oleh: Anonim
Belakangan ini persoalan komunikasi di media massa menjadi bahan pembicaraan. Dari kritik terhadap iklan yang dianggap kurang sesuai etika, tayangan pornografi dan/atau pornoaksi, hingga kekerasan yang merebak karena sering ditayangkan di televisi. Masih segar dalam ingatan, ketika pelaku mutilasi yang membuang korbannya di bus kota, mengaku bahwa ia mendapat inspirasi untuk melakukan mutilasi dari berita tentang Rian, dari televisi!
Lalu apa komentar para ahli. Pelaku media berkomentar, "Ini kan fenomena yang tidak terjadi secara luas. Pihak media selama ini sudah berusaha mengurangi tayangan kekerasan dengan mengubah format programnya." Ahli kriminolog ikut berkomentar, "Maraknya kasus mutilasi yang pertama kali muncul di Indonesia sejak tahun 1990-an ini dikarenakan efek peniruan (imitation effect). Dengan kata lain, pelaku meniru peristiwa sebelumnya yang dilakukan oleh pelaku lain. Peran media massa pun diyakini tidak urung berpengaruh dalam pola pikir pelaku kejahatan."
Dia mencontohkan, dalam pemberitaan, media massa kerap terlalu detail dalam memberitakan kasus mutilasi bahkan hingga reka ulang yang dilakukan oleh pelaku mutilasi yang tertangkap. Selain mendapat inspirasi dari teknik yang dilakukan pelaku sebelumnya, pemberitaan media massa turut mengajarkan pelaku baru untuk dapat belajar dari kesalahan menghilangkan jejak.
Pendidikan tinggi DKV, entah kenapa tidak sanggup bereaksi. Padahal mereka belajar tentang komunikasi visual. Tentu mereka bisa menjelaskan seberapa besar efek komunikasi visual melalui media massa seperti televisi itu mempengaruhi cara pandang masyarakat. Lebih penting lagi, bagaimana menangkalnya. Tapi coba kita tengok kurikulumnya? Ouuww... sayang sekali. Komunikasi visual yang kita bicarakan itu sudah tereduksi menjadi "Iklan".
Oke lah, tidak perlu yang berkaitan dengan tayangan berita kekerasan. Yang menyangkut iklan sajalah. Seberapa peka institusi pendidikan kita merespon fenomena iklan yang semakin merajalela saja, seolah tumbuh bebas tanpa kawalan? Siapa juga yang harusnya mengawal? PPPI?
Apa ini salah? Apa ini ngawur? Tidak relevan untuk dibicarakan? Atau, apa?
sumber: http://dkv-unpas.blogspot.com/2008/11/menyikapi-fenomena-komunikasi.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar