Kritisnya Rehabilitasi Lahan Kritis

Perambahan hutan salah satu wilayah di Lembang (Foto: Ahmad D. Junaedi)

"...kemarin kita rakyat Indonesia kehilangan kacang kedelai, bahkan kita sempat kehilangan pesawat, saudara-saudara..." Suara lantang itu terdengar keluar dari mulut Bambang Sudjatmiko yang mantan narapidana politik jaman Orde Baru itu. "Itu semua karena banjir! Jadi saudara-saudara, kalau memilih pemimpin... pilihlah pemimpin yang bisa menangani banjir! Dengan pemimpin yang bisa menangani banjir, berarti bisa mengatasi masalah hilangnya kedelai, bisa mengatasi masalah pesawat hilang karena pilotnya terhalang banjir…"lanjut Bambang diringi tepuk tangan dan gelak tawa hadirin. Begitulah teriakkan Bambang Sudjatmiko saat dinobatkan menjadi juru kampanye dadakan oleh Tukul Arwana di acara ternama sebuah televisi swasta.


Menyinggung masalah banjir dan masalah kepemimpinan seperti yang diungkapkan diatas, dari dua dekade pemerintahan terakhir, kita merasakan semakin seringnya terjadi bencana ekologi, tidak hanya baik banjir namun kekeringan, maupun tanah longsor, yang telah menelan begitu banyak korban harta maupun manusia. Bencana ekologi tersebut juga telah menghadirkan begitu meluasnya kemiskinan dan penurunan kualitas kesehatan masyarakat di tingkat lokal. Hal ini memunculkan pertanyaan bagi kita, apakah pemerintahan mempunyai keberpihakan terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi rakyat? Bagaimana sikap dan kebijakan pemerintah terhadap penanganan lingkungan saat ini?



Degradasi Lahan dan Kebijakan Pemerintah
Sudah kita ketahui bersama, kondisi sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia saat ini dalam keadaan yang memprihatinkan. Erosi tanah mengakibatkan pencemaran dan pendangkalan sungai, waduk serta perairan terjadi di seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Bila melihat laju degradasi hutan di Indonesia sepuluh tahun terakhir, sangat memprihatinkan mencapai hingga 1,6 hutan Ha/tahun.
Seperti yang kita ketahui, salah satu fungsi hutan adalah menjaga keseimbangan hidro-orologis. Hutan berperan menaikkan laju resapan air ke dalam tanah sehingga mengurangi konsentrasi aliran air dan risiko banjir dapat diminimalisasi, walaupun terjadi banjir tidak terjadi banjir bandang. Kenaikan laju infiltrasi menyebabkan peningkatan cadangan air tanah di sekitar hutan, yang nantinya dikeluarkan pada musim kemarau sebagai mata air. Jadi secara umum, hutan berfungsi untuk stabilisasi dan optimalisasi aliran air, bukan menambah air (Soemarwoto, 1992).
Sayangnya yang terjadi sekarang degradasi lahan terus terjadi. Di Jawa Barat saja, dari total luas kawasan hutan Jabar, yang luasnya mencapai 22,5 persen dari daratan, diperkirakan hanya tinggal 10 persen luas daratan yang masih berupa hutan. Selebihnya hanya berupa tanah kosong yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai hutan. Jumlah lahan kritis di Provinsi Jawa Barat tercatat seluas 601.557 hektare. Dari jumlah tersebut terbagi dalam kerusakan di lahan hutan konservasi seluas 21.335 ha, kerusakan di hutan lindung 27.689 ha, lahan hutan produksi 112.614 ha, dan hutan rakyat 439.919 ha (Pikiran Rakyat, Selasa, 14 Oktober 2007). Tanda-tanda degradasi lahan di Jawa Barat sangat kentara. Tanda-tanda adanya degradasi, adalah dengan makin menyusutnya sumber air di permukaan tanah dan sumber air di bawah tanah, baik secara kuantitas mau pun kualitas.

Perubahan fungsi lahan dari kawasan resapan air menjadi kawasan permukiman, juga memberi dampak yang sangat luas, yang akhirnya menimbulkan bencana bagi masyarakat setempat. Dengan kondisi seperti itu, tidak ada jalan lain selain mengerahkan segala daya untuk segera bertindak nyata mencegah dan memulihkan kerusakan lingkungan hidup di bumi ini. Bahkan pasca krisis moneter didaerah-daerah pinggiran hutan terdorong untuk melakukan perluasan lahan-lahan perkebunan. Sehingga seringkali terjadi perambahan hutan oleh masyarakat sekitarnya. Ditambah oleh usaha kehutanan dan hutan tanaman dari pemerintah pusat, yang membagi habis kawasan hutan lindung.

Hal diatas diiringi semakin tidak terkendalinya pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten-kota, dalam mengelola tata lingkungannya. Bila menilik masalah lingkungan yang terjadi di Jawa Barat merupakan akibat dari perencanaan dan pengelolaan tata ruang dan lahan yang tidak tepat, kondisinya memberikan gambaran yang negatif dan terus mengalami degradasi di berbagai sektor. Hal tersebut karena tidak adanya lagi otoritas gubernur untuk ikut mengendalikan tata ruang, masing-masing walikota atau bupati punya otoritas baru.
Sehingga pemerintah daerah leluasa memberikan perijinan kepada para pengembang, tanpa pernah mengindahkan dampak ekologi yang akan timbul dari pemberian ijin. Semua terjadi dengan dan atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan atas nama pertumbuhan ekonomi di daerah, banyak sekali ruang terbuka hijau yang sebenarnya ruang publik dan hak masyarakat, dirampas dan direduksi menjadi fungsi-fungsi ekonomi. Bahkan kebijakan ini semakin diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2008, tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Sehingga kemungkinan hutan semakin dieksploitasi semakin terbuka lebar. Ada apa ini?! Apakah hasil dari eksploitasi hutan yang akan diterima sebanding dengan resiko bencana ekologi?

Padahal sudah jelas, dampak dari kerusakan hutan dan lahan menyebabkan terjadinya banjir dimusim hujan. Berbagai kerugian dialami seperti rusaknya areal pertanian dan sarana prasarana berupa jalan, jembatan serta perumahan penduduk yang nilainya miliaran rupiah. Bencana banjir dan tanah longsor juga menimbulkan korban jiwa dan dampak lain yaitu menyebarnya berbagai penyakit. Dimusim kemarau, rakyat mengalami kekeringan yang mengakibatkan penderitaan masyarakat. Kekurangan sumber air dimana-mana, sehingga pertanian tidak berjalan dengan semestinya. Kawasan dengan fungsi lindung, dibangun dan diolah tanpa mengikuti kaidah sistem pengolahan lahan yang tepat. Kalau keadaan ini berlanjut terus setiap tahun, dapat dibayangkan betapa akan merosotnya kondisi lingkungan. Kerugian yang besar akan dialami oleh bangsa dan negara.

Menurut Dadang Sudardja—aktivis lingkungan dari WALHI Jabar, tingkat dan akselerasi kerusakan lingkungan saat ini telah lebih jauh berubah menjadi masalah sosial yang pelik. Aktifitas pembangunan saat ini telah menimbulkan masalah-masalah sosial seperti mengabaikan hak-hak rakyat atas kekayaan alam, marjinalisasi, dan pemiskinan. Permasalahan lingkungan hidup juga bukan masalah yang berdiri sendiri dan harus dipandang sebagai masalah sosial kolektif (http://satudunia.oneworld.net, 05 Februari 2008). Dan ini sebetulnya adalah tuntutan dari International Convenant on Economic, Social and Cultural Right Tahun 2002 mengenai hak-hak dasar manusia dan kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya..

Kritisnya Rehabilitasi Lahan Kritis
Dalam kondisi lahan di Jawa Barat yang kritis ini, kita masih bisa sedikit bernafas lega dengan adanya program-program pemerintah yangmenyelenggarakan rehabilitasi lahan kritis. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat menyatakan bahwa tingkat keberhasilan dari program rehabilitasi lahan seperti Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL di Jawa Barat dari tahun 2003 – 2006 adalah sekitar 63%. Berlawanan dengan Namun sayang, praktek dilapangan kita masih harus mengusap dada. Dari beberapa pantauan penulis, semisal program Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan) atau Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), menurut pengakuan Eson, salah satu ketua kelompok petani Mekarsari Desa Mekarwangi-Lembang, keberhasilan program tersebut di desanya hanya 3% saja. Hal ini disebabkan bantuan yang datang selalu salah mangsa. Dimana bibit yang ditanam menghadapi musim kemarau, sehingga perlu ekstra perhatian dalam penyiramannya. Namun hal itu tidak didukung dana yang memadai dari pemerintah termasuk telatnya pencairan dana. Bahkan bibitnya yang diterima kwalitasnya sangat buruk dan secara kwantitas yang ada tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

Dalam pengadaan bibit, tidak diusahakan untuk melakukan pembibitan oleh masyarakat diwilayah sasaran. Pemerintah masih melakukan pembibitan dan pengadaan bibit sendiri tanpa mengindahkan kebutuhan dan keinginan warga di wilayah sasaran program rehabilitasi. Sehingga bibit yang ditanam tidak sesuai dengan kondisi wilayahnya. Proses penanamannya pun seakan-akan tanpa pengawasan jelas dan tidak adanya proses pendampingan dahulu dalam upaya penyadaran terhadap kepedulian lingkungan.

Tingginya anggaran rehabilitasi lahan, semisal Gerhan tidak sebanding dengan pencapaian penanganan lahan kritis. Lahan kritis di Jabar mencapai 580.397 hektare (ha). Target GRLK selama lima tahun (2003-2008) seluas 338.005 ha. Padahal anggaran Gerhan 2007 sebesar Rp 200 miliar ditambah dana GRLK Rp 25 miliar serta pada tahun 2008 dana Gerhan dikabarkan akan naik menjadi tiga kali lipat. Namun lahan yang berhasil direhabilitasi hingga kini baru setengahnya. Lahan kritis belum terehabilitasi seluas 389.171 ha, yaitu di kawasan hutan negara 94.295 ha, perkebunan 19.682 ha, dan lahan masyarakat seluas 275.194 ha. (Republika, Kamis, 21 Februari 2008).

Menyikapi program-program rehabilitasi lahan, Deni Jasmara, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, dalam kesempatan Diskusi Media yang diselenggarakan K3A dan ESP USAID pada tanggal 24 Februari 2008 merekomendasi perlunya evaluasi program-program regabilitasi lahan kritis seperti GRLK maupun Gerhan secara menyeluruh dengan audit oleh Auditor Publik—bukan Bawasda atau BPK, transparan, menghadirkan pengawas independent serta pelibatan masyarakat sepenuh hati. “Jika rekomendasi ini tidak dilakukan lebih baik stop!“ tegasnya. Menurutnya pula, inti kegagalan Gerhan disebabkan beberapa hal seperti indikasi korupsi, lahan fiktif, tanaman tidak terawat, bibit mati, pengurangan bibit, penunjukkan langsung dalam tender pengadaan bibit, dan kehilangan lahan.

Pemerintah sudah sepenuh hati untuk percaya terhadap masyarakat dalam melakukan pengelolaan lingkungannya. Sehingga mampu membangkitkan sistem kelola sumberdaya alam berbasis komunitas lokal yang telah terbukti memiliki kearifan terhadap alam dan lingkungan kehidupannya Dengan begitu akan lahir bangkit dorongan bagi masyarakat untuk menghasilkan inovasi dan kreatifitas komunitas-komunitas lokal menjadi tumbuh berkembang seiring dengan adanya pemerintahan yang dipercaya. Mekanisme kontrol, akuntabilitas dan transparansi pun diharapkan hadir dengan adanya pemerintah yang memiliki visi tegas dalam memperjuangkan nasib rakyat di masa mendatang. Pemerintah sebagai pelayan publik wajib mempunyai visi terhadap lingkungan hidup sebagai bentuk sikap keberpihakan terhadap kelompok marginal dan pengupayaan pendidikan dan kesehatan berkualitas dan murah bagi rakyat.

Oleh : Dadan Junaedi, Penulis adalah Koordinator Eksekutif Yayasan Kriyamedia Komunika, serta aktif dalam bidang kampanye untuk kesehatan publik dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger