dimaui rakyat. Buktinya, masa tiga bulan lebih kampanye tak memberikan perubahan peta yang berarti kecuali Gerindra dan Hanura yang berhasil menyodok sebagai partai baru yang paling dikenal publik.

Lingkungan dan mode kompetisi telah berubah. Mesin partai kalah bersaing dengan media massa. Namun, mayoritas partai politik belum mau sepenuhnya beradaptasi dengan situasi dan tren baru itu. Padahal infrastruktur partai politik yang bertebaran hingga tingkat desa/kelurahan tak lebih hanya untuk pemenuhan administratif partai politik agar lolos menjadi peserta pemilu. Keberadaannya sama sekali tidak efektif dalam melakukan sosialisasi. Untuk itu, sekalipun mesin partai digunakan, fungsinya hanyalah komplementer dan tak akan mampu menyaingi efisiensi dan efektivitas media massa. Jika hal itu tak juga disadari elite politik, jangan salahkan media massa lebih dipilih rakyat sebagai alat penyampai aspirasi utama mereka nanti, bukan partai politik.

(Marbawi A Katon)

Aksi Memperingati Hari AIDS

Pikiran Rakyat, Senin, 01 Desember 2008 , 16:43:00SEJUMLAH massa berjalan sambil membawa spanduk, poster dan membagi-bagikan selebaran mengenai Virus HIV dan AIDS kepada warga saat melintas di Jln. Merdeka Kota Bandung, Senin (1/12). Aksi yang dilakukan oleh Yayasan Kriyamedia serta 25 Messengers dan 11 kelompok remaja tersebut, dilakukan dalam rangka memperingati hari AIDS dunia sekaligus bertujuan mengingatkan warga untuk waspada terhadap masalah AIDS.* ADE BAYU INDRA

Hari AIDS Sedunia 2008


“Yang Muda Yang membuat Perubahan

Menurut Dinas Kesehatan Jawa Barat menyebutkan bahwa tahun 1989 hingga Maret 2008 terdapat kasus HIV/AIDS 1576 di Kota Bandung, 50 % lebih pada usia produktif. Bila merujuk pada fenomena gunung es (dark number) di mana Badan Kesehatan Dunia, WHO, menyatakan bahwa 1 kasus HIV yang terlaporkan sebanding dengan 100 kasus, artinya dapat diperkirakan ada sekitar 157.600 kasus yang belum terungkap. Angka tersebut hanyalah gambaran 1 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.

Selama ini remaja tidak termasuk dalam agenda prioritas dalam penanggulangan HIV-AIDS. Akibatnya sedikit sekali perhatian dan informasi mengenai HIV-AIDS yang diberikan kepada mereka. Padahal semakin banyak remaja yang terkena dampak langsung HIV-AIDS, remaja yang menjadi yatim-piatu karena orang tuanya meninggal oleh AIDS, dan kemungkinan bayi lahir dengan HIV karena perempuan atau ibu yang terinfeksi HIV.

Memandang peroslan-persoaln diatas, Yayasan Kriyamedia Komunika dan 25 Messengers beserta 11 kelompok remaja yang concern terhadap persoalan remaja dan HIV/ AIDS serta Adiksi, dalam rangka memperingati Hari AIDS Dunia melakukan Long March dari Jl. Cikapayang (bawah jembatan PASOPATI) menuju Bali Kota Bandung. Kegiatan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali masyarakat Bandung—khususnya remaja, untuk waspada terhadap masalah AIDS dan mendorong pemerintah kota Bandung untuk lebih memperhatikan persolan-persoalan remaja. Melalui tema Yang mudalah yang akan membuat perubahan. Bagaimanapun juga remaja adalah generasi penerus bangsa. Remaja adalah penentu masa depan, menuju arah yang lebih baik ataukah arah yang lebih buruk? (DJ)



foto : Kompas
Powered By Blogger