Air Mahal Bagi Si Miskin

DALAM urusan akses terhadap air bersih, kita masih mendapati banyak hal yang ironis. Di satu sisi, rakyat miskin sangat kesulitan mendapatkan akses air bersih. Pemerintah--melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)--seolah lupa pada nasib si miskin karena terlalu memprioritaskan orang kaya sebagai pelanggan mereka.
Akibatnya, untuk mendapatkan air bersih, orang miskin harus mengeluarkan biaya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan orang kaya. Sedangkan bagi orang yang masuk kategori sangat miskin dan tidak mampu membeli air bersih, terpaksa banyak yang mati muda pada usia dini karena mengonsumsi air tak bersih.
Idealnya, sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri No.8/1998, setiap keluarga rata-rata memerlukan air bersih sedikitnya 10 meter kubik per bulan. Namun, keluarga miskin yang tidak punya akses air bersih tidak dapat memenuhi kebutuhan minimal tersebut. Survei yang dilakukan dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengungkapkan, keluarga yang beranggotakan lima orang dan tidak memiliki akses sambungan air hanya mengonsumsi 2 meter kubik air bersih per rumah tangga per bulannya.
Bahkan, banyak keluarga miskin di Indonesia harus membayar paling tidak 10-20 persen dari pendapatannya untuk membeli air bersih dari penjual air keliling. Hal ini terutama dialami oleh keluarga yang berpenghasilan di bawah Upah Minimun Regional (Laporan Bank Dunia: Enabling Water Utilities to Serve the Urban Poor).
Bagi masyarakat miskin perkotaan yang tidak terjangkau oleh jaringan distribusi, kebutuhan akan air bersih dipenuhi dengan membeli melalui penjaja air dengan gerobak dorong. Contohnya di suatu kawasan Bandung, masyarakat membeli air dari penjaja dengan harga Rp 500,00 untuk tiap satu jeriken isi 20 liter. Tiap 2 hari sekali, mereka membeli 2 jeriken air untuk kebutuhan makan dan minum. Kebutuhan untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK) biasanya mempergunakan sum­ber air lain yang tidak jelas kualitasnya. Dalam satu bulan biaya yang dikeluarkan = 15 hari x Rp 500,00/ jeriken X 2 jeriken = Rp 15.000,00 untuk volume 15 x 2 jeriken X 20 liter/ jeriken = 600 liter. Dikonversikan dalam 1 m3 menjadi = 1.000 liter/ 600 liter X Rp 15.000,00 = Rp 25.000,00. Sedangkan tarif air PDAM yang berlaku saat ini adalah seharga Rp 1.000,00/m3.
Ternyata masyarakat miskin harus membayar lebih dari dua puluh kali lipat dari harga tarif yang berlaku. Suatu gambaran betapa tidak adilnya bagi masyarakat kecil yang harus menanggung biaya yang lebih besar. Tanggungan itu masih ditambah lagi dengan biaya untuk kesehatannya karena mengonsumsi air yang tidak jelas kualitasnya. Berdasarkan catatan WHO (2006), hampir 2,6 miliar orang di dunia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, 1,1 miliar orang kekurangan air bersih, dan lebih dari 1 miliar orang setiap tahun terjangkit penyakit akibat mengonsumsi air yang sudah terkontaminasi dan lebih dari tiga juta di antaranya meninggal setiap tahunnya, termasuk sekitar dua juta anak-anak. Hal ini mengakibatkan orang miskin menjadi semakin tidak berdaya dan terperangkap dalam kemiskinannya.

Tanggung jawab pemerintah
Menilik PP No.16/2005 tentang Pengembangan Sistem Air Minum, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab terhadap pemenuhan air minum bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari. Sekitar 40 persen rumah tangga di daerah perkotaan mendapatkan suplai air dari PDAM. Sisanya mendapatkan air dari sumber lain seperti sumur atau dari penjual air keliling. Untuk meningkatkan akses orang miskin terhadap air bersih, dibutuhkan dana sebesar Rp 23–66 triliun hingga 2015. Ironisnya, anggaran publik untuk sektor air bersih dari APBN hanya sebesar Rp 400 – 600 miliar. Jumlah ini sangat jauh dari kebutuhan sebenarnya sebesar Rp 2,5 – 6 triliun per tahun (http://satudunia.oneworld.net, “Perlu Komitmen Pemerintah untuk Atasi Krisis Air,” Andy A. Krisnandy).
Pemerintah masih dinilai pasif dalam menghadapi masalah air bersih, terlihat dengan keengganan pemerintah untuk melakukan investasi secara langsung untuk membangun infrastruktur penyediaan dan pengolahan air bersih. Sebaliknya pemerintah malah lebih menitikberatkan pada mekanisme kerja sama pemerintah dan swasta untuk memenuhi pembiayaan air bersih dengan alasan keterbatasan anggaran pemerintah.
Padahal, menurut Laporan World Bank, Indonesia Public Expenditure Review 2007 mengindikasikan bahwa pemerintah saat ini sebenarnya memiliki ruang fiskal yang cukup besar untuk mengalokasikan dana untuk investasi membangun infrastruktur dasar (air bersih, listrik, jalan, dan telekomunikasi) sebesar 2 persen dari GDP (Rp 50-60 triliun) setiap tahunnya. Sumber pembiayaan lain berasal dari pajak, yang dapat meningkatkan pendapatan pemerintah secara signifikan yang dapat dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur dasar yang mendukung program pengurangan kemiskinan.
Masalah ini perlu adanya peran aktif negara—dalam hal ini pemerintah, untuk mengatur, mengelola, mengawasi, dan memiliki sumber-sumber dan infrastruktur penyediaan air bersih. Bagaimanapun, air bersih adalah kebutuhan dasar sehingga dikategorikan sebagai hak asasi manusia. Dengan demikian, pemerintah bisa disebut gagal apabila tidak bisa memenuhi kebutuhan air bersih bagi rakyatnya—yang berarti pula kegagalan pemerintah dalam melindungi hak asasi manusia seutuhnya. Oleh karena itu, rakyat berhak menuntut agar negara atau pemerintah menjamin tersedia air bersih yang murah dan berkelanjutan bagi kehidupannya.***

Oleh: Dadan Junaedi. Penulis adalah Koordinator perencanaan media kampanye di Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A) dan Ketua Yayasan Kriyamedia Komunika.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger