Ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan lagi dalam diskusi ini yang akan jadi lebih mendasar. Pertama-tama adalah label alternatif itu sendiri. Apakah memang diperlukan sebuah media alternatif. Kedua, mempermasalahkan hidup mati sebuah media, yang menurut saya adalah tergantung pada pola operasional media itu sendiri.
Membahas permasalahan pertama yang mempertanyakan mengenai pentingnya sebuah media alternatif, untuk mudahnya kita bisa ambil pada contoh kasus Perang Teluk II yang masih cukup hangat disini, alasan saya, karena perang ini adalah sebuah perang imaji yang sangat mengandalkan peranan media. Pada dasarnya kita sudah cukup mengerti bahwa media massa akan selalu beroperasi sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang ada dibelakangnya, dan dalam hal ini adalah kepentingan para pemilik modal yang seringkali mengacu pada kekuasaan. Individu-individu yang selalu mengikuti jalannya perang melalui media-media massa, memiliki dua kemungkinan, bahwa ia akan merasa terhanyut oleh emosi spontan atas perang atau ia akan merasa bosan dan menyadari bahwa perang tersebut hanyalah sebuah tragedi yang memang biasa terjadi. (Hampir dari kita semua akan berpikir bahwa perang adalah sebuah kejadian yang kejam dan mengerikan, tapi begitu perang berakhir, tak seorangpun lagi yang akan berpikir soal perang).
Menyadari hal tersebut, sebaiknya kelompok-kelompok atau individu-individu yang tidak ingin proses seperti perang tersebut terjadi lagi di ruang dan waktu yang lain, mulai membentuk sebuah pertanyaan mendasar mengenai alasan terjadinya perang dan siapa yang berperan di dalamnya serta mempertanyakan posisi para spektator itu sendiri. Bahkan seandainya perang masih berlangsung, perlu tetap diadakan semacam pertemuan-pertemuan dalam bentuk-bentuk yang kecil untuk mempelajari bagaimana perang dan media hanyalah sebuah bentuk kebohongan belaka—karena penggunaan imaji-imaji perang yang direkatkan sehingga membentuk sebuah rasa emosional tertentu; pengisolasian even perang dari konteks historis; pembatasan perdebatan soal siapa yang berkepentingan dalam perang itu sendiri atas dasar sentimen agama; proses generalisasi (Saddam = Irak); pengeliminiran opsi (anti invasi Sekutu = pro-Saddam) dan lain sebagainya. Pengeksplorasian tersebut diharapkan akan dapat membantu meningkatnya penerbitan
tulisan, literatur atau wacana lain yang menganalisa peran media.
Mereka yang sangat naif, melihat distorsi media sebagai sebuah kesalahan teknis atau bias yang dapat diperbaiki apabila ada cukup audiens yang melayangkan surat komplain, atau mendorong individu-individu di posisi tertentu dalam industri media massa itu untuk digantikan oleh individu lain yang dianggap “berdedikasi”, “dapat bersikap obyektif” dan jujur dalam menyampaikan berita. Atau beberapa dari kubu yang naif ini juga banyak yang menyarankan agar media-media massa tersebut memperluas sudut pandang dalam tiap liputannya. Dalam titik radikalnya, kubu ini paling banter menyerukan untuk melakukan aksi massa untuk menuntut agar media massa lebih bersikap obyektif dan mewakili sudut pandang mereka.
Kubu lainnya, menyadari bahwa media massa memang dimiliki oleh kepentingan-kepentingan yang sama dengan kepentingan yang dibawa oleh negara dan sistem ekonominya. Dengan kata lain, bagi mereka bukanlah sesuatu yang mengejutkan apabila media massa merepresentasikan kepentingan tersebut, berkonsentrasi dalam menyaring informasi sesuai dengan kepentingan di balik media tersebut. Kubu ini membangun media alternatifnya sendiri dalam berbagai bentuknya, yang dilakukan secara kelompok maupun secara individual. Masalahnya media ini menganggap bahwa media massa memang telah bersalah memberikan liputan palsu sesuai dengan kepentingan yang ada di baliknya, tetapi mereka juga menganggap bahwa media merekalah yang paling benar alias paling obyektif dengan melupakan bahwa mereka sendiripun memiliki kepentingan lain di balik pembuatan media tersebut. Mereka berpura-pura bersikap obyektif, menolak subyektifitas dengan mempraktekkan subyektifitas. Kontribusi mereka justru tidak pernah berhasil
membantu melawan spectacle, melainkan turut memapankan spectacle itu sendiri dengan tidak mendorong individu lain untuk membangun mediasinya sendiri. Sisi lain dari mata uang yang sama. Maka seringkali informasi sensasional yang diliput oleh media alternatif maupun analisa-analisanya dalam masyarakat spectacle ini hanya membuat relevasinya tidak mengarah kemanapun selain kepada peningkatan depresi dan sinisme.
Sementara sebagian individu lainnya justru melabrak semua apatisme ini dengan mengadopsi metode manipulasi dalam propaganda dan pengiklanan. Sebuah film anti-perang, misalnya, secara umum berusaha untuk membawa efek yang kuat apabila ditayangkan tentang betapa horornya sebuah perang. Tapi hal semacam itu tampaknya juga kurang mengena lagi saat ini saat hal-hal tersebut justru menguntungkan bagi mereka yang mendukung perang—menariknya film anti-perang justru seringkali berujung menjadikan para spektator terdiam di depan layar. Emosi yang mendera para individu atas potongan-potongan imaji yang melintas cepat di hadapan para spektator hanya mengkonfirmasikan betapa kita semua sebenarnya tak berdaya sama sekali di hadapan sistem dunia yang tak mungkin teraih dalam kontrol kita. Spektator yang memperhatikan dalam tigapuluh detik, mungkin akan tersentak melihat bayi-bayi yang terkapar terbakar bom karpet, tetapi hal tersebut akan dapat dengan sangat cepat berganti menjadi kengerian
fasistik keesokan harinya saat ia melihat imaji lain yang sama mengejutkannya—katakanlah demonstran yang menginjak-injak gambar Megawati.
Mengesampingkan pesan-pesan radikal yang dibawa oleh media-media alternatif, mereka secara umum hanya mereproduksi sebuah hubungan antara spectacle dengan spektator. Intinya, untuk menghancurkan spectacle, kita semua harus menguburkan pola pikir bahwa media-media tersebut dapat merepresentasikan hidup kita—dengan kata lain, kita harus menantang di tingkat pertama semua media dan kondisi yang menyebabkan publik percaya bahwa ada obyektifitas dalam sebuah media dan hanya tinggal bagaimana memilih media tersebut. Hal yang berarti juga mempertanyakan organisasi-organisasi yang memproduksi media-media tersebut, yang telah menyebabkan individu-individu menjadi seorang spektator atas petualangan virtual. Dan terakhir, adalah mendorong terciptanya kondisi-kondisi yang memungkinkan tiap individu untuk memproduksi medianya sendiri, menciptakan petualangannya sendiri—bukan hanya dalam bentuk imaji.
*****
Membahas masalah hidup mati sebuah media, sebagaimana telah dipaparkan dalam paragraf pertama bahwa hal tersebut hanyalah permasalahan pola operasional sebuah media itu sendiri. Banyak media-media yang menganggap diri mereka media alternatif tetapi gagal menyadari perlunya juga pola alternatif dalam sisi operasional mereka. Sebuah media alternatif yang menganggap diri adalah sebuah alternatif lain dari media massa yang notabene ada dalam kekuasaan para pemilik modalnya, kebanyakan tetap mengikuti pola operasional yang diterapkan oleh media massa. Membuat alternatif lain bagi media ataupun bagi diri kita sendiri haruslah secara total atau setidaknya meminimalisir secara maksimal pola yang sama dengan pola yang digunakan oleh media massa atau hal tersebut hanya akan terjebak dalam level yang palsu. Seorang kawan pernah berkata bahwa banyak media alternatif yang akhirnya mati dikarenakan masalah pendanaan yang juga mati. Dan dia berkata bahwa sudah bukan saatnya bagi kita untuk
menawarkan alternatif tetapi pola kita tetap sama, alias bisnis adalah bisnis walaupun dengan label alternatif.
Sebagai contoh kecil, saya akan ambil dengan apa yang dilakukan oleh sebuah kelompok kecil yang bergerak di bidang media di Amerika Utara sana yang kini telah melebar dan tumbuh kelompok-kelompok sejenis secara sporadis di berbagai belahan dunia, bernama CrimethInc. Kelompok ini memproduksi medianya tidak secara berkala. Itu point pertama yang menjadi penting berkaitan dengan masalah pendanaan. Kedua, mereka mendapatkan hampir seluruh dana operasionalnya berupa donasi dari mereka para penerima media tersebut yang setuju dan mendukung kelompok tersebut dalam pola operasional maupun dalam tataran ide. Ketiga, ini yang paling menakjubkan, setidaknya bagi diri saya secara pribadi, adalah bahwa mereka mendistribusikan hampir sebagian terbesar medianya secara gratis.
Tanpa bermaksud mengikonkan CrimethInc., tapi apa yang mereka lakukan adalah membangun sebuah media yang dapat dikatakan sebuah alternatif, dengan cara yang juga alternatif. Dari pola operasionalnya dapat jelas sekali tampak, bahwa untuk menjadi sebuah alternatif lain dari apa yang ada, kita tak cukup hanya melakukannya dalam tataran imaji atau hanya dalam satu sisi saja, tetapi kita harus melakukannya semaksimal kita mampu untuk menuju sebuah totalitas. Menjadi alternatif hanya dalam tataran imaji adalah tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh MTV saat hampir semua media musik di televisi Indonesia menayangkan hal-hal yang itu-itu saja, apalagi spektator telah dibuat bosan dengan ideologi Pancasila yang dipaksakan bertahun-tahun sebelumnya—MTV menjadi sebuah jalur pelepasan. Tapi apakah MTV adalah sebuah alternatif? Jawabnya: ya, apabila kita melihatnya dalam tataran imaji. Apakah MTV memberikan sebuah makna alternatif terhadap hidup itu sendiri? Saya pikir jawabnya tidak,
karena apa yang dilakukan oleh MTV hanya memapankan status quo, mereka tetap membuat kita untuk tidak beranjak dan melihat pada hidup kita sendiri selain hanya untuk tetap menonton dan terus mengkonsumsi.
Menjadi media alternatif adalah menyadari sepenuhnya bagaimana media massa beroperasi semua aspek termasuk dalam tingkatan paling mendasar, seperti pola ekonominya, serta memberikan sebuah pola baru yang akan membuatnya menjadi benar-benar sebuah alternatif. Berusaha untuk melepaskan diri dari tatanan masyarakat spectacle ini. Ataukah membiarkan alternatif menjadi sekedar komoditi lain yang ditawarkan pada spektator yang mulai bosan dengan apa yang ada, untuk membuat mereka tetap menjadi seorang konsumer. Kalau pilihannya memang yang kedua, dimana media alternatif hanya mereproduksi hubungan antara spectacle dengan spektator, maka tidak salah apabila kawan saya berkata: “Sudahlah, kalau bisnis ya bilang aja bahwa itu memang bisnis.”
Catatan:
Tulisan ini dibawakan dalam diskusi tentang media di Common Room, Bandung bersama media On/Off tanggal 3 Mei 2003.
sumber: http://lists.indymedia.org/pipermail/imc-jakarta/2006-March/0324-0f.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar