Kesempatan untuk menjadi Fasilitator Pendamping Masyarakat Korban Bencana Gempa di Ciamis, Cianjur dan Tasimalaya Jawa Barat

Dalam penanganan pasca bencana gempa di Jawab Barat—khususnya di Wilayah Cianjur Tasik Ciamis, setelah pelaksanaan Tahap Emergency Respon. Kini kami masuk pada Tahap kedua yaitu Tahap Peralihan, direncanakan selama September – Maret 2009 dalam rangka proses persiapan tahap berikutnya, yakni tahap ketiga (Tahap Pemulihan dan Penataan)

Pada tahap kedua ini kami akan memfasilitasi berdirinya Hunian Sementara/ Huntara (Shelter) yang didalamnya akan dilakukan persiapan pembersihan dan penataan desa, Suplai Air Sementara (Provision Of Emergency Water Supplies), kontruksi, rehabilitasi dan perlindungan sumber air, pendirian dan rehabilitasi bagi Fasilitas Sanitasi Emergency dan Permanen serta Advokasi level komunitas dan provinsi.

Dengan hal diatas maka kami membutuh konsultan pendamping di masyarakat yang akan berikut ini:


Fasilitator Public Health Promotion (kode PHP)

Kualifikasi Fasilitator PHP yg dibutuhkan adalah :

1. Berdedikasi terhadap pekerjaan sosial

2. Pendidikan D3 atau berpengalaman relevan dengan kualifikasi yang setara dipoint 2 (dua) dan seterusnya.

3. Berpengalaman dalam community organizer/ mobilizer managemen pekerjaan social dan pendampingan masyarakat lainnya diutamakan memahami kesehatan lingkungan/ promosi kesehatan dan gender atau yang dinilai mempunyai kualifikasi yang setara;

4. Mampu menggunakan peralatan computer;

5. Sanggup bertempat tinggal di lokasi penugasan (live In), diutamakan berdomisili atau pernah berdomisili di Cianjur, Tasikmalaya dan Ciamis


Fasilitator Teknik/ Public Health Engineering (kode PHE)

Kualifikasi Fasilitator Teknik yg dibutuhkan adalah :

1. Berdedikasi terhadap pekerjaan sosial

2. Pendidikan minimum D3 Teknik Sipil atau berpengalaman yang relevan atau yang dinilai mempunyai kualifikasi yang setara

3. Memiliki pengalaman pada program pemberdayaan dan pembangunan fisik fasilitas sanitasi atau yang dinilai mempunyai kualifikasi yang setara;

4. Mampu menggunakan peralatan computer;

5. Sanggup bertempat tinggal di lokasi penugasan (live In), diutamakan berdomisili atau pernah berdomisili di Cianjur, Tasikmalaya dan Ciamis


Kirimkan CV, copy KTP, pas foto (3 x 4) 2 lembar, Paling lambat diterima 20 September 2009.

Hanya yang memenuhi kualifikasi yang akan dipanggil untuk seleksi.

Lamaran dikirim ke:

Satker Peduli Gempa Jabar – YKU

Email: satkergempa@yahoo.co.id

Hp. 08122 492 292 atau 081220688159

d/a Koordinator Program- Yayasan Khidmatul Ummat

Mencari Kampiun Lokal dengan Pendekatan Partisipatif

DARI waktu ke waktu, kondisi alam semakin tidak bersahabat dengan manusia. Hal ini, disadari atau tidak, disebabkan oleh adanya campur tangan manusia dalam mengelola alam. Lihat saja, dalam sehari saja hutan di Indonesia bisa hilang lebih kurang seluas lapangan sepak bola. Saat ini, ada 93,6 juta ha lahan yang terdegradasi (setara dengan tiga kali luas negara Italia) disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan, konversi hutan, ekspansi lahan pertanian yang tak terencana, dan juga berbagai konflik sosial terkait isu kehutanan (Nawir dkk., 2007).

Kondisi hutan ini diperparah dengan timpangnya laju degradasi dan rehabilitasi lahan. Menurut data dari Departemen Kehutanan (2007), laju degradasi hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta ha, sedangkan inisiatif rehabilitasi rata-rata per tahun melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) mencapai 500.000 ha sampai 700.000 ha per tahun. Fakta ini menunjukkan, ada selisih 500.000 ha per tahun lahan rusak yang tidak terehabilitasi. Akibatnya, ketika musim hujan, muncul arus air pada permukaan tanah karena lahan gundul semakin luas. Sementara pada musim kemarau, daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang dan menyebabkan kekeringan. Pada musim hujan, masalah tersebut mengundang bencana lain, seperti banjir. Banjir adalah bencana yang relatif sering terjadi, demikian juga di Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, selama 1997-2004, terjadi 229 bencana banjir dan 219 tanah longsor di Indonesia yang mengakibatkan ratusan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal, harta benda, bahkan nyawa.

Berbagai upaya "pelestarian lingkungan" sering kali dilakukan berbagai pihak untuk melakukan kegiatan dalam masalah penyelesaian lingkungan hidup ini sehingga muncul banyak program kegiatan lingkungan hidup di masyarakat. Sayangnya, program lingkungan hidup tersebut disinyalir kurang mendapat respons yang baik serta kurang melibatkan masyarakat secara penuh.

Banyak pihak, khususnya pemerintah, merasa sudah melakukan proses-proses partisipatif. Namun, kenyataan di lapangan masih terlihat ketidakpuasan masyarakat karena merasa tidak ada atau masih minus keterlibatannya. Masyarakat masih dianggap objek sebuah "projek", di mana ketika muncul hal tersebut tidak menimbulkan potensi-potensi masyarakat itu sendiri. Semua sudah teratur. Dengan model pendekatan seperti itu, pertemuan yang layaknya menjadi pertemuan yang menggali partisipasi masyarakat menjadi ritual yang tidak ada "roh partispatif"-nya. Semuanya tersekat karena jadwal projek dan pelaporan administrasi.
Dengung tentang metode partisipatif sudah lama sekali terdengar. Namun dengan cara demikian, metode ini tidak dipahami dengan benar. Muncul berbagai persepsi dan pemahaman yang berbeda tentang partisipasi. Sejak kata pendekatan partisipatif semakin populer, namun praktik di lapangan yang salah ini menghasilkan banyak "projek partisipatif" yang sering kali terlalu menyederhanakan masalah-masalah yang kompleks.

Pendekatan partisipatif atau participatory sudah populer di kalangan LSM maupun pemerintahan, apalagi saat krisis moneter. Pendekatan partisipatif pun mengalami perkembangan pesat. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai pendekatan yang mulai lebih mementingkan partisipasi (keterlibatan masyarakat) dengan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat secara aktif dalam mencapai tujuan program.

Secara eksplisit, partispasi masyarakat sendiri telah diatur oleh negara melalui Peraturan Pemerintah No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Dengan demikian, secara konstitusi masyarakat sudah punya hak dan kewajiban memberikan kontribusi dalam proses pembangunan. Hingga saat ini, proses-proses partisipasi masyarakat masih terabaikan.

Kampiun lokal
Menilik apa yang sudah dilakukan oleh Environmental Services Program (ESP) - USAID telah dilakukan serangkaian kegiatan tentang persoalan-persoalan lingkungan hidup, perubahan perilaku hidup sehat, sanitasi, dan persampahan. Dalam proses pelaksanaan programnya, ESP mempunyai strategi kunci ,yaitu dengan pendekatan partisipatif.
Melalui pendekatan ini, masyarakat lokal diposisikan sebagai "manajer" dan dilibatkan secara aktif dalam proses setiap tahap inisiatif, misalnya dalam program rehabilitasi lahan, masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pengelolaan. Dalam pengalaman pelaksanaan program-programnya secara partisipatif terdapat berbagai keuntungan.

Pertama, sesuai dengan kebutuhan setempat. Inisiatif ini akan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan di tingkat lokal sejak awal, mulai dari identifikasi kebutuhan rehabilitasi, perencanaan, pemilihan spesies yang akan ditanam, penanaman, pengelolaan serta monitoring, dan evaluasi secara partisipatif

Kedua, meningkatkan rasa kepemilikan terhadap upaya rehabilitasi lahan karena inisiatif ini melibatkan masyarat dan para pemangku kepentingan di tingkat lokal maka muncul rasa memiliki yang lebih kuat. Hal ini menjamin komitmen mereka untuk memastikan keberhasilan upaya tersebut.

Ketiga, kepastian hak kelola masyarakat. Dalam hal ini masyarakat didorong untuk melakukan penyusunan kebijakan tingkat lokal secara kolaboratif yang menjamin hak akses masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan (baik yang berfungsi sebagai kawasan konservasi seperti hutan lindung, taman nasional, cagar alam, maupun hutan produksi).
Ini merupakan insentif yang cukup menarik bagi masyarakat lokal sehingga bisa menumbuhkan komitmen jangka panjang mereka dalam upaya merehabilitasi lahan.
Masyarakat pun akan terlatih untuk mencoba membangun relasi dan bekerja sama dengan berbagai instansi dan jaringan kerja lainnya--yang terkait dengan program pelestarian lingkungan, misalnya Dinas Pertanian, PU Pengairan, Lingkungan Hidup, dan lainnya. Dengan demikian, masyarakat telah membentuk dirinya sebagai kampium lokal dalam melindungi aset-aset lingkungan yang dimilikinya.

Oleh Dadan Junaedi,Pikiran Rakyat, Senin 22 Desember 2008

POSTER POSTER GERAKAN PEMUDA PEDULI AIDS







Awas, AIDS Mengintai Generasi Muda

Bagi yang berusia muda, atau orang tua yang memiliki anak berusia muda, anda harus lebih berhati-hati dalam pergaulan dan mengawasi pergaulan anak anda. Pasalnya, bahaya HIV/AIDS kini banyak mengintai kalangan yang berusia 25 tahun ke bawah. Jumlah ODHA di kalangan ini melesat naik akibat penggunaan jarum suntik bergantian, mengalahkan pengidap penyakit yang menghilangkan kekebalan tubuh melalui penularan lewat hubungan seksual.
Fenomena baru ini, tak lepas dari semakin meningkatnya gaya hidup menggunakan narkoba yang dijalani oleh para muda-mudi. Sejak awal tahun 2000, seks bebas tidak lagi menjadi musuh nomor satu dalam penularan Virus HIV. “Trennya melalui jarum suntik. Akibatnya, yang tertular HIV adalah orang-orang berusia muda. Karena golongan ini yang paling banyak menggunakan jarum suntik secara bergantian,” kata Wakil Ketua Yayasan Pelita Ilmu Husein Habsyi di Jakarta.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan hingga Juni 2008, ada 12.686 kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 50 persen atau 6.782 kasus terjadi pada usia 20-29 tahun. Kedua terbanyak—3.539 kasus—terjadi pada usia 30-39 tahun, dan ada 429 kasus pada usia 15-19 tahun. Menurut Ketua Forum LSM Peduli AIDS se-Jabodetabek Imam Mulyadi, di Jakarta saja proporsi peningkatan kasus HIV/AIDS paling banyak memang lewat penggunaan jarum suntik secara bergantian.
Dari 3.123 kasus di Jakarta, sebanyak 2.278 kasus—atau sekitar 73 persen—karena Injection Drug User (IDU). Maka itu, banyak anak muda harus dilindungi dari HIV/AIDS. Mereka masih pada fase usia produktif, sehingga potensial berkarya lebih baik. Untuk itu, pada peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember tahun ini, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di berbagai provinsi memfokuskan kampanye HIV/AIDS pada remaja.
Menurut Husein, sejak tahun 1993, KPA sudah memiliki program khusus untuk merekrut anak sekolah menjadi peer educator (penyuluh sebaya). Di setiap sekolah dipilih dua anak yang akan dilatih tentang AIDS dan cara pencegahannya. Hingga kini, ada sekitar 400 sekolah di Jakarta. Peer educator berjumlah 4 ribu anak. Selain di sekolah, kami juga punya pos di luar sekolah. Misalnya di mal. “Atau di tempat tongkrongan anak remaja,” kata Husein.
Dalam golongan muda itu, remaja putri merupakan golongan yang paling rentan terhadap penularan HIV/AIDS, dan kehamilan yang tak diinginkan. Kondisi ini tercipta karena kurangnya pengetahuan tentang pencegahannya. Konseling masalah HIV/AIDS untuk remaja juga bukan perkara mudah. Dibanding orang dewasa yang bisa terus terang, remaja biasanya masih malu-malu menceritakan masalah pribadinya. Apalagi bila terkait perihal perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan atau kebiasaan bergantian jarum suntik.
“Makanya menangani remaja nggak ada patokannya. Kita ikuti kemauan dia agar merasa nyaman bercerita,” kata Enny Zuliatie, Manajer Program Pencegahan HIV/AIDS bagi remaja sekaligus bendahara dan pengurus Yayasan Pelita Ilmu (YPI).
Tak heran, YPI sering memberi konseling tentang perilaku yang sehat dan aman di bawah pohon di halaman sekolah atau di food court sebuah mal. Jadi, jangan harap remaja akan langsung bisa diceramahi soal HIV/AIDS dan kondom. Apalagi remaja perempuan yang lebih cenderung bercerita mengenai masalah dalam hubungannya dengan pacar daripada tentang perilaku seksualnya.
Bahkan, menurut data yang dimiliki Enny, di wilayah jangkauan program YPI di Cijantung, yang lebih umum datang berkonsultasi adalah laki-laki. Sejak awal program YPI, kelihatan bahwa remaja maupun orang dewasa laki-laki kesadarannya lebih tinggi untuk melakukan hubungan seksual yang aman.
“Banyak laki-laki yang datang dan berkonsultasi serta minta kondom. Kalau perempuan lebih sering cerita tentang kekerasan berpacaran. Mereka sering dipukul atau takut diputusin kalau nggak mau dicium,katanya. Seks dan maskulinitas kaum muda laki-laki secara umum menempatkan perempuan sebagai obyek seks,” papar Enny.
Akhirnya mereka cenderung memaksakan keinginan untuk membuktikan kejantanannya dalam berhubungan seksual tanpa memerhatikan risiko yang mengancam pasangannya (remaja putri). Termasuk mengabaikan penggunaan kondom yang dapat mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Sebaliknya, para remaja putri minim kendali dalam menggunakan hak menolak hubungan seks yang tidak diinginkannya atau tidak aman. Ini adalah faktor yang membuat remaja putri sangat rentan terhadap IMS (Infeksi Menular Seksual), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tak diinginkan.
Seperti yang dituliskan dalam situs Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama, www.ippnu-pusat.org. Hal ini menggambarkan betapa posisi tawar perempuan masih sangat rendah untuk melindungi dirinya. Khususnya dari akibat berganti pasangan atau bergantian jarum suntik. Padahal, selain IMS, termasuk HIV/AIDS, perempuan juga bisa hamil jika melakukan hubungan seksual tanpa pengaman.
Masalah yang sama juga ditemui pada remaja putri yang menjual diri. Sering kali mereka tidak punya posisi tawar untuk meminta pelanggannya memakai kondom, meskipun sang Pekerja Seks Komersial (PSK) sudah memahami mengenai pentingnya kondom.
“Wajar saja. Yang punya uang kan pelanggannya. Jadi PSK tidak bisa memaksa untuk pakai kondom,” kata Director for Health Care Yayasan Kusuma Buana, Dr Adi Sasongko.
Survei yang digelar BPS dan Depkes pada tahun 2003 juga menunjukkan, dari 3.851 responden laki-laki dewasa, 51 persen aktif berhubungan seksual dengan lebih dari seorang perempuan. Bahkan tercatat, ada 18 persen responden yang aktif berhubungan seksual dengan sembilan perempuan dalam setahun terakhir.
Jika laki-laki itu mengidap HIV dan tidak pernah menggunakan kondom, maka ada sembilan perempuan tertular HIV hanya dari satu sumber. Hal ini diungkapkan Jaringan Aksi Nasional Pengurangan Dampak Buruk Narkoba Suntik dalam artikel Perempuan 2,5 kali Lebih Rentan Terhadap HIV di situsnya, www.jangkar.org.
Inilah mengapa di Yayasan Kusuma Buana berusaha menjangkau kaum laki-laki. Utamanya mereka yang digolongkan berisiko tinggi, yaitu pelanggan PSK. Seperti mereka yang pekerjaannya berkeliling (itinerrant) dan jauh dari rumah, seperti nelayan, pelaut, pekerja tambang, dan tentara. Menurut Adi, jika pelanggannya tercukupi oleh edukasi, maka PSK-nya (yang 45 persen adalah remaja putri di bawah usia 25 tahun) juga jadi terlindungi.
“Baik dari IMS, HIV/AIDS, dan kehamilan tak diinginkan. Sering kami memberikan konseling terhadap PSK remaja yang ternyata tidak tahu risiko pekerjaannya,” kata Adi.
Pelajaran Khusus Kurangnya penyuluhan, serta bimbingan langsung ke masyarakat mengenai AIDS makin memang membuat kalangan muda semakin rentan terhadap penularan HIV/AIDS. Karena itu beberapa kalangan menggagas perlunya mata pelajaran khusus di sekolah yang bicara mengenai kesehatan reproduksi dan narkotika. “Sayangnya hingga saat ini belum terlaksana, Meskipun ada, hanya melalui muatan lokal. Itu pun hanya di beberapa sekolah,” kata Wakil Ketua Forum Lembaga Sosial Masyarakat AIDS Se-Jabodetabek Imam Mulyadi.
Jika program ini terlaksana, menurut Imam, secara tidak langsung sekolah telah mengkampanyekan tentang bahaya AIDS. Nantinya, para siswa ini harus mampu menjadi perantara bagi temannya, sekaligus penyuluh dan pemberi solusi. Lewat mereka pula, akan terbentuk jejaring tidak hanya di sekolah, tetapi juga di tengah masyarakat.
Solusi alternatif, lanjut Iman, bisa dilakukan melalui kegiatan ekstra di sekolahnya seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Palang Merah Remaja (PMR) dan semacamnya. Setiap anggota diberi pelatihan mengenai AIDS agar dapat menjadi pendidik sebaya (peer educator) di sekolahnya. “Penanganan dan pencegahan tidak hanya peringatan yang sifatnya sementara, tetapi aksi yang langsung masuk ke lapisan masyarakat dan berlanjut terus,” kata.
Anak muda memang paling rentan terinfeksi AIDS. Di masa produktif ini, segala sesuatu ingin dicoba demi mendapatkan pengalaman baru, termasuk dalam menggunakan narkoba dan melakukan seks bebas. Kondisi yang relatif labil di masa ini menyebabkan anak muda mudah tergiur untuk mencoba semua itu.
Semakin SulitSementara itu, semakin tingginya resiko penularan HIV/AIDS, tak diikuti dengan optimalnya upaya melalui kampanye-kampanye pencegahan penyakit itu. Hal itu disebabkan hambatan karena adanya pelarangan lokalisasi di beberapa wilayah. Padahal, pembubaran lokalisasi menyebabkan pekerja seks berada di jalanan, dan berakibat makin sulitnya penanganan HIV/AIDS.
“Infeksi Menular Seksual dan HIV semakin sulit dikontrol kalau wanita penjaja seks turun ke jalan-jalan,” kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Nafsiah Mboi di Jakarta.
Kebijakan pembubaran lokalisasi ini dikhawatirkan akan mempertinggi proses penularan HIV ke masyarakat umum. “Karena, kesadaran pelanggan seks komersial untuk menggunakan kondom masih sangat rendah. Padahal ada sekitar tujuh juta pelanggan yang juga bisa menular ke istri dan anak.
Nafsiah menambahkan, jika pekerja seks komersial terlokalisir maka pelaksanaan pengobatan untuk Infeksi Menular Seksual dan HIV menjadi lebih mudah dilakukan, penyediaan kondom juga lebih mudah daripada tersebar ke jalan-jalan atau ke rumah-rumah.”Seperti di Jawa Barat yang di rumah-rumah itu setengah mati pelayanan untuk pengobatannya. Nah, kalau mereka komit untuk sehat dan kompak mengatakan kepada pelanggannya ‘No Condom, No Sex’ itu bagus. Tapi biasanya pelanggan tidak mau memakai kondom,” kata Nafsiah.
Kematian MeningkatPenularan penyakit HIV/AIDS di Indonesia terus meluas sejak kasus pertama positif HIV didapati pada tahun 1987, dan hingga Juni 2008 angka kematian akibat penyakit penurunan kekebalan tubuh itu sudah mencapai 2.479 orang. Data tersebut diluncurkan Departemen Kesehatan (Depkes) dan menjadi semacam fenomena gunung es, dengan angka kasus positif HIV/AIDS yang sudah berada di 18.963 orang.
Fenomena penyakit HIV/AIDS adalah fenomena gunung es, karena angka Departemen Kesehatan itu hanyalah yang tercatat dan hasil dari tes. “Sementara jumlah penderita yang tidak tercatat dan tidak dites pasti jauh lebih besar dari itu,” kata Imam Mulyadi, Ketua Forum LSM Peduli AIDS se-Jabodetabek.
Imam Mulyadi mencontohkan penyebaran HIV/AIDS di Jakarta, yang angka orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) ditaksir sudah mencapai 33.000 orang, namun kasus yang tercatat oleh Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta hingga Juni 2008 cuma 3.123 orang.
Departemen Kesehatan juga menyebutkan bahwa prevalensi kasus AIDS per 100.000 orang penduduk di Indonesia masih cukup tinggi. Daerah yang memiliki prevalensi tertinggi adalah Papua, 81,02 persen. Lalu Jakarta yang memiliki angka prevalensi 34,27 persen, dan Bali 25,49 persen. Peringkat ke-empat adalah Kepulauan Riau 20,53 persen, dan posisi ke lima adalah Kalimantan Barat yang angka prevalensi HIV/AIDS-nya mencapai 18,76 persen.
Di Indonesia, ratio kasus AIDS 3,79 lelaki tiap 1 perempuan.Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan melalui pertukaran jarum suntik adalah 49,2 persen, dengan kata lain hampir satu dari tiap dua orang positif HIV/AIDS terpapar lewat jarum suntik narkotik dan zat adiktif yang berganti-gantian. Sementara penularan lewat praktik hubungan intim heteroseksual 42,8 persen, dan homoseksual 3,8 persen.
Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan berada pada kelompok umur 20-29 tahun (53,62 persen), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,79 persen), dan kelompok umur 40-49 tahun (7,8 persen). Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat. Tingkat penyebaran penderita HIV/AIDS secara kumulatif nasional sampai dengan 31 Maret 2008 adalah 5,23 per 100.000 orang penduduk.

Powered By Blogger