Awas, AIDS Mengintai Generasi Muda

Bagi yang berusia muda, atau orang tua yang memiliki anak berusia muda, anda harus lebih berhati-hati dalam pergaulan dan mengawasi pergaulan anak anda. Pasalnya, bahaya HIV/AIDS kini banyak mengintai kalangan yang berusia 25 tahun ke bawah. Jumlah ODHA di kalangan ini melesat naik akibat penggunaan jarum suntik bergantian, mengalahkan pengidap penyakit yang menghilangkan kekebalan tubuh melalui penularan lewat hubungan seksual.
Fenomena baru ini, tak lepas dari semakin meningkatnya gaya hidup menggunakan narkoba yang dijalani oleh para muda-mudi. Sejak awal tahun 2000, seks bebas tidak lagi menjadi musuh nomor satu dalam penularan Virus HIV. “Trennya melalui jarum suntik. Akibatnya, yang tertular HIV adalah orang-orang berusia muda. Karena golongan ini yang paling banyak menggunakan jarum suntik secara bergantian,” kata Wakil Ketua Yayasan Pelita Ilmu Husein Habsyi di Jakarta.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan hingga Juni 2008, ada 12.686 kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 50 persen atau 6.782 kasus terjadi pada usia 20-29 tahun. Kedua terbanyak—3.539 kasus—terjadi pada usia 30-39 tahun, dan ada 429 kasus pada usia 15-19 tahun. Menurut Ketua Forum LSM Peduli AIDS se-Jabodetabek Imam Mulyadi, di Jakarta saja proporsi peningkatan kasus HIV/AIDS paling banyak memang lewat penggunaan jarum suntik secara bergantian.
Dari 3.123 kasus di Jakarta, sebanyak 2.278 kasus—atau sekitar 73 persen—karena Injection Drug User (IDU). Maka itu, banyak anak muda harus dilindungi dari HIV/AIDS. Mereka masih pada fase usia produktif, sehingga potensial berkarya lebih baik. Untuk itu, pada peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember tahun ini, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di berbagai provinsi memfokuskan kampanye HIV/AIDS pada remaja.
Menurut Husein, sejak tahun 1993, KPA sudah memiliki program khusus untuk merekrut anak sekolah menjadi peer educator (penyuluh sebaya). Di setiap sekolah dipilih dua anak yang akan dilatih tentang AIDS dan cara pencegahannya. Hingga kini, ada sekitar 400 sekolah di Jakarta. Peer educator berjumlah 4 ribu anak. Selain di sekolah, kami juga punya pos di luar sekolah. Misalnya di mal. “Atau di tempat tongkrongan anak remaja,” kata Husein.
Dalam golongan muda itu, remaja putri merupakan golongan yang paling rentan terhadap penularan HIV/AIDS, dan kehamilan yang tak diinginkan. Kondisi ini tercipta karena kurangnya pengetahuan tentang pencegahannya. Konseling masalah HIV/AIDS untuk remaja juga bukan perkara mudah. Dibanding orang dewasa yang bisa terus terang, remaja biasanya masih malu-malu menceritakan masalah pribadinya. Apalagi bila terkait perihal perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan atau kebiasaan bergantian jarum suntik.
“Makanya menangani remaja nggak ada patokannya. Kita ikuti kemauan dia agar merasa nyaman bercerita,” kata Enny Zuliatie, Manajer Program Pencegahan HIV/AIDS bagi remaja sekaligus bendahara dan pengurus Yayasan Pelita Ilmu (YPI).
Tak heran, YPI sering memberi konseling tentang perilaku yang sehat dan aman di bawah pohon di halaman sekolah atau di food court sebuah mal. Jadi, jangan harap remaja akan langsung bisa diceramahi soal HIV/AIDS dan kondom. Apalagi remaja perempuan yang lebih cenderung bercerita mengenai masalah dalam hubungannya dengan pacar daripada tentang perilaku seksualnya.
Bahkan, menurut data yang dimiliki Enny, di wilayah jangkauan program YPI di Cijantung, yang lebih umum datang berkonsultasi adalah laki-laki. Sejak awal program YPI, kelihatan bahwa remaja maupun orang dewasa laki-laki kesadarannya lebih tinggi untuk melakukan hubungan seksual yang aman.
“Banyak laki-laki yang datang dan berkonsultasi serta minta kondom. Kalau perempuan lebih sering cerita tentang kekerasan berpacaran. Mereka sering dipukul atau takut diputusin kalau nggak mau dicium,katanya. Seks dan maskulinitas kaum muda laki-laki secara umum menempatkan perempuan sebagai obyek seks,” papar Enny.
Akhirnya mereka cenderung memaksakan keinginan untuk membuktikan kejantanannya dalam berhubungan seksual tanpa memerhatikan risiko yang mengancam pasangannya (remaja putri). Termasuk mengabaikan penggunaan kondom yang dapat mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Sebaliknya, para remaja putri minim kendali dalam menggunakan hak menolak hubungan seks yang tidak diinginkannya atau tidak aman. Ini adalah faktor yang membuat remaja putri sangat rentan terhadap IMS (Infeksi Menular Seksual), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tak diinginkan.
Seperti yang dituliskan dalam situs Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama, www.ippnu-pusat.org. Hal ini menggambarkan betapa posisi tawar perempuan masih sangat rendah untuk melindungi dirinya. Khususnya dari akibat berganti pasangan atau bergantian jarum suntik. Padahal, selain IMS, termasuk HIV/AIDS, perempuan juga bisa hamil jika melakukan hubungan seksual tanpa pengaman.
Masalah yang sama juga ditemui pada remaja putri yang menjual diri. Sering kali mereka tidak punya posisi tawar untuk meminta pelanggannya memakai kondom, meskipun sang Pekerja Seks Komersial (PSK) sudah memahami mengenai pentingnya kondom.
“Wajar saja. Yang punya uang kan pelanggannya. Jadi PSK tidak bisa memaksa untuk pakai kondom,” kata Director for Health Care Yayasan Kusuma Buana, Dr Adi Sasongko.
Survei yang digelar BPS dan Depkes pada tahun 2003 juga menunjukkan, dari 3.851 responden laki-laki dewasa, 51 persen aktif berhubungan seksual dengan lebih dari seorang perempuan. Bahkan tercatat, ada 18 persen responden yang aktif berhubungan seksual dengan sembilan perempuan dalam setahun terakhir.
Jika laki-laki itu mengidap HIV dan tidak pernah menggunakan kondom, maka ada sembilan perempuan tertular HIV hanya dari satu sumber. Hal ini diungkapkan Jaringan Aksi Nasional Pengurangan Dampak Buruk Narkoba Suntik dalam artikel Perempuan 2,5 kali Lebih Rentan Terhadap HIV di situsnya, www.jangkar.org.
Inilah mengapa di Yayasan Kusuma Buana berusaha menjangkau kaum laki-laki. Utamanya mereka yang digolongkan berisiko tinggi, yaitu pelanggan PSK. Seperti mereka yang pekerjaannya berkeliling (itinerrant) dan jauh dari rumah, seperti nelayan, pelaut, pekerja tambang, dan tentara. Menurut Adi, jika pelanggannya tercukupi oleh edukasi, maka PSK-nya (yang 45 persen adalah remaja putri di bawah usia 25 tahun) juga jadi terlindungi.
“Baik dari IMS, HIV/AIDS, dan kehamilan tak diinginkan. Sering kami memberikan konseling terhadap PSK remaja yang ternyata tidak tahu risiko pekerjaannya,” kata Adi.
Pelajaran Khusus Kurangnya penyuluhan, serta bimbingan langsung ke masyarakat mengenai AIDS makin memang membuat kalangan muda semakin rentan terhadap penularan HIV/AIDS. Karena itu beberapa kalangan menggagas perlunya mata pelajaran khusus di sekolah yang bicara mengenai kesehatan reproduksi dan narkotika. “Sayangnya hingga saat ini belum terlaksana, Meskipun ada, hanya melalui muatan lokal. Itu pun hanya di beberapa sekolah,” kata Wakil Ketua Forum Lembaga Sosial Masyarakat AIDS Se-Jabodetabek Imam Mulyadi.
Jika program ini terlaksana, menurut Imam, secara tidak langsung sekolah telah mengkampanyekan tentang bahaya AIDS. Nantinya, para siswa ini harus mampu menjadi perantara bagi temannya, sekaligus penyuluh dan pemberi solusi. Lewat mereka pula, akan terbentuk jejaring tidak hanya di sekolah, tetapi juga di tengah masyarakat.
Solusi alternatif, lanjut Iman, bisa dilakukan melalui kegiatan ekstra di sekolahnya seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Palang Merah Remaja (PMR) dan semacamnya. Setiap anggota diberi pelatihan mengenai AIDS agar dapat menjadi pendidik sebaya (peer educator) di sekolahnya. “Penanganan dan pencegahan tidak hanya peringatan yang sifatnya sementara, tetapi aksi yang langsung masuk ke lapisan masyarakat dan berlanjut terus,” kata.
Anak muda memang paling rentan terinfeksi AIDS. Di masa produktif ini, segala sesuatu ingin dicoba demi mendapatkan pengalaman baru, termasuk dalam menggunakan narkoba dan melakukan seks bebas. Kondisi yang relatif labil di masa ini menyebabkan anak muda mudah tergiur untuk mencoba semua itu.
Semakin SulitSementara itu, semakin tingginya resiko penularan HIV/AIDS, tak diikuti dengan optimalnya upaya melalui kampanye-kampanye pencegahan penyakit itu. Hal itu disebabkan hambatan karena adanya pelarangan lokalisasi di beberapa wilayah. Padahal, pembubaran lokalisasi menyebabkan pekerja seks berada di jalanan, dan berakibat makin sulitnya penanganan HIV/AIDS.
“Infeksi Menular Seksual dan HIV semakin sulit dikontrol kalau wanita penjaja seks turun ke jalan-jalan,” kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Nafsiah Mboi di Jakarta.
Kebijakan pembubaran lokalisasi ini dikhawatirkan akan mempertinggi proses penularan HIV ke masyarakat umum. “Karena, kesadaran pelanggan seks komersial untuk menggunakan kondom masih sangat rendah. Padahal ada sekitar tujuh juta pelanggan yang juga bisa menular ke istri dan anak.
Nafsiah menambahkan, jika pekerja seks komersial terlokalisir maka pelaksanaan pengobatan untuk Infeksi Menular Seksual dan HIV menjadi lebih mudah dilakukan, penyediaan kondom juga lebih mudah daripada tersebar ke jalan-jalan atau ke rumah-rumah.”Seperti di Jawa Barat yang di rumah-rumah itu setengah mati pelayanan untuk pengobatannya. Nah, kalau mereka komit untuk sehat dan kompak mengatakan kepada pelanggannya ‘No Condom, No Sex’ itu bagus. Tapi biasanya pelanggan tidak mau memakai kondom,” kata Nafsiah.
Kematian MeningkatPenularan penyakit HIV/AIDS di Indonesia terus meluas sejak kasus pertama positif HIV didapati pada tahun 1987, dan hingga Juni 2008 angka kematian akibat penyakit penurunan kekebalan tubuh itu sudah mencapai 2.479 orang. Data tersebut diluncurkan Departemen Kesehatan (Depkes) dan menjadi semacam fenomena gunung es, dengan angka kasus positif HIV/AIDS yang sudah berada di 18.963 orang.
Fenomena penyakit HIV/AIDS adalah fenomena gunung es, karena angka Departemen Kesehatan itu hanyalah yang tercatat dan hasil dari tes. “Sementara jumlah penderita yang tidak tercatat dan tidak dites pasti jauh lebih besar dari itu,” kata Imam Mulyadi, Ketua Forum LSM Peduli AIDS se-Jabodetabek.
Imam Mulyadi mencontohkan penyebaran HIV/AIDS di Jakarta, yang angka orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) ditaksir sudah mencapai 33.000 orang, namun kasus yang tercatat oleh Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta hingga Juni 2008 cuma 3.123 orang.
Departemen Kesehatan juga menyebutkan bahwa prevalensi kasus AIDS per 100.000 orang penduduk di Indonesia masih cukup tinggi. Daerah yang memiliki prevalensi tertinggi adalah Papua, 81,02 persen. Lalu Jakarta yang memiliki angka prevalensi 34,27 persen, dan Bali 25,49 persen. Peringkat ke-empat adalah Kepulauan Riau 20,53 persen, dan posisi ke lima adalah Kalimantan Barat yang angka prevalensi HIV/AIDS-nya mencapai 18,76 persen.
Di Indonesia, ratio kasus AIDS 3,79 lelaki tiap 1 perempuan.Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan melalui pertukaran jarum suntik adalah 49,2 persen, dengan kata lain hampir satu dari tiap dua orang positif HIV/AIDS terpapar lewat jarum suntik narkotik dan zat adiktif yang berganti-gantian. Sementara penularan lewat praktik hubungan intim heteroseksual 42,8 persen, dan homoseksual 3,8 persen.
Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan berada pada kelompok umur 20-29 tahun (53,62 persen), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,79 persen), dan kelompok umur 40-49 tahun (7,8 persen). Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat. Tingkat penyebaran penderita HIV/AIDS secara kumulatif nasional sampai dengan 31 Maret 2008 adalah 5,23 per 100.000 orang penduduk.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger