Media Kampanye, Media Massa Kalahkan Mesin Partai

Sabtu, 08 November 2008 00:00:00
Picture taken from http://bedzine.com/blog/category/bean-bag/

PEMILU 2009 diperkirakan berlangsung ketat. Bukan saja jumlah pesertanya bertambah signifikan ketimbang pemilu 2004, tapi masa kampanye yang panjang dipastikan menyedot energi dan sumber daya partai untuk memenangkan kompetisi. Dengan 46 partai nasional dan lokal (Aceh), hampir sama dengan pemilu pertama era reformasi (1999), pemilu 2009 menunjukkan gejala lain yang unik, yaitu banyak bakal calon presiden yang mulai mengajukan diri untuk bertarung. Jika dibandingkan dengan 2004, ketika calon presiden asal partai jumlahnya tidak terlalu banyak.

Kalangan purnawirawan TNI mencatat rekor capres terbanyak jika dibandingkan dengan musim pemilu sebelumnya. Incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), Wiranto (2004 Golkar, kini Partai Hanura), Prabowo Subijanto (Partai Gerindra), Sutiyoso (nonpartai), M Yasin (Pakar Pangan), dan Kivlan Zein (nonpartai).

Kalangan sipil tak kurang banyaknya. Hampir semua partai politik memiliki bakal capresnya. Jusuf Kalla, Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, Agung Laksono, Akbar Tandjung, dan Yuddy Chrisnandi (Golkar), Megawati Soekarnoputri (PDIP), Amien Rais atau Sutrisno Bachir (PAN), Gus Dur (PKB), Hidayat Nur Wahid (PKS), Rizal Ramli (PBR), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Meutia Hatta (PKPI), dan Rizal Mallarangeng, Fadjroel Rachman, dan Ratna Sarumpaet (Independen).

Jika kita ringkas, suasana menjelang pemilu legislatif lebih banyak diwarnai wacana bakal calon presiden karena figur dipercaya merupakan faktor paling berpengaruh dalam mengumpulkan suara. PDIP adalah pionirnya ketika semua partai belum berani bersuara siapa calon presiden yang akan diusung. Efeknya ternyata positif untuk mendongkrak awareness publik pada PDIP. Langkah itu tidak diikuti partai besar lain, seperti Golkar karena banyaknya calon di internal partai dan kecilnya popularitas ketua umum Jusuf Kalla jika diajukan sebagai capres. Suatu dilema yang sulit dipecahkan Partai Beringin.

Pilihan antara figur dan partai yang diutamakan dalam merebut suara pemilu legislatif masih menjadi perdebatan kunci bagi partai politik dalam menyusun strategi pemenang. Golkar, misalnya, sekalipun ketua umumnya tidak memiliki popularitas capres yang tinggi masih menikmati tingkat awarness yang paling tinggi di antara partai politik lainnya. Sebaliknya, PDIP yang punya figur populer sekelas Megawati harus puas berada di urutan kedua. Kasus Golkar dan PDIP adalah contoh yang baik untuk mengukur tingkat awarness publik pada partai dan tingkah elektibilitas partai yang bersangkutan.

Efektivitas media massa

Gejala lain yang menarik untuk disimak lebih lanjut adalah gencarnya iklan politik jauh-jauh hari sebelum laga dimulai. Penyebabnya bukan masa kampanye yang dikenalkan KPU sangat panjang, tapi juga kompetisi yang ketat mendorong elite untuk berlomba-lomba memompa tingkat kedikenalannya pada calon pemilih. Pilihannya tidak jatuh pada mesin organisasi partai, tapi media massa. Media massa adalah instrumen kampanye paling efektif dalam melakukan sosialisasi pada calon pemilih.

Media apa yang paling efektif? Mari kita lihat hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) September 2008 lalu. Dalam survei rutin yang digelar untuk melihat sejauh mana efek media pada partai politik, hasil LSI menunjukkan bahwa gencarnya iklan politik tidak selalu berdampak pada sentimen positif pemilih pada partai politik. Artinya, iklan politik boleh jalan terus dengan besar-besaran, tapi efek positifnya sulit diterka secara pasti sehingga betul-betul menguntungkan bagi partai politik sebagai pemasang iklan.

Televisi menempati urutan pertama yang dipilih politisi dan partai politik sebagai media kampanye. Memori publik lebih banyak dibentuk iklan politik lewat gambar-gambar menarik di televisi ketimbang media lain, seperti surat kabar dan radio, ataupun internet. Namun, kampanye alat peraga (nonmedia) terbukti lebih ampuh daripada radio dan surat kabar. Hanya selisih 10% antara memori publik tertinggi yang dibentuk iklan di televisi dan alat peraga. Jika dibandingkan dengan, misalnya, surat kabar dan radio yang di mana memori publik dibentuk kurang 15% saja. Jauh di bawah televisi dan alat peraga yang berkisar 40-50%.

Hasil tersebut semakin menunjukkan realitasnya belakangan ini. Pilihan pada televisi diambil Prabowo Subijanto dan Partai Gerindra sehingga hasilnya memperlihatkan memori publik pada iklan televisi dari tokoh dan partai tersebut merebut posisi paling tinggi. Gerindra berhasil mengalahkan partai-partai lama, seperti Golkar, PDIP, Partai Demokrat, bahkan partai baru Hanura yang dipimpin Wiranto (Grafik 1). Hal itu bertolak belakang dengan memori publik yang berhasil dibentuk Gerindra lewat surat kabar, radio, dan alat peraga. Surat kabar hanya menyumbang posisi ke-4 (9%), radio urutan ke-4 (4%), dan alat peragam pada urutan ke-7 (18%). Angka-angka itu kemudian mengerucut pada tingkat awareness publik pada Gerindra yang hanya mampu bertengger pada urutan ke-8, yaitu sebesar 44% (Grafik 5). Sekalipun di tempat ke-8, Gerindra hanya dikalahkan tujuh partai besar utama hasil pemilu 2004 dan berhasil mengungguli awarenes Partai Hanura dan partai-partai kecil lainnya. Sumbangan iklan televisi yang gencar dilakukan tampaknya terlihat nyata dalam urutan awareness ini.

Surat kabar, radio, dan alat peraga tampaknya dikuasai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat. Ketiganya berada di urutan tiga besar pertama sebagai partai politik yang berhasil menanamkan memori pemilih pada partainya. Angkanya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan televisi. Di surat kabar, misalnya, tiga partai nasionalis tersebut berbagi angka sama, yaitu 12%. Itu terjadi sama pada radio dengan angka yang lebih kecil, yaitu 5%. Hasil lebih baik pada media alat peraga ketika Golkar meraih memori pemilih terbesar, yaitu 40%. PDIP di urutan kedua dengan 39%. Hasil cukup baik dinikmati Partai Demokrat 30% dan PAN 29% pada urutan berikutnya. (Grafik 4)

Perbedaan besaran memori yang ditimbulkan iklan politik dari berbagai media dan alat peraga tersebut tidak otomatis berbanding lurus dengan awarness publik pada partai secara keseluruhan. Grafik lima memperlihatkan hal tersebut. Golkar dan PDIP yang 'kalah' di televisi tetap paling unggul pada akhirnya dengan angka masing-masing 76% dan 74%. Begitu juga dengan lima partai utama lainnya tetap masih berada di atas Gerindra sebagai 'pemain' televisi paling banyak.

Dari angka-angka yang kita perbincangkan sebelumnya, beberapa hal dapat didalami lebih lanjut dari hasil survei itu.

Pertama, mayoritas partai politik peserta pemilu 2009 adalah partai politik baru sehingga harus berjuang keras untuk dikenal publik. Namun, sayangnya mereka tidak melakukan sosialisasi secara sistematik, jika dilihat dari memori atau ingat tidak ingatnya pemilih atas berbagai iklan dan informasi yang disebarkan lewat media massa atau alat peraga. Jadi pada umumnya, mereka tidak dikenal pemilih. Sekalipun masa kampanye sudah berjalan lebih dari tiga bulan, sangat sedikit dari partai politik baru yang mampu melakukan sosialisasi agar betul-betul dapat dikenal publik. Hasilnya mengecewakan. Survei menunjukkan dua partai politik baru dari 13 partai politik yang paling dikenal publik dengan angka di atas 10%. Hanya Gerindra dan Hanura yang dapat masuk tiga belas besar tersebut. Gerindra bukan saja unggul atas Hanura yang sudah lebih dulu bergerak dengan angka sebesar 13%, tapi juga PBB, PBR, PDS, dan PDKB sebagai partai lama (Grafik 5).

Selebihnya merupakan sebagian besar partai yang tak dikenal publik. Mereka tidak mampu melakukan sosialisasi yang baik sehingga dampaknya sangat negatif bagi eksistensi mereka dalam pertarungan nanti. Sekalipun lolos dalam verifikasi, partai-partai baru itu tidak mampu juga menggerakkan mesin partai untuk melakukan sosialisasi dan penyebaran informasi sehingga keberadaan dan kepesertaan dalam pemilu hanya memperumit sistem kepartaian dan proses pelaksanaan pemilu.

Kedua, secara umum kampanye, iklan politik, atau sosialisasi partai politik belum banyak mengubah peta kekuatan partai. Penyebabnya karena tidak ada upaya sistematik untuk melakukan sosialisasi kecuali Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN. Pada Gerindra dan Demokrat, efek sosialisasi cukup jelas, tapi pada PAN dan partai-partai lain hal itu belum menjadi kenyataan. Peta itu tidak banyak berubah karena masih kuatnya dominasi tujuh partai utama dalam peringkat awareness publik (Grafik 5). Peta suara antara partai-partai nasionalis dan Islam juga tak bergeser jauh ketika partai nasionalis masih unggul hingga sekarang. Tidak ada perpindahan suara dari kedua belah kelompok.

Ketiga, dan ini yang terpenting, adalah mesin partai politik telah 'dikalahkan' media massa terutama televisi sebagai alat kampanye, sosialisasi, dan penyebaran informasi. Televisi adalah rajanya karena memiliki jangkauan paling luas bagi publik dalam memperoleh informasi. Televisi masuk hingga kamar-kamar tidur pemilih. Bagi pemilih, sekalipun ia dekat dengan partai politik tertentu, hal itu tidak membatasi dirinya untuk menonton iklan politik partai lain. Hanya pemanfaatan media massa sebagai alat yang paling efisien untuk kampanye tidak dilakukan secara maksimal oleh partai politik. Akibatnya, iklan politik yang gencar tidak selalu memperkuat sentimen positif pada partai politik. Jadi, ada semacam situasi yang 'tidak nyambung' antara citra partai yang dibangun melalui iklan dan citra ideal yang dimaui rakyat. Buktinya, masa tiga bulan lebih kampanye tak memberikan perubahan peta yang berarti kecuali Gerindra dan Hanura yang berhasil menyodok sebagai partai baru yang paling dikenal publik.

Lingkungan dan mode kompetisi telah berubah. Mesin partai kalah bersaing dengan media massa. Namun, mayoritas partai politik belum mau sepenuhnya beradaptasi dengan situasi dan tren baru itu. Padahal infrastruktur partai politik yang bertebaran hingga tingkat desa/kelurahan tak lebih hanya untuk pemenuhan administratif partai politik agar lolos menjadi peserta pemilu. Keberadaannya sama sekali tidak efektif dalam melakukan sosialisasi. Untuk itu, sekalipun mesin partai digunakan, fungsinya hanyalah komplementer dan tak akan mampu menyaingi efisiensi dan efektivitas media massa. Jika hal itu tak juga disadari elite politik, jangan salahkan media massa lebih dipilih rakyat sebagai alat penyampai aspirasi utama mereka nanti, bukan partai politik.

(Marbawi A Katon)

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger