Yogyakarta hingga sekarang diyakini mempunyai magnet dan potensi yang dapat dikembangkan lebih serius. Seperti potensi kepariwisataan, potensi ekonomi, potensi seni budaya, dan potensi komponen arsitektur kawasan. Sayang potensi emas itu belum pernah ditata secara komprehensif dengan melibatkan berbagai unsur disiplin ilmu. Hingga sekarang pariwisata masih dipahami dalam konteks musim-musiman, tidak bisa sepanjang hari musim turis, sehingga ada masa pasang dan surut. Bila situasi keamanan tidak kondusif, maka pariwisata akan sepi. Begitulah yang terjadi pada pariwisata selama ini, sehingga tidak menciptakan daya tarik bisnis. Lain halnya dengan sektor pendidikan, yang digeret bersama-sama pariwisata, ternyata justru lebih nyata memberi berkah rejeki kepada masyarakat.
Saat kita mencoba menyusuri poros keramat Kaliurang sampai Parangtritis, misalnya, dapat dijumpai berbagai sentra kerajinan, pariwisata, pusat pendidikan, pusat kesenian, Kraton, Alun-Alun, Malioboro berikut komunitas pedagang kaki lima dan pengamen, serta berbagai situs sejarah: Tamansari, Panggung Krapyak, masing-masing dengan dinamika sosial budaya masyarakat Yogyakarta yang sangat kental dan unik. Sepanjang kawasan ujung utara dan selatan Yogya sebagai contoh kasus tulisan ini sebenarnya mempunyai potensi luar biasa untuk diberdayakan sebagai sebuah kawasan yang komprehensif dalam konteks apa pun.
Jika kita kupas dengan pendekatan ekonomi yang berwawasan pariwisata, maka pada tiap titik objek poros utara selatan Yogyakarta itu selalu muncul berbagai aspek yang saling bergantung antara satu dengan lainnya. Pada kenyataannya, jalinan unsur tersebut sangat didambakan oleh wisatawan dalam rangka mendapatkan pengalaman dan kenangan khusus ketika mereka melancong di kawasan tersebut. Keberadaannya bisa berbentuk pada kemudahan dalam hal sirkulasi, rasa aman dan nyaman, letak yang strategis, menemukan suasana khas yang bersifat rekreatif. Penataan elemen-elemen jalan, street furniture, tempat parkir yang tertata rapi, taman kota lengkap dengan patung-patung kota yang dapat menimbulkan kesan indah, bersih, nyaman, dan nggangeni.
Manakala kita melonggok poros Kaliurang (Gunung Merapi) sampai pantai Parangtritis, sistem pertandaan yang ada hanya berupa rambu-rambu standar internasional yang sangat kaku, dan kurang menarik dari aspek komunikasi visual. Secara fisik, rambu tersebut biasanya berlatar warna hijau, merah, atau biru dengan tipografi putih yang menunjukkan sekian kilometer ke arah selatan, utara, barat atau timur untuk menuju lokasi yang ditunjukkan oleh papan penunjuk arah tersebut.
Hal semacam ini sangat disayangkan, sebab Yogya yang dikenal sebagai kota yang unik berkat situs-situs budaya, lokasi pariwisata dan berbagai sekolah serta perguruan tinggi yang menjadi tujuan utama para peserta didik di seantero Indonesia seolah-olah menjadi sebuah kota dengan peta buta.
Beberapa nama jalan, nama pasar, dan identitas lokasi memang bisa kita jumpai di beberapa tempat. Tetapi sistem pertandaan semacam itu sifatnya sangat sederhana, ukurannya terlampau kecil, penempatannya tidak tepat atau terhalang oleh objek lain dan perancangan desainnya hanya mengacu pada standarisasi yang sudah ada.
Melihat fenomena semacam itu, sudah selayaknya kota Yogya dengan semangat otonomi daerah memelopori pembuatan sistem pertandaan yang terintegrasi antarlokasi, dan kawasan wisata yang ada di Yogya. Sebab dengan adanya sistem pertandaan yang dirancang secara terpadu akan meningkatkan image atau citra kota Yogya sebagai sebuah kota yang memiliki keunikan multidimensi.
Desain sistem pertandaan yang dibutuhkan oleh kawasan wisata Yogya adalah desain komunikasi berwujud tanda-tanda yang komunikatif. Untuk mengarah ke sana, kita bisa menggunakan pendekatan landmark (cap atau merek lokasi). Konsep ini lebih mengedepankan: pertama, keistimewaan. Aspek ini mengutamakan keunikan, ciri khas dan spesifikasi dari kota Yogya. Penggalian unsur keistimewaan ini mungkin bersumber dari panorama alam (gunung, pantai), objek peninggalan sejarah ( Tugu Yogya, Tamansari, bangunan kraton, beteng dan pagar Kraton, lampu dan Ngejaman), cinderamata, kesenian, rumah tradisional, pakaian adat, senjata tradisional, atau flora fauna. Kedua, image atau gambar yang diubah menjadi pictogram. Ketiga, tulisan yang diposisikan menjadi ideogram.
Masing-masing unsur tersebut, baik kata ataupun citra dihubungkan sedemikian rupa yang visualisasinya memanfaatkan konsep Gestalt ( sosok, positif negatif) yang dikemas secara dekoratif dengan ramuan komposisi, ritme dan kontras yang senantiasa terjaga keseimbangannya.
Bisa juga kita menggunakan pendekatan bahasa gambar. Dalam konteks ini, bahasa gambar dipahami sebagai sebuah proses berpikir kreatif yang dilakukan oleh penyampai pesan kepada penerima pesan dalam rangka menginformasikan pesan verbal yang divisualkan dalam bentuk gambar atau simbol.
Tahapan komunikasi seperti ini didahului dengan memvisualkan kalimat verbal ke dalam bentuk gambar (simbol). Keberadaannya senantiasa melibatkan unsur gambar sebagai sarana untuk menemukan suatu keunikan atau ciri khas suatu daerah. Kemudian menerjemahkan informasi yang diterima oleh indra lain (telinga dan perasaan) ke dalam kesan penglihatan atau image, yang divisualkan dalam bentuk sketsa mulai dari berbagai alternatif layout sampai ke final desain.
Karena berupaya menginformasikan pesan agar orang bisa mengartikan pesan tersebut, maka ketika mendesain sistem pertandaan itu perlu dilakukan proses abstraksi yang terdiri dari upaya memahami tujuan komunikasi, melakukan identifikasi objek sehingga mampu menggambarkan ciri-ciri kota Yogya secara jitu, kemudian dalam visualisasinya harus dibuat seringkas dan seminim mungkin agar mudah dipahami dan komunikatif.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan kreatif sistem pertandaan (sign system) berbasiskan data verbal-visual, serta didukung riset (lihat lampiran di bawah tulisan ini) yang mendalam, sangat guna untuk mempertajam analisis, sintesis dan evaluasi perancangan desain komunikasi visual tersebut. Kristalisasinya dimanfaatkan untuk menentukan tujuan kreatif, strategi kreatif dan rencana kreatif yang dihadirkan dalam bentuk bahasa gambar, bahasa teks maupun bahasa bunyi yang efektif, komunikatif dan persuasif.
Jika gagasan perihal sistem pertandaan di kawasan wisata Yogya ini bisa terwujud, dapat dibayangkan alangkah indah dan uniknya kota Yogya yang menampilkan maskot pendidikan dan pariwisata dengan ungkapan visual berupa taburan berbagai tanda dan simbol pada berbagai rambu lalulintas dan sistem pertandaan pariwisata di tengah masyarakat Yogya yang berasal dari berbagai etnis, kultur, dan golongan yang amat plural.
*)Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
wedeeeeeeeeeew ., blognya kweren loh, bener sumpah.
Posting Komentar