Media dan Advokasi Publik: Agenda Baru Jurnalisme (Bencana)

Anang Hermawan**

Ketika gempa tiba-tiba mengguncang Jogja dan sekitarnya, serentak media dari seluruh dunia memberitakannya. Masifnya pemberitaan bencana tersebut menjadi salah satu faktor penentu mengapa pada saat itu publik beramai-ramai tergerak hatinya memberikan bantuan. Dari sudut pandang jurnalistik, tentu bukan saja karena besaran peristiwa gempa itu saja yang menjadikan bencana tersebut menarik untuk diliput. Sadar atau tidak sadar, liputan tentang bencana telah turut serta membangkitkan kesadaran dan pemahaman tentang nasib bersama manusia.

Sembilan bulan berlalu, seiring munculnya bencana-bencana di lain tempat dan bertimbunnya pelbagai persoalan baru yang melanda negeri ini, nampaknya kita perlu sekali lagi bercermin dengan realitas yang terjadi di Jogja. Saat ini jika kita berjalan-jalan dan mencermati kembali wilayah-wilayah bencana, kita masih akan menemukan bahwa masih terdapat banyak persoalan yang bisa dikatakan serius. Namun pada aras itu, nampaknya intensitas pemberitaannya makin terdesak ke belakang. Isu-isu yang sebetulnya tak kalah krusial segera digantikan oleh isu-isu lain yang boleh jadi tidak kalah seksi, gampang diburu, dan tidak memerlukan mekanisme serius untuk menampilkannya di media.

Barangkali tidak terlalu menjadi masalah alias masuk akal jika media nasional kurang lagi tertarik lagi dengan bencana Jogja. Media massa nasional lazimnya memang ibarat kutu loncat yang suka berpindah daun, di mana ada daun muda muda yang lezat dan segar, di situlah mereka makan. Sementara untuk hal itu, negeri ini seakan tak pernah kehabisan stok. Bencana demi bencana terus berlangsung di berbagai tempat dan lebih menarik perhatian mereka. Akan halnya dengan media lokal yang seharusnya berbicara dalam konteks yang lebih spesifik, semestinya bertanggung jawab untuk meneruskan liputan itu. Hal ini tentu dilandasi dengan satu itikad baik bahwa media lokal mempunyai sewajarnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar di dalam menyusun agenda masyarakat setempat dibandingkan dengan media massa nasional.

Taruhlah misalnya perihal bantuan program bantuan yang masih menyimpan persoalan, bagaimana dengan nasib kaum difabel, korupsi, pungutan liar dan lain-lain. Intinya, terdapat banyak poin yang layak mendapat tempat untuk tetap diberitakan secara berkesinambungan. Media lokal selayaknya mampu tetap berperan sebagai watch dog bagi upaya-upaya pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan elemen masyarakat.
Dari sisi liputan, media sekarang ini nerada dalam peliputan fase pascabencana (Iwan Awaluddin Yusuf: 2006). Persoalannya adalah sejauh mana pemberitaan pasca bencana ini benar-benar mampu dibuat semenarik mungin tanpa harus kehilangan momentum advokasi. Media dihadapkan pada pekerjaan pelik dan tiap kali memerlukan sikap reflektif yang kritis. Diperlukan bukan hanya atensi khusus serta kepekaan di tengah-tengah isu yang nampaknya remeh temeh tetapi berskala luas. Persoalannya adalah bahwa acapkali media ini terjebak dalam permainan atensi itu.

Media harus pula bisa berperan menyelenggarakan dialog dan debat publik. Ruang-ruang yang tersedia di setiap halaman koran atau jam tayang radio dan televisi adalah panggung terbuka itu. Panggung terbuka hanya bisa tegak berdiri pada saat media secara aktif memberikan informasi yang berkesinambungan sehingga apa yang menjadi agenda media pun dapat benar-benar dapat menjadi agenda masyarakat. Media memberi ruang terbuka bagi publik untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah sekaligus menjadi arena representasi kegelisahan masyarakat secara umum, karena lazimnya apa yang diprogramkan oleh negara dan pemerintah pada praktiknya berbeda dengan realitas yang berlangsung di masyarakat.

Informasi dalam ruang representasi media ibarat informasi yang bekerja dalam arena yang penuh persaingan di mana masing-masing aktor ingin berebut perhatian. Tentu wajar jika dinamika yang berlangsung didalamnya bukan hanya sekadar beradu siapa yang paling keras keras suaranya, tetapi juga beradu apa dan siapa yang paling menarik. Dari sini masyarakat akan menilai kepada siapa media berpihak, apakah pada kontestan yang bernama states apparatus atau pada kontestan yang bernama grass root. Tentu tidak mudah untuk menterjemahkan rumusan ini ke dalam praktik, karena kerja media juga diikat dengan kaidah-kaidah profesional yang harus dijaga dan dipegang teguh. Iklim pers yang relatif bebas sekarang ini sesungguhnya memberi peluang bagi media untuk memberikan kontribusi itu.

Di tengah situasi pasca bencana yang dihadapi para korban dan kerabatnya, dan juga juga miskoneksi di balik kehadiran kebijakan pemerintah dengan persepsi publik, media tentu memiliki peran kemanusiaan yang sangat diharapkan. Dalam catatan Amiruddin (“Media dalam Liputan Bencana”, Suara Merdeka, 26 Januari 2007), media setidaknya dapat berperan memberikan kontribusi liputan bencana berdasarkan lima prinsip rujukan. Pertama, prinsip akurasi. Akurasi menjadi sangat penting dalam pemberitaan. Seorang jurnalis perlu berperan sebagai seorang peneliti yang mengidentifikasi setiap data yang diperoleh dan akurat. Dalam konteks ini, pemilihan sumber berita menjadi sangat penting karena di sini berlaku adagium bahwa kecepatan informasi sesungguhnya bermula dari kecepatan dalam memilih narasumber.

Kedua, berlaku pula prinsip pemberitaan harus memperhatikan aspek manusia (human elements). Proses jurnalisme dituntut sanggup mengungkapkan suatu peristiwa dari dua sisi; cerita tentang manusia serta situasi atau konteks yang melingkunginya. Dalam prinsip ini, konsep perlindungan terhadap korban, kerabat, dan publik tentunya harus menjadi poin yang patut diperhatikan. Ketiga, dalam liputan trauma pascabencana berlaku pula prinsip suara korban. Media selayaknya mampu mengungkapkan harapan, keluhan, keinginan, dan rasa sedih para korban. Pada aras ini, menjadi sebuah alternatif menarik jika pemberian ruang editorial lebih banyak diberikan untuk untuk kepentingan itu. Ruang editorial menjadi wujud pembelaan terhadap para korban, dan tentunya tidak salah jika porsi ini ditempatkan lebih besar daripada porsi kepentingan ekonomi, politik, dan primordialisme yang justru bisa mengacaukan situasi dalam upaya recovery.

Keempat, jurnalisme bencana selayaknya mampu meletakkan peristiwa traumatik bencana ke dalam perspektif (kemanusiaan) yang lebih luas melalui pemberitaan. Di dalam liputannya, jurnalis tidak sekadar menempatkan dii sebagai pengumpul fakta yang tiba-tiba terkejut sekaligus bangga dengan temuannya lantas menjadikannya sebagai satuan-satuan berita. Menjadi suatu kewajaran jika jurnalis seharusnya memikirkan bagaimana teknik pencarian dan pengolahan berita yang dapat memberikan bingkai kemanusiaan. Dalam konteks ini patut mendapat perhatian tersendiri jika sentuhan kebudayaan setempat perlu dikedepankan di dalam pemberitaan sehingga perasaan para korban tidak akan tersakiti.

Kelima, jurnalis perlu mengungkapkan sisi lain dari peristiwa traumatik bencana atau sisi lain dari persoalan-persoalan yang berlangsung di seputar recovery yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Ada banyak hal yang dapat diungkap berupa kejadian atau informasi-informasi ikutan baik sifatnya berat atau ringan. Hal ini berguna untuk memberikan kelengkapan cerita, sehingga sebuah peliputan tidak kering dan melulu berbau hard news. Seringkali publik sangat membutuhkan cerita-cerita ikutan itu, disamping bahwa mereka membutuhkan membutuhkan kejelasan tentang informasi dan nilai-nilai yang dapat menjadi rujukan dalam bersikap dan bertindak. Maka model pemberitaan in depth report atau investigative report menjadi pilihan bagus untuk dapat menerjemahkan advokasi terhadap korban bencana.

Menjadikan kelima prinsip tersebut sebagai pijakan dalam peliputan bencana nampaknya dapat menjadi sebuah alternatif untuk membangun model peliputan yang pas untuk beragam bentuk bencana. Mudah-mudahan tidak terlalu berlebihan jika suatu saat nanti jurnalisme bencana dapat menjadi sebuah tren baru yang layak dipersandingkan dengan tren-tren jurnalisme yang telah ada semacam jurnalisme empati, jurnalisme advokasi, jurnalisme damai, jurnalisme lingkungan dan lain-lain. Wallahu a’lam bisshowab

*****

* Artikel dimuat di harian BERNAS JOGJA edisi Kamis, 22 Februari 2007
** Staf pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger