Kebiasaan kita dalam menangani limbah air kotor rumah tangga sering kali dianggap sepele. Asal setiap rumah mempunyai jamban, penanganan tinja dianggap memadai. Untuk menyempurnakanya, kita sambungkan jamban kita dengan septic tank atau cubluk. Kita menganggap penanganan tinja adalah urusan pribadi. Padahal, masalah pembuangan tinja adalah masalah kolektif, di mana tinja menjadi penyebab pencemaran sumber air yang dikonsumsi oleh jutaan orang, termasuk kita. Berbagai data menunjukkan bahwa angka diare masih sangat tinggi dan air bawah tanah kita sudah tercemar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut bermula dari tinja.
Air yang tercemar
Air yang sudah tercemar tinja—yang notabene sumber pencemaran dan penyebaran penyakit, membuat kondisi kesehatan masyarakat baik itu orang dewasa ataupun anak-anak memburuk. Air adalah kebutuhan vital bagi setiap orang untuk menjamin kesehatannya. Sehingga, apabila air yang sudah tercemar dapat menyebabkan penyakit dan gangguan kesehatan. Hal ini disebabkan air menjadi berubah peran sebagai sumber penyebaran penyakit (water borne diseases) di antara lain diare/ disentri, kolera, tifus, hepatitis A, dan penyakit kulit. Lalu mengapa air bisa tercemar tinja?
Jawaban yang paling gampang adalah dengan melirik perilaku kita atau saudara kita yang tinggal di pinggiran sungai, hampir seluruh rumah yang ada di kawasan pinggiran sungai di Bandung membuang limbah rumah tangganya ke sungai. Seseorang membuang tinja seberat 125-250 gram per hari. Jika saat ini warga Kota Bandung 1 juta orang, maka kota ini menghasilkan 250 ton tinja setiap harinya. Katakanlah setengahnya warga Bandung membuang tinja ke sungai, lebih kurang 100 ton tinja memenuhi sungai setiap harinya. Sedangkan rata-rata sumber air seperti sumur tidak memenuhi syarat. Seperti jarak sumber air dekat dengan sungai kurang dari 10 meter.
Hal ini dijelaskan pula oleh temuan Dinas Kesehatan Kota Bandung bahwa kualitas air di Kota Bandung yang memenuhi syarat secara bakteriologi hanya 36,92 persen, sedangkan yang tidak memenuhi syarat 63,07 persen. Pemeriksaan air ini dilakukan tahun 2006 dengan sampel 260 titik yang berasal dari 52 Kelurahan di Kota Bandung. Menurut pemeriksaan tersebut, kandungan air kita sudah tercemar oleh bakteri E. coli, dan bakteri ini adalah indikator air sudah tercemar oleh tinja.
Sedangkan tinja sendiri mempunyai empat kandungan. Pertama, mikroba yang sebagian di antaranya sebagai mikroba patogen seperti Salmonela typhi penyebab demam tifus dan Vibrio choleras penyebab kolera. Kedua, materi organik seperti lemak, enzim, dan sel-sel mati. Apabila kandungan materi organik ini lebih dari batas maksimum, air akan mengeluarkan bau tak sedap dan berwarna hitam. Ketiga, telur cacing. Beragam cacing ada dalam perut kita, seperti cacing gelang, cacing tambang, dan cacing keremi. Setiap satu gram tinja mengandung ribuan cacing yang siap berkembang biak di perut orang lain. Keempat, nutrien, senyawa ini memacu pertumbuhan ganggang akibatnya air akan berwarna hijau. Ganggang akan menghabiskan oksigen dalam air sehingga ikan dan hewan air lainnya mati.
Masalah bersama
Dari hal-hal yang terungkap di atas, tinja membawa banyak masalah. Sayangnya, tidak semua pihak baik itu masyarakat ataupun pemerintah mau dan mampu melakukan hal yang tepat dalam penanganan tinja ini. Sering kali masyarakat miskin yang tinggal di permukiman kumuh menjadi kambing hitam dari masalah ini. Padahal, banyak contoh keliru dalam penanganan tinja ini dilakukan diberbagai kawasan permukiman.
Masalah sanitasi banyak terjadi di kawasan “orang mampu”, bahkan dilakukan oleh petugas kebersihan. Kita simak berbagai contoh, di berbagai perumahan–perumahan yang sudah tertata lebih baik sudah menggunakan septic tank untuk pembuangan tinja. Namun, pembangunan septic tank yang tidak memenuhi syarat sering kali mengalami kebocoran dan mencemari air tanah. Sehingga, 70 persen air tanah di perkotaan tercemar tinja, sedangkan separuh penduduk kota menggunakan air tanah untuk kebutuhan hariannya. Contoh lainnya, penyedotan lumpur tinja dari septic tank ternyata dibuang oleh banyak truk tinja langsung ke sungai.
Urusan buang tinja memang dianggap sebagai urusan pribadi masing-masing penghuni rumah. Baik buruknya sanitasi di setiap rumah menjadi urusan pribadi. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar, jika melihat contoh-contoh di atas. Urusan sanitasi sudah menjadi urusan publik, di mana hal ini menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menanganinya. Namun, bukan berarti pemerintah harus menanggung seluruh bebannya sendiri. Yang diharapkan adalah pemerintah—khususnya pemerintahan Kota Bandung, menyediakan akses terhadap fasilitas sanitasi dasar. Penyediaan tersebut didukung oleh kebijkan pemerintah yang terarah, terencana pada pencapaian target perbaikan sanitasi. Dalam kebijakan tersebut harus dipastikan bahwa seluruh stakeholders mempunyai hak dan kewajiban yang setara untuk bertanggung jawab terhadap pembangunan sektor sanitasi. Khususnya terhadap pelibatan kelompok-kelompok masyarakat dalam membantu perubahan perilaku masyarakat terhadap masalah sanitasi dan perbaikan kondisi sanitasi di kawasan permukimannnya.
Kebijakan nasional untuk hal di atas, tertuang melalui projek WASPOLA (Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning) tahun 2003. Pada salah satu opsinya adalah diakuinya pengolaan oleh masyarakat (tipe C) sebagai suatu opsi pengeloaan sanitasi di Indonesia. Opsi lainnya, pengeloaan institusi (tipe A) dan pengelolaan kerja sama antara lembaga dan masyarakat (tipe B). Kebjakan ini membantu pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi-potensi masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan kelompok warga atau pun lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki posisi setara dengan yang diupayakan pemerintah. Dengan kata lain, anggaran pembagunan juga dapat digunakan untuk membiayai inisatif warga dan LSM.
Dengan begitu, tanggung jawab terhadap sektor sanitasi tidak ditanggung sendiri oleh pemerintah. Masalah lingkungan akan menjadi tanggung jawab masyarakat karena dilibatkan dan mempunyai rasa memilki untuk bisa memeliharanya. ***
Air yang tercemar
Air yang sudah tercemar tinja—yang notabene sumber pencemaran dan penyebaran penyakit, membuat kondisi kesehatan masyarakat baik itu orang dewasa ataupun anak-anak memburuk. Air adalah kebutuhan vital bagi setiap orang untuk menjamin kesehatannya. Sehingga, apabila air yang sudah tercemar dapat menyebabkan penyakit dan gangguan kesehatan. Hal ini disebabkan air menjadi berubah peran sebagai sumber penyebaran penyakit (water borne diseases) di antara lain diare/ disentri, kolera, tifus, hepatitis A, dan penyakit kulit. Lalu mengapa air bisa tercemar tinja?
Jawaban yang paling gampang adalah dengan melirik perilaku kita atau saudara kita yang tinggal di pinggiran sungai, hampir seluruh rumah yang ada di kawasan pinggiran sungai di Bandung membuang limbah rumah tangganya ke sungai. Seseorang membuang tinja seberat 125-250 gram per hari. Jika saat ini warga Kota Bandung 1 juta orang, maka kota ini menghasilkan 250 ton tinja setiap harinya. Katakanlah setengahnya warga Bandung membuang tinja ke sungai, lebih kurang 100 ton tinja memenuhi sungai setiap harinya. Sedangkan rata-rata sumber air seperti sumur tidak memenuhi syarat. Seperti jarak sumber air dekat dengan sungai kurang dari 10 meter.
Hal ini dijelaskan pula oleh temuan Dinas Kesehatan Kota Bandung bahwa kualitas air di Kota Bandung yang memenuhi syarat secara bakteriologi hanya 36,92 persen, sedangkan yang tidak memenuhi syarat 63,07 persen. Pemeriksaan air ini dilakukan tahun 2006 dengan sampel 260 titik yang berasal dari 52 Kelurahan di Kota Bandung. Menurut pemeriksaan tersebut, kandungan air kita sudah tercemar oleh bakteri E. coli, dan bakteri ini adalah indikator air sudah tercemar oleh tinja.
Sedangkan tinja sendiri mempunyai empat kandungan. Pertama, mikroba yang sebagian di antaranya sebagai mikroba patogen seperti Salmonela typhi penyebab demam tifus dan Vibrio choleras penyebab kolera. Kedua, materi organik seperti lemak, enzim, dan sel-sel mati. Apabila kandungan materi organik ini lebih dari batas maksimum, air akan mengeluarkan bau tak sedap dan berwarna hitam. Ketiga, telur cacing. Beragam cacing ada dalam perut kita, seperti cacing gelang, cacing tambang, dan cacing keremi. Setiap satu gram tinja mengandung ribuan cacing yang siap berkembang biak di perut orang lain. Keempat, nutrien, senyawa ini memacu pertumbuhan ganggang akibatnya air akan berwarna hijau. Ganggang akan menghabiskan oksigen dalam air sehingga ikan dan hewan air lainnya mati.
Masalah bersama
Dari hal-hal yang terungkap di atas, tinja membawa banyak masalah. Sayangnya, tidak semua pihak baik itu masyarakat ataupun pemerintah mau dan mampu melakukan hal yang tepat dalam penanganan tinja ini. Sering kali masyarakat miskin yang tinggal di permukiman kumuh menjadi kambing hitam dari masalah ini. Padahal, banyak contoh keliru dalam penanganan tinja ini dilakukan diberbagai kawasan permukiman.
Masalah sanitasi banyak terjadi di kawasan “orang mampu”, bahkan dilakukan oleh petugas kebersihan. Kita simak berbagai contoh, di berbagai perumahan–perumahan yang sudah tertata lebih baik sudah menggunakan septic tank untuk pembuangan tinja. Namun, pembangunan septic tank yang tidak memenuhi syarat sering kali mengalami kebocoran dan mencemari air tanah. Sehingga, 70 persen air tanah di perkotaan tercemar tinja, sedangkan separuh penduduk kota menggunakan air tanah untuk kebutuhan hariannya. Contoh lainnya, penyedotan lumpur tinja dari septic tank ternyata dibuang oleh banyak truk tinja langsung ke sungai.
Urusan buang tinja memang dianggap sebagai urusan pribadi masing-masing penghuni rumah. Baik buruknya sanitasi di setiap rumah menjadi urusan pribadi. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar, jika melihat contoh-contoh di atas. Urusan sanitasi sudah menjadi urusan publik, di mana hal ini menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menanganinya. Namun, bukan berarti pemerintah harus menanggung seluruh bebannya sendiri. Yang diharapkan adalah pemerintah—khususnya pemerintahan Kota Bandung, menyediakan akses terhadap fasilitas sanitasi dasar. Penyediaan tersebut didukung oleh kebijkan pemerintah yang terarah, terencana pada pencapaian target perbaikan sanitasi. Dalam kebijakan tersebut harus dipastikan bahwa seluruh stakeholders mempunyai hak dan kewajiban yang setara untuk bertanggung jawab terhadap pembangunan sektor sanitasi. Khususnya terhadap pelibatan kelompok-kelompok masyarakat dalam membantu perubahan perilaku masyarakat terhadap masalah sanitasi dan perbaikan kondisi sanitasi di kawasan permukimannnya.
Kebijakan nasional untuk hal di atas, tertuang melalui projek WASPOLA (Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning) tahun 2003. Pada salah satu opsinya adalah diakuinya pengolaan oleh masyarakat (tipe C) sebagai suatu opsi pengeloaan sanitasi di Indonesia. Opsi lainnya, pengeloaan institusi (tipe A) dan pengelolaan kerja sama antara lembaga dan masyarakat (tipe B). Kebjakan ini membantu pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi-potensi masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan kelompok warga atau pun lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki posisi setara dengan yang diupayakan pemerintah. Dengan kata lain, anggaran pembagunan juga dapat digunakan untuk membiayai inisatif warga dan LSM.
Dengan begitu, tanggung jawab terhadap sektor sanitasi tidak ditanggung sendiri oleh pemerintah. Masalah lingkungan akan menjadi tanggung jawab masyarakat karena dilibatkan dan mempunyai rasa memilki untuk bisa memeliharanya. ***
Dadan Junaedi, Koordinator perencanaan media di Kelompok Kerja Komunikasi Air, tinggal di Bandung (K3A).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar