Mau Buang Sampah Kemana (lagi)?!

Permasalahan mengenai pengelolaan sampah merupakan persoalan nasional. Persolan ini hampir terjadi diseluruh daerah di Indonesia, khususnya kota-kota besar dan daerah yang berbasis industri. Kerap terjadi rumitnya penanganan permasalahan pengelolaan sampah, sebagai contoh yang terjadi dengan pengelolaan sampah ibukota Jakarta. Pengelolaan sampah ibukota mendapat tantangan dari masyarakat Bojong merupakan implikasi dari buruknya pengelolaan sebelumnya sehingga masyarakat tidak mau mengambil resiko wilayahnya menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dari sampah Jakarta. Kekhawatiran masyarakat tersebut dapat dipahami dan sangat rasional bahwa siapapun tidak ingin rumah dan lingkungannya kotor, kumuh dan bau.

Seperti halnya Ibukota Negara, persoalan sampah di kota Bandung hingga saat belumlah menemukan titik temu untuk mendapatkan solusi yang lebih baik. Pengelolaan sampah konvensional yang memanfaatkan kemiringan topographi yang kemudian dilakukan landfill kedalam cekungan menjadi sangat tergantung pada penyediaan TPA. Dan sistem ini melahirkan persoalan—apalagi setelah tragedi TPA Leuwigajah, banyak warga masyarakat yang menolak dengan kehadiran TPA baru ataupun pengaktifan kembali TPA diwilayahnya.

Tidak adanya TPA, dipastikan, sampah akan menumpuk kembali. Bagaimana tidak? Bandung yang berpenduduk 2,5 juta jiwa diasumsikan menghasilkan timbulan sampah 2,4 Liter/kapita/ hari. Sehingga total timbulan sampah kota Bandung 2,5 juta x 2,4 Liter = 6.000 m3/hari. Sedangkan volume sampah terangkut hanya 3.200 m3/hari. Bahkan pada tahun 2005 pasca tragedi TPA Leuwigajah terjadi, sekitar 3.500 meter kubik sampah menumpuk setiap hari tanpa ada kepastian kapan dibersihkan.

Kegagalan dalam pengelolaan sampah berimbas pada menurunnya kualitas kesehatan warga masyarakat, merusak estetika kota, dan dalam jangka panjang dapat mempengaruhi arus investor ke daerah.

Bahkan menurut ahli kesehatan, polusi sampah.mengakibatkan dampak buruk yaitu pertama, terhadap kesehatan. Hal ini bisa mengakibatkan meningkatnya penyakit "gastroenteritis" (infeksi saluran pencernaan; kolera, tifus, disentri, dll.) karena vektor pembawa penyakit "gastroenteritis", terutama lalat, kecoa, meningkat akibat sampah yang menggunung, khususnya di TPA, meningkatnya penyakit DHF (demam berdarah), dsb. Kedua, terhadap lingkungan. Sampah menimbulkan bau busuk yang diakibatkan adanya proses dekomposisi yang menghasilkan gas, seperti H2S, NH3, dan CH4. Kemudian menurunnya kualitas udara karena debu, asap, dan gas akibat proses pembakaran sampah.
Ini pun lama-kelamaan bisa mencemari sumber air permukaan tanah. Ketiga, bagi ekonomi. Menurunnya gairah kerja pada tenaga produktif karena angka kesakitan meningkat, kenyamanan, dan ketenteraman menurun. Terhambatnya laju transportasi barang dan jasa karena pengelolaan sampah yang tidak baik, sehingga lalu lintas mengalami kemacetan. Pemasukan devisa menurun karena menurunnya kunjungan akibat polusi sampah. Keempat, pengaruh sosial. Lingkungan yang kurang baik karena bau busuk dan sampah yang berserakan merupakan cerminan keadaan budaya masyarakat yang buruk. (Sampah & Ancaman Bagi Lingkungan dan Kesehatan, Budi Imansyah S., Pikiran Rakyat, Senin, 15 Mei 2006)

Akhir-akhir ini pihak pemerintah kota (pemkot) Bandung menawarkan solusi dengan cara incinerator melalui proyek PLSTA-nya, yaitu bisa menghasilkan energi listrik. Namun lagi-lagi banyak pihak juga yang keberatan dengan cara tersebut. Kelompok ini khawatir terhadap dampak lingkungan dan kesehatan kedepannya.

Sinergitas dalam Penanganan Sampah
Banyak kalangan menilai Pemkot Bandung ataupun Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung bahkan masyarakat pada umumnya berparadigma pada cara membuang sampah. Sehingga yang terjadi penanganan sampah selalu berorientasi pada waste and dump (limbah dan buang). Akibatnya persoalan selalu berkutat pada pencarian TPA pengganti.

Padahal sudah lama banyak kelompok masyarakat ataupun LSM melakukan sosialisasi dan pengembangan sistem pengurangan ketergantungan pada tempat pembuangan akhir dengan pengelolaan sampah yang berorientasi pada pengolahan. Mereka melakukan gerakan moral untuk mengajak masyarakat peduli akan sampah. Salah satunya, menanamkan paradigma pemilahan antara sampah organik dan anorganik kepada masyarakat. Dengan proses pemilahan, sampah dari rumah tangga berpotensi besar diolah atau didaur ulang. Sampah organik yang berupa dedaunan, sayuran, dan makanan dapat diolah menjadi kompos. Sementara itu, sampah anorganik seperti kertas, kaleng, plastik, dan kayu dapat dimanfaatkan oleh pemulung atau menjadi bahan daur ulang untuk industri pulp dan minuman kemasan. Kelompok-kelompok masyarakat ini menyadari benar bahwa sampah adalah beban bersama. Sehingga persoalan sampah di kota Bandung sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus dari semua pihak yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat.

Melihat hal diatas, pemkot Bandung sudah sangat diringankan beban pekerjaannya. Pemerintah diharapkan untuk mereplikasi bentuk-bentuk kelompok pengolah sampah ini di semua wilayah baik itu tingkat RW maupun tingkat Kelurahan. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Daerah Kota Bandung No. 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan Kota Bandung. Namun persoalannya adalah bagaimana pemkot mengaplikasikan perda ini dilapangan.

Diperlukan sinergi pada proses pengolahan sampah. Pertama, adalah penanganan sampah di sumber-sumber penghasil sampah, seperti permukiman penduduk, perkantoran, hotel, restoran pasar dan lainnya. Setidaknya, penanganan awal pada sumber ini dilakukan pemilahan bahkan di titik-titik penghasil sampah tertentu dilakukan pengolahan mandiri. Pemerintah kota bisa saja mengeluarkan perda yang mewajibkan sumber-sumber penghasil sampah untuk memilah sampahnya.

Kedua, melakukan penanganan secara komunal. Pengolahan komunal sebagai transfer station-nya sampah yang berasal dari berbagai sumber. Kegiatannya pun bisa difungsikan sebagai fasilitas daur-ulang atau pengolahan lain. Ditingkat ini, bisa dilakukan oleh swadaya masyarakat. Hal ini sudah dilakukan dibeberapa tempat seperti di Kelurahan Cibangkong RW 11 dengan melakukan pengolahan sampah secara komunal. Tempat pengolahan sampah komunal ini menghasilkan pupuk kompos. Lalu dari mana dana untuk operasional pengolahan sampah komunal ini? Sebetulnya masyarakat sudah mengeluarkan restribusi untuk sampah cukup besar. Dari mulai restribusi tingkat RW hingga untuk PD Kebersihan (yang kini pun pemungutan restribusi diserahkan pada kepengurusan RW). Sehingga memungkin dana-dana masyarakat ini dipergunakan bagi pengolahan sampah ditingkat komunal.

Ketiga adalah penanganan sampah ditingkat kota. Seperti pelayanan kebersihan di ruang-ruang publik, jalan protokol, tempat umum, kaki-lima, dsb. Pada tingkat kota ini, pengangkutan sampah kota secara menyeluruh ke lokasi daur-ulang/pengolahan atau ke TPA. Hal ini dapat dikelola oleh pihak pemerintah kota. Dengan pelaksaan penanganan ini secara paralel maka penerapan pendekatan reduce, reuse dan recycle (3 R) dari hulu hingga hilir terlaksana. Setidaknya proses pengurangan sampah terjadi. Kalau tidak, mau kemana lagi kita membuang sampah?

Oleh : Dadan Junaedi. Penulis adalah Koordinator Eksekutif Yayasan Kriyamedia Komunika. Serta aktif dalam bidang kampanye untuk kesehatan publik.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger