Mencari Kampiun Lokal dengan Pendekatan Partisipatif

DARI waktu ke waktu, kondisi alam semakin tidak bersahabat dengan manusia. Hal ini, disadari atau tidak, disebabkan oleh adanya campur tangan manusia dalam mengelola alam. Lihat saja, dalam sehari saja hutan di Indonesia bisa hilang lebih kurang seluas lapangan sepak bola. Saat ini, ada 93,6 juta ha lahan yang terdegradasi (setara dengan tiga kali luas negara Italia) disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan, konversi hutan, ekspansi lahan pertanian yang tak terencana, dan juga berbagai konflik sosial terkait isu kehutanan (Nawir dkk., 2007).

Kondisi hutan ini diperparah dengan timpangnya laju degradasi dan rehabilitasi lahan. Menurut data dari Departemen Kehutanan (2007), laju degradasi hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta ha, sedangkan inisiatif rehabilitasi rata-rata per tahun melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) mencapai 500.000 ha sampai 700.000 ha per tahun. Fakta ini menunjukkan, ada selisih 500.000 ha per tahun lahan rusak yang tidak terehabilitasi. Akibatnya, ketika musim hujan, muncul arus air pada permukaan tanah karena lahan gundul semakin luas. Sementara pada musim kemarau, daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang dan menyebabkan kekeringan. Pada musim hujan, masalah tersebut mengundang bencana lain, seperti banjir. Banjir adalah bencana yang relatif sering terjadi, demikian juga di Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, selama 1997-2004, terjadi 229 bencana banjir dan 219 tanah longsor di Indonesia yang mengakibatkan ratusan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal, harta benda, bahkan nyawa.

Berbagai upaya "pelestarian lingkungan" sering kali dilakukan berbagai pihak untuk melakukan kegiatan dalam masalah penyelesaian lingkungan hidup ini sehingga muncul banyak program kegiatan lingkungan hidup di masyarakat. Sayangnya, program lingkungan hidup tersebut disinyalir kurang mendapat respons yang baik serta kurang melibatkan masyarakat secara penuh.

Banyak pihak, khususnya pemerintah, merasa sudah melakukan proses-proses partisipatif. Namun, kenyataan di lapangan masih terlihat ketidakpuasan masyarakat karena merasa tidak ada atau masih minus keterlibatannya. Masyarakat masih dianggap objek sebuah "projek", di mana ketika muncul hal tersebut tidak menimbulkan potensi-potensi masyarakat itu sendiri. Semua sudah teratur. Dengan model pendekatan seperti itu, pertemuan yang layaknya menjadi pertemuan yang menggali partisipasi masyarakat menjadi ritual yang tidak ada "roh partispatif"-nya. Semuanya tersekat karena jadwal projek dan pelaporan administrasi.
Dengung tentang metode partisipatif sudah lama sekali terdengar. Namun dengan cara demikian, metode ini tidak dipahami dengan benar. Muncul berbagai persepsi dan pemahaman yang berbeda tentang partisipasi. Sejak kata pendekatan partisipatif semakin populer, namun praktik di lapangan yang salah ini menghasilkan banyak "projek partisipatif" yang sering kali terlalu menyederhanakan masalah-masalah yang kompleks.

Pendekatan partisipatif atau participatory sudah populer di kalangan LSM maupun pemerintahan, apalagi saat krisis moneter. Pendekatan partisipatif pun mengalami perkembangan pesat. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai pendekatan yang mulai lebih mementingkan partisipasi (keterlibatan masyarakat) dengan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat secara aktif dalam mencapai tujuan program.

Secara eksplisit, partispasi masyarakat sendiri telah diatur oleh negara melalui Peraturan Pemerintah No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Dengan demikian, secara konstitusi masyarakat sudah punya hak dan kewajiban memberikan kontribusi dalam proses pembangunan. Hingga saat ini, proses-proses partisipasi masyarakat masih terabaikan.

Kampiun lokal
Menilik apa yang sudah dilakukan oleh Environmental Services Program (ESP) - USAID telah dilakukan serangkaian kegiatan tentang persoalan-persoalan lingkungan hidup, perubahan perilaku hidup sehat, sanitasi, dan persampahan. Dalam proses pelaksanaan programnya, ESP mempunyai strategi kunci ,yaitu dengan pendekatan partisipatif.
Melalui pendekatan ini, masyarakat lokal diposisikan sebagai "manajer" dan dilibatkan secara aktif dalam proses setiap tahap inisiatif, misalnya dalam program rehabilitasi lahan, masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pengelolaan. Dalam pengalaman pelaksanaan program-programnya secara partisipatif terdapat berbagai keuntungan.

Pertama, sesuai dengan kebutuhan setempat. Inisiatif ini akan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan di tingkat lokal sejak awal, mulai dari identifikasi kebutuhan rehabilitasi, perencanaan, pemilihan spesies yang akan ditanam, penanaman, pengelolaan serta monitoring, dan evaluasi secara partisipatif

Kedua, meningkatkan rasa kepemilikan terhadap upaya rehabilitasi lahan karena inisiatif ini melibatkan masyarat dan para pemangku kepentingan di tingkat lokal maka muncul rasa memiliki yang lebih kuat. Hal ini menjamin komitmen mereka untuk memastikan keberhasilan upaya tersebut.

Ketiga, kepastian hak kelola masyarakat. Dalam hal ini masyarakat didorong untuk melakukan penyusunan kebijakan tingkat lokal secara kolaboratif yang menjamin hak akses masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan (baik yang berfungsi sebagai kawasan konservasi seperti hutan lindung, taman nasional, cagar alam, maupun hutan produksi).
Ini merupakan insentif yang cukup menarik bagi masyarakat lokal sehingga bisa menumbuhkan komitmen jangka panjang mereka dalam upaya merehabilitasi lahan.
Masyarakat pun akan terlatih untuk mencoba membangun relasi dan bekerja sama dengan berbagai instansi dan jaringan kerja lainnya--yang terkait dengan program pelestarian lingkungan, misalnya Dinas Pertanian, PU Pengairan, Lingkungan Hidup, dan lainnya. Dengan demikian, masyarakat telah membentuk dirinya sebagai kampium lokal dalam melindungi aset-aset lingkungan yang dimilikinya.

Oleh Dadan Junaedi,Pikiran Rakyat, Senin 22 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger