Penyelenggaraan Pemilihan Ketua RW Layaknya “PILGUB

Pesta Demokrasi Lokal di Tamasari RW 05 ini sangat menarik, dimana Panitia Pemilihan RW 05 ini begitu serius melakukan tugasnya dari penggarapan calon hingga proses pemilihan dikelola begitu sempurna layaknya PESTA DEMOKRASI Nasional… Hal ini patut ditiru oleh semua pihak bahkan… KPU?? Berikut laporannya, dikutip dari Buletin Lokal “OPINI WARGA” RW 05 TAMANSARI........



Penyelenggaraan Pemilihan Ketua RW Layaknya “PILGUB"

Paradigma baru dalam perubahan sistem dan mekanisme pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia tampaknya telah mengakar pula pada pemilihan kepala pemerintahan di level mikro (baca:ketua RW). Seperti yang terjadi di lingkungan RW 05 Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan. Dalam upaya memilih ketua RW yang baru, layaknya pesta demokrasi telah berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut dengan aman dan tertib tanpa ada tindakan yang mencoreng kesakralan pesta demokrasi tersebut.

Bahkan sesaat setelah acara penghitungan suara berakhir dengan terpilihnya Bapak Nano Kahono, mantan Ketua RW 05 yang lama yaitu Bapak Maman Sulaeman langsung memberikan ucapan selamat dengan hangat. Ini suatu fenomena yang positif. Apalagi menurut salah seorang warga, pesta demokrasi di RW 05 yang baru usai, seakan menjadi ajang silaturahmi warga dari kalangan muda dan tua yang selama ini seakan hilang.

Tanggapan positif yang dilontarkan warga seiring harapan positif untuk kelangsungan kehidupan kema-syarakatan di lingkungan RW 05 Kelurahan Tamansari. Selain dihadiri warga yang berduyun ke TPS dan menyaksikan acara penghitungan suara, Bapak Lurah Tamansari hadir pula menyaksikan, juga pihak media televisi lokal seperti STV Bandung turut meliput pesta demokrasi. Walhasil, pesta demokrasi usai, dan harapan warga RW 05 menjadi spirit bagi pengurus baru.

Ada hal menarik yang dapat kita ambil contoh dari pesta demokrasi di lingkungan RW 05 Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan, yaitu pola kerja panitia yang didominasi anak-anak muda/remaja seakan memberi warna dalam pengelolaan pesta demokrasi tersebut. Berawal kerja dari pengumpulan /penjaringan bakal calon yang selanjutnya menjadi calon. Partisipasi masyarakat RW 05 begitu antusias untuk menetapkan jagoan pilihannya. Hingga panitia menetapkan calon yang berjumlah tiga orang yaitu Bapak Nano Kahono (RT 01), Bapak Hanafiah (RT 07) dan Bapak Endang Kurnia (RT 07).

Minggu, tanggal 29 Juni 2008, adalah hari dimulainya pencoblosan. Lokasi TPS yang bertempat di Jalan Kebon Bibit Utara II RT 05 sejak pagi hari telah semarak dengan nuansa pesta demokrasi. Warga yang akan menyalurkan aspirasinya mulai berdatangan pukul 08.00. Sambil menunjukkan surat panggilan, warga diberikan surat suara untuk dilakukan pencoblosan suara.

Usai menentukan pilihannya, warga memasukkan surat suara pada kotak suara yang telah disediakan. Hingga pukul 13.00 penyampaian aspirasi diakhiri. Tahap berikutnya mulai penghitungan suara dengan hasil suara sebagai berikut; 278 suara untuk Bapak Nano Kahono, 95 suara untuk Bapak Hanafiah, 90 suara untuk Bapak Endang Kurnia. Usai penghitungan suara sontak suara tepuk tangan warga bergemuruh menyambut kemenangan bagi Bapak Nano Kahono. Ucapan selamat pun mengalir dari para warga. Adapun total suara yang masuk sebanyak 475 suara dengan rincian 463 suara sah, tidak sah sebanyak 8 suara, dan abstain 4 suara.
Layaknya sebuah pesta demokrasi, pemilihan Ketua RW 05 Kel. Tamansari Kec. Bandung Wetan juga lengkapi dengan perangkat pemantau sebanyak dua orang yaitu Sdr. Achmad Murjani dan Sdr. Tri Agusta. Selain itu tiga orang saksi yaitu Bapak Entang (RT 04), Bapak Dadang (RT 05), dan Bapak Acin (RT 04).

Harapan seluruh warga RW 05 yaitu dengan adanya kepengurusan baru, diharapkan ada perubahan ke arah yang lebih baik, demi terciptanya masyarakat yang madani. SEMOGA. DUNIS art design

Menyikapi Fenomena Komunikasi Belakangan Ini

oleh: Anonim

Belakangan ini persoalan komunikasi di media massa menjadi bahan pembicaraan. Dari kritik terhadap iklan yang dianggap kurang sesuai etika, tayangan pornografi dan/atau pornoaksi, hingga kekerasan yang merebak karena sering ditayangkan di televisi. Masih segar dalam ingatan, ketika pelaku mutilasi yang membuang korbannya di bus kota, mengaku bahwa ia mendapat inspirasi untuk melakukan mutilasi dari berita tentang Rian, dari televisi!

Lalu apa komentar para ahli. Pelaku media berkomentar, "Ini kan fenomena yang tidak terjadi secara luas. Pihak media selama ini sudah berusaha mengurangi tayangan kekerasan dengan mengubah format programnya." Ahli kriminolog ikut berkomentar, "Maraknya kasus mutilasi yang pertama kali muncul di Indonesia sejak tahun 1990-an ini dikarenakan efek peniruan (imitation effect). Dengan kata lain, pelaku meniru peristiwa sebelumnya yang dilakukan oleh pelaku lain. Peran media massa pun diyakini tidak urung berpengaruh dalam pola pikir pelaku kejahatan."

Dia mencontohkan, dalam pemberitaan, media massa kerap terlalu detail dalam memberitakan kasus mutilasi bahkan hingga reka ulang yang dilakukan oleh pelaku mutilasi yang tertangkap. Selain mendapat inspirasi dari teknik yang dilakukan pelaku sebelumnya, pemberitaan media massa turut mengajarkan pelaku baru untuk dapat belajar dari kesalahan menghilangkan jejak.

Pendidikan tinggi DKV, entah kenapa tidak sanggup bereaksi. Padahal mereka belajar tentang komunikasi visual. Tentu mereka bisa menjelaskan seberapa besar efek komunikasi visual melalui media massa seperti televisi itu mempengaruhi cara pandang masyarakat. Lebih penting lagi, bagaimana menangkalnya. Tapi coba kita tengok kurikulumnya? Ouuww... sayang sekali. Komunikasi visual yang kita bicarakan itu sudah tereduksi menjadi "Iklan".

Oke lah, tidak perlu yang berkaitan dengan tayangan berita kekerasan. Yang menyangkut iklan sajalah. Seberapa peka institusi pendidikan kita merespon fenomena iklan yang semakin merajalela saja, seolah tumbuh bebas tanpa kawalan? Siapa juga yang harusnya mengawal? PPPI?

Apa ini salah? Apa ini ngawur? Tidak relevan untuk dibicarakan? Atau, apa?

sumber: http://dkv-unpas.blogspot.com/2008/11/menyikapi-fenomena-komunikasi.html

MEDIA PENYIARAN SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF

Oleh : Drs. R. Sulaiman


I. Peranan Radio Sebagai Media Komunikasi Pembangunan
Radio sebagai salah satu media massa memiliki fungsi tertentu dalam proses
pembangunan. Secara umum, fungsi tersebut adalah memberikan informasi,
pendidikan dan hiburan kepada masyarakat. Menurut Lasswell (1948) fungsi
media massa termasuk radio dikatakan mencakup fungsi pengawasan (surveillance),
pertalian bagian -bagian masyarakat dalam memberikan respon terhadap
lingkungannya (correlation) dan transmisi warisan budaya (transmission of culture).
Selain tiga fungsi tersebut Wright (1960) menambahkan satu lagi yakni hiburan
(entertainment). Dengan adanya berbagai fungsi yang dimiliki, sebagai salah satu
media massa radio diharapkan mampu berperan dalam proses pembangunan.
Pada waktu lalu beberapa pakar komunikasi berpendapat bahwa radio
memiliki peran penting dalam pembangunan. Radio dianggap mampu berperan
sebagai kekuatan pengganda atau magic multipliers yang mampu mengubah
anggota masyarakat menjadi pribadi-pribadi yang mobile. Menurut Pye (1967) radio
sebagai salah satu media massa juga diharapkan mampu berperan sebagai pengawas
umum (inspector general) bagi kebijaksanaan dan tindakan pemerintah. Dalam
masyarakat yang sedang membangun, informasi dianggap mampu memainkan tiga
macam peranan, yaitu untuk mengawasi dan melaporkan kembali (the watchman
role), membantu dalam memutuskan kebijaksanaan, mengarahkan dan mengatur
(the policy role) dan mendidik anggota-anggota baru dalam masyarakat membawa
dan membekali mereka dengan keahlian dan kepercayaan yang sesuai dengan
masyarakat tersebut (the teacher role)
Hal tersebut diatas secara empiris dibuktikan oleh hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa komunikasi massa mampu menciptakan suatu iklim bagi
perubahan dengan cara memperkenalkan nilai-nilai baru dan membantu
masyarakat dalam menemukan norma-norma baru dan kesenangan dalam periode
transisi (Schram, 1964).
Untuk memberikan gambaran lebih jelas lagi sejauhmana media massa
berperan dalam proses pembangunan dapat ditelusuri dalam kerangka modelmodel
komunikasi pembangunan berikut ini.

II. Model Komunikasi Pembangunan
Ketika berbicara peran media asa (radio) dalam pemberdayaan masyarakat,
maka dapat dilihat dalam paradigma pendekatan komunikasi dalam proses
pembangunan. Menurut Srinivas R. Melkote (1991) ada 3 model komunikasi yang
bisa dijadikan rujukan dalam melihat peran media massa dalam proses
pembangunan itu, yaitu:
g 2 e

1. Pendekatan Efek Komunikasi
Inilah model awal tentang efek media massa, dinyatakan bahwa efek media
massa bersifat langsung, kuat (power full) dan seragam terhadap sasarannya. Model
ini dikenal dengan nama The Bullet Theory atau dengan lain. The Hypodermic
Needle. Lasswell, Shanon dan Weaver, Berlo, Schram dsb adalah pakar komunikasi
model ini. Di dalam model seperti ini, komunikasi berjalan linier dan satu arah
dari sumber yang kuat kepada khalayak yang pasif.
Terlepas dari kritik yang muncul dalam model komunikasi ini, paling tidak
didapat gambaran bahwa media massa (radio) mempunyai pengaruh atas khalayak
sasarannya. Schram (1964) mengatakan media massa sebagai “bridge to a wider
world”.
Laksmana Rao (1963) dalam kajian klasiknya menyatakan media massa
merupakan penggerak utama dalam proses pembangunan. Kesimpulan ini didapat
setelah ia melakukan penelitian eksperimental terhadap dua desa di India. Rao
memilih desa Kathooru yakni sebuah desa yang akan dikembangkan menjadi desa
modern dan desa Pathooru sebuah desa yang terisolasi dan dibiarkan tetap berada
dalam budaya dan nilai-nilai tradisionalnya.
Di desa Kathooru dibuka jalan baru yang menghubungkan desa dengan
pusat kota terdekat sebagai awal proses modernisasi. Dengan adanya jalan tersebut
membuka jalan bagi datangnya kaum pendatang, ide-ide baru(inovasi) dan
masuknya media massa ke dalam kehidupan masyarakat desa. Pada sisi lain telah
memungkinkan masyarakat desa berkunjung ke pusat kota. Akibat dari semua itu
telah membuka cakrawala pandangan masyarakat desa Kathooru. Mereka tidak
hanya siap berubah tetapi mereka menginginkan perubahan itu. Berbeda dengan
masyarakat desa Pathooru perubahan ide dan model-model perilaku yang
tradisional tetap bertahan.

2. Pendekatan Difusi Inovasi
Model ini masih berkaitan dengan model efek media massa. Bagaimana
kemampuan pesan media massa dan pemuka pendapat (opinion leader) yang
menciptakan pengetahuan tentang ide dan praktek-praktek kehidupan baru
(inovasi) dapat mempengaruhi agar khalayak sasarannya bersedia mengadopsinya.
Model ini dipercayai sebagai jalur penting pembangunan individu dari
tradisional menjadi individu yang modern dengan menerima dan mempraktekkan
ide-ide baru yang berasal dari sumber eksternal ke dalam sistem sosial mereka.
Evert Rogers (1971), perintis model ini mengidentifikasi elemen -elemen
difusi dengan menyatakan inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang
dianggap baru oleh seseorang dan dikomunikasikan melalui saluran tertentu
kepada anggota sistem sosial dalam jangka waktu tertentu.

sumber : Radio Mahasiswa Politeknik PPKP Yogyakarta
[Alamat ] >> Studio Jl. Kaliurang Km 4.5 Gg. Kinanthi Yogyakarta 55281 [E- mail ] >>gshfm@eudoramail.com
[Homepage] >>http:// www.geocities.com/RadioGSHfm

HIDUP MATI MEDIA ALTERNATIF

Ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan lagi dalam diskusi ini yang akan jadi lebih mendasar. Pertama-tama adalah label alternatif itu sendiri. Apakah memang diperlukan sebuah media alternatif. Kedua, mempermasalahkan hidup mati sebuah media, yang menurut saya adalah tergantung pada pola operasional media itu sendiri.

Membahas permasalahan pertama yang mempertanyakan mengenai pentingnya sebuah media alternatif, untuk mudahnya kita bisa ambil pada contoh kasus Perang Teluk II yang masih cukup hangat disini, alasan saya, karena perang ini adalah sebuah perang imaji yang sangat mengandalkan peranan media. Pada dasarnya kita sudah cukup mengerti bahwa media massa akan selalu beroperasi sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang ada dibelakangnya, dan dalam hal ini adalah kepentingan para pemilik modal yang seringkali mengacu pada kekuasaan. Individu-individu yang selalu mengikuti jalannya perang melalui media-media massa, memiliki dua kemungkinan, bahwa ia akan merasa terhanyut oleh emosi spontan atas perang atau ia akan merasa bosan dan menyadari bahwa perang tersebut hanyalah sebuah tragedi yang memang biasa terjadi. (Hampir dari kita semua akan berpikir bahwa perang adalah sebuah kejadian yang kejam dan mengerikan, tapi begitu perang berakhir, tak seorangpun lagi yang akan berpikir soal perang).
Menyadari hal tersebut, sebaiknya kelompok-kelompok atau individu-individu yang tidak ingin proses seperti perang tersebut terjadi lagi di ruang dan waktu yang lain, mulai membentuk sebuah pertanyaan mendasar mengenai alasan terjadinya perang dan siapa yang berperan di dalamnya serta mempertanyakan posisi para spektator itu sendiri. Bahkan seandainya perang masih berlangsung, perlu tetap diadakan semacam pertemuan-pertemuan dalam bentuk-bentuk yang kecil untuk mempelajari bagaimana perang dan media hanyalah sebuah bentuk kebohongan belaka—karena penggunaan imaji-imaji perang yang direkatkan sehingga membentuk sebuah rasa emosional tertentu; pengisolasian even perang dari konteks historis; pembatasan perdebatan soal siapa yang berkepentingan dalam perang itu sendiri atas dasar sentimen agama; proses generalisasi (Saddam = Irak); pengeliminiran opsi (anti invasi Sekutu = pro-Saddam) dan lain sebagainya. Pengeksplorasian tersebut diharapkan akan dapat membantu meningkatnya penerbitan
tulisan, literatur atau wacana lain yang menganalisa peran media.

Mereka yang sangat naif, melihat distorsi media sebagai sebuah kesalahan teknis atau bias yang dapat diperbaiki apabila ada cukup audiens yang melayangkan surat komplain, atau mendorong individu-individu di posisi tertentu dalam industri media massa itu untuk digantikan oleh individu lain yang dianggap “berdedikasi”, “dapat bersikap obyektif” dan jujur dalam menyampaikan berita. Atau beberapa dari kubu yang naif ini juga banyak yang menyarankan agar media-media massa tersebut memperluas sudut pandang dalam tiap liputannya. Dalam titik radikalnya, kubu ini paling banter menyerukan untuk melakukan aksi massa untuk menuntut agar media massa lebih bersikap obyektif dan mewakili sudut pandang mereka.

Kubu lainnya, menyadari bahwa media massa memang dimiliki oleh kepentingan-kepentingan yang sama dengan kepentingan yang dibawa oleh negara dan sistem ekonominya. Dengan kata lain, bagi mereka bukanlah sesuatu yang mengejutkan apabila media massa merepresentasikan kepentingan tersebut, berkonsentrasi dalam menyaring informasi sesuai dengan kepentingan di balik media tersebut. Kubu ini membangun media alternatifnya sendiri dalam berbagai bentuknya, yang dilakukan secara kelompok maupun secara individual. Masalahnya media ini menganggap bahwa media massa memang telah bersalah memberikan liputan palsu sesuai dengan kepentingan yang ada di baliknya, tetapi mereka juga menganggap bahwa media merekalah yang paling benar alias paling obyektif dengan melupakan bahwa mereka sendiripun memiliki kepentingan lain di balik pembuatan media tersebut. Mereka berpura-pura bersikap obyektif, menolak subyektifitas dengan mempraktekkan subyektifitas. Kontribusi mereka justru tidak pernah berhasil
membantu melawan spectacle, melainkan turut memapankan spectacle itu sendiri dengan tidak mendorong individu lain untuk membangun mediasinya sendiri. Sisi lain dari mata uang yang sama. Maka seringkali informasi sensasional yang diliput oleh media alternatif maupun analisa-analisanya dalam masyarakat spectacle ini hanya membuat relevasinya tidak mengarah kemanapun selain kepada peningkatan depresi dan sinisme.

Sementara sebagian individu lainnya justru melabrak semua apatisme ini dengan mengadopsi metode manipulasi dalam propaganda dan pengiklanan. Sebuah film anti-perang, misalnya, secara umum berusaha untuk membawa efek yang kuat apabila ditayangkan tentang betapa horornya sebuah perang. Tapi hal semacam itu tampaknya juga kurang mengena lagi saat ini saat hal-hal tersebut justru menguntungkan bagi mereka yang mendukung perang—menariknya film anti-perang justru seringkali berujung menjadikan para spektator terdiam di depan layar. Emosi yang mendera para individu atas potongan-potongan imaji yang melintas cepat di hadapan para spektator hanya mengkonfirmasikan betapa kita semua sebenarnya tak berdaya sama sekali di hadapan sistem dunia yang tak mungkin teraih dalam kontrol kita. Spektator yang memperhatikan dalam tigapuluh detik, mungkin akan tersentak melihat bayi-bayi yang terkapar terbakar bom karpet, tetapi hal tersebut akan dapat dengan sangat cepat berganti menjadi kengerian
fasistik keesokan harinya saat ia melihat imaji lain yang sama mengejutkannya—katakanlah demonstran yang menginjak-injak gambar Megawati.

Mengesampingkan pesan-pesan radikal yang dibawa oleh media-media alternatif, mereka secara umum hanya mereproduksi sebuah hubungan antara spectacle dengan spektator. Intinya, untuk menghancurkan spectacle, kita semua harus menguburkan pola pikir bahwa media-media tersebut dapat merepresentasikan hidup kita—dengan kata lain, kita harus menantang di tingkat pertama semua media dan kondisi yang menyebabkan publik percaya bahwa ada obyektifitas dalam sebuah media dan hanya tinggal bagaimana memilih media tersebut. Hal yang berarti juga mempertanyakan organisasi-organisasi yang memproduksi media-media tersebut, yang telah menyebabkan individu-individu menjadi seorang spektator atas petualangan virtual. Dan terakhir, adalah mendorong terciptanya kondisi-kondisi yang memungkinkan tiap individu untuk memproduksi medianya sendiri, menciptakan petualangannya sendiri—bukan hanya dalam bentuk imaji.


*****

Membahas masalah hidup mati sebuah media, sebagaimana telah dipaparkan dalam paragraf pertama bahwa hal tersebut hanyalah permasalahan pola operasional sebuah media itu sendiri. Banyak media-media yang menganggap diri mereka media alternatif tetapi gagal menyadari perlunya juga pola alternatif dalam sisi operasional mereka. Sebuah media alternatif yang menganggap diri adalah sebuah alternatif lain dari media massa yang notabene ada dalam kekuasaan para pemilik modalnya, kebanyakan tetap mengikuti pola operasional yang diterapkan oleh media massa. Membuat alternatif lain bagi media ataupun bagi diri kita sendiri haruslah secara total atau setidaknya meminimalisir secara maksimal pola yang sama dengan pola yang digunakan oleh media massa atau hal tersebut hanya akan terjebak dalam level yang palsu. Seorang kawan pernah berkata bahwa banyak media alternatif yang akhirnya mati dikarenakan masalah pendanaan yang juga mati. Dan dia berkata bahwa sudah bukan saatnya bagi kita untuk
menawarkan alternatif tetapi pola kita tetap sama, alias bisnis adalah bisnis walaupun dengan label alternatif.

Sebagai contoh kecil, saya akan ambil dengan apa yang dilakukan oleh sebuah kelompok kecil yang bergerak di bidang media di Amerika Utara sana yang kini telah melebar dan tumbuh kelompok-kelompok sejenis secara sporadis di berbagai belahan dunia, bernama CrimethInc. Kelompok ini memproduksi medianya tidak secara berkala. Itu point pertama yang menjadi penting berkaitan dengan masalah pendanaan. Kedua, mereka mendapatkan hampir seluruh dana operasionalnya berupa donasi dari mereka para penerima media tersebut yang setuju dan mendukung kelompok tersebut dalam pola operasional maupun dalam tataran ide. Ketiga, ini yang paling menakjubkan, setidaknya bagi diri saya secara pribadi, adalah bahwa mereka mendistribusikan hampir sebagian terbesar medianya secara gratis.

Tanpa bermaksud mengikonkan CrimethInc., tapi apa yang mereka lakukan adalah membangun sebuah media yang dapat dikatakan sebuah alternatif, dengan cara yang juga alternatif. Dari pola operasionalnya dapat jelas sekali tampak, bahwa untuk menjadi sebuah alternatif lain dari apa yang ada, kita tak cukup hanya melakukannya dalam tataran imaji atau hanya dalam satu sisi saja, tetapi kita harus melakukannya semaksimal kita mampu untuk menuju sebuah totalitas. Menjadi alternatif hanya dalam tataran imaji adalah tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh MTV saat hampir semua media musik di televisi Indonesia menayangkan hal-hal yang itu-itu saja, apalagi spektator telah dibuat bosan dengan ideologi Pancasila yang dipaksakan bertahun-tahun sebelumnya—MTV menjadi sebuah jalur pelepasan. Tapi apakah MTV adalah sebuah alternatif? Jawabnya: ya, apabila kita melihatnya dalam tataran imaji. Apakah MTV memberikan sebuah makna alternatif terhadap hidup itu sendiri? Saya pikir jawabnya tidak,
karena apa yang dilakukan oleh MTV hanya memapankan status quo, mereka tetap membuat kita untuk tidak beranjak dan melihat pada hidup kita sendiri selain hanya untuk tetap menonton dan terus mengkonsumsi.

Menjadi media alternatif adalah menyadari sepenuhnya bagaimana media massa beroperasi semua aspek termasuk dalam tingkatan paling mendasar, seperti pola ekonominya, serta memberikan sebuah pola baru yang akan membuatnya menjadi benar-benar sebuah alternatif. Berusaha untuk melepaskan diri dari tatanan masyarakat spectacle ini. Ataukah membiarkan alternatif menjadi sekedar komoditi lain yang ditawarkan pada spektator yang mulai bosan dengan apa yang ada, untuk membuat mereka tetap menjadi seorang konsumer. Kalau pilihannya memang yang kedua, dimana media alternatif hanya mereproduksi hubungan antara spectacle dengan spektator, maka tidak salah apabila kawan saya berkata: “Sudahlah, kalau bisnis ya bilang aja bahwa itu memang bisnis.”


Catatan:
Tulisan ini dibawakan dalam diskusi tentang media di Common Room, Bandung bersama media On/Off tanggal 3 Mei 2003.

sumber: http://lists.indymedia.org/pipermail/imc-jakarta/2006-March/0324-0f.html

Media dan Advokasi Publik: Agenda Baru Jurnalisme (Bencana)

Anang Hermawan**

Ketika gempa tiba-tiba mengguncang Jogja dan sekitarnya, serentak media dari seluruh dunia memberitakannya. Masifnya pemberitaan bencana tersebut menjadi salah satu faktor penentu mengapa pada saat itu publik beramai-ramai tergerak hatinya memberikan bantuan. Dari sudut pandang jurnalistik, tentu bukan saja karena besaran peristiwa gempa itu saja yang menjadikan bencana tersebut menarik untuk diliput. Sadar atau tidak sadar, liputan tentang bencana telah turut serta membangkitkan kesadaran dan pemahaman tentang nasib bersama manusia.

Sembilan bulan berlalu, seiring munculnya bencana-bencana di lain tempat dan bertimbunnya pelbagai persoalan baru yang melanda negeri ini, nampaknya kita perlu sekali lagi bercermin dengan realitas yang terjadi di Jogja. Saat ini jika kita berjalan-jalan dan mencermati kembali wilayah-wilayah bencana, kita masih akan menemukan bahwa masih terdapat banyak persoalan yang bisa dikatakan serius. Namun pada aras itu, nampaknya intensitas pemberitaannya makin terdesak ke belakang. Isu-isu yang sebetulnya tak kalah krusial segera digantikan oleh isu-isu lain yang boleh jadi tidak kalah seksi, gampang diburu, dan tidak memerlukan mekanisme serius untuk menampilkannya di media.

Barangkali tidak terlalu menjadi masalah alias masuk akal jika media nasional kurang lagi tertarik lagi dengan bencana Jogja. Media massa nasional lazimnya memang ibarat kutu loncat yang suka berpindah daun, di mana ada daun muda muda yang lezat dan segar, di situlah mereka makan. Sementara untuk hal itu, negeri ini seakan tak pernah kehabisan stok. Bencana demi bencana terus berlangsung di berbagai tempat dan lebih menarik perhatian mereka. Akan halnya dengan media lokal yang seharusnya berbicara dalam konteks yang lebih spesifik, semestinya bertanggung jawab untuk meneruskan liputan itu. Hal ini tentu dilandasi dengan satu itikad baik bahwa media lokal mempunyai sewajarnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar di dalam menyusun agenda masyarakat setempat dibandingkan dengan media massa nasional.

Taruhlah misalnya perihal bantuan program bantuan yang masih menyimpan persoalan, bagaimana dengan nasib kaum difabel, korupsi, pungutan liar dan lain-lain. Intinya, terdapat banyak poin yang layak mendapat tempat untuk tetap diberitakan secara berkesinambungan. Media lokal selayaknya mampu tetap berperan sebagai watch dog bagi upaya-upaya pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan elemen masyarakat.
Dari sisi liputan, media sekarang ini nerada dalam peliputan fase pascabencana (Iwan Awaluddin Yusuf: 2006). Persoalannya adalah sejauh mana pemberitaan pasca bencana ini benar-benar mampu dibuat semenarik mungin tanpa harus kehilangan momentum advokasi. Media dihadapkan pada pekerjaan pelik dan tiap kali memerlukan sikap reflektif yang kritis. Diperlukan bukan hanya atensi khusus serta kepekaan di tengah-tengah isu yang nampaknya remeh temeh tetapi berskala luas. Persoalannya adalah bahwa acapkali media ini terjebak dalam permainan atensi itu.

Media harus pula bisa berperan menyelenggarakan dialog dan debat publik. Ruang-ruang yang tersedia di setiap halaman koran atau jam tayang radio dan televisi adalah panggung terbuka itu. Panggung terbuka hanya bisa tegak berdiri pada saat media secara aktif memberikan informasi yang berkesinambungan sehingga apa yang menjadi agenda media pun dapat benar-benar dapat menjadi agenda masyarakat. Media memberi ruang terbuka bagi publik untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah sekaligus menjadi arena representasi kegelisahan masyarakat secara umum, karena lazimnya apa yang diprogramkan oleh negara dan pemerintah pada praktiknya berbeda dengan realitas yang berlangsung di masyarakat.

Informasi dalam ruang representasi media ibarat informasi yang bekerja dalam arena yang penuh persaingan di mana masing-masing aktor ingin berebut perhatian. Tentu wajar jika dinamika yang berlangsung didalamnya bukan hanya sekadar beradu siapa yang paling keras keras suaranya, tetapi juga beradu apa dan siapa yang paling menarik. Dari sini masyarakat akan menilai kepada siapa media berpihak, apakah pada kontestan yang bernama states apparatus atau pada kontestan yang bernama grass root. Tentu tidak mudah untuk menterjemahkan rumusan ini ke dalam praktik, karena kerja media juga diikat dengan kaidah-kaidah profesional yang harus dijaga dan dipegang teguh. Iklim pers yang relatif bebas sekarang ini sesungguhnya memberi peluang bagi media untuk memberikan kontribusi itu.

Di tengah situasi pasca bencana yang dihadapi para korban dan kerabatnya, dan juga juga miskoneksi di balik kehadiran kebijakan pemerintah dengan persepsi publik, media tentu memiliki peran kemanusiaan yang sangat diharapkan. Dalam catatan Amiruddin (“Media dalam Liputan Bencana”, Suara Merdeka, 26 Januari 2007), media setidaknya dapat berperan memberikan kontribusi liputan bencana berdasarkan lima prinsip rujukan. Pertama, prinsip akurasi. Akurasi menjadi sangat penting dalam pemberitaan. Seorang jurnalis perlu berperan sebagai seorang peneliti yang mengidentifikasi setiap data yang diperoleh dan akurat. Dalam konteks ini, pemilihan sumber berita menjadi sangat penting karena di sini berlaku adagium bahwa kecepatan informasi sesungguhnya bermula dari kecepatan dalam memilih narasumber.

Kedua, berlaku pula prinsip pemberitaan harus memperhatikan aspek manusia (human elements). Proses jurnalisme dituntut sanggup mengungkapkan suatu peristiwa dari dua sisi; cerita tentang manusia serta situasi atau konteks yang melingkunginya. Dalam prinsip ini, konsep perlindungan terhadap korban, kerabat, dan publik tentunya harus menjadi poin yang patut diperhatikan. Ketiga, dalam liputan trauma pascabencana berlaku pula prinsip suara korban. Media selayaknya mampu mengungkapkan harapan, keluhan, keinginan, dan rasa sedih para korban. Pada aras ini, menjadi sebuah alternatif menarik jika pemberian ruang editorial lebih banyak diberikan untuk untuk kepentingan itu. Ruang editorial menjadi wujud pembelaan terhadap para korban, dan tentunya tidak salah jika porsi ini ditempatkan lebih besar daripada porsi kepentingan ekonomi, politik, dan primordialisme yang justru bisa mengacaukan situasi dalam upaya recovery.

Keempat, jurnalisme bencana selayaknya mampu meletakkan peristiwa traumatik bencana ke dalam perspektif (kemanusiaan) yang lebih luas melalui pemberitaan. Di dalam liputannya, jurnalis tidak sekadar menempatkan dii sebagai pengumpul fakta yang tiba-tiba terkejut sekaligus bangga dengan temuannya lantas menjadikannya sebagai satuan-satuan berita. Menjadi suatu kewajaran jika jurnalis seharusnya memikirkan bagaimana teknik pencarian dan pengolahan berita yang dapat memberikan bingkai kemanusiaan. Dalam konteks ini patut mendapat perhatian tersendiri jika sentuhan kebudayaan setempat perlu dikedepankan di dalam pemberitaan sehingga perasaan para korban tidak akan tersakiti.

Kelima, jurnalis perlu mengungkapkan sisi lain dari peristiwa traumatik bencana atau sisi lain dari persoalan-persoalan yang berlangsung di seputar recovery yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Ada banyak hal yang dapat diungkap berupa kejadian atau informasi-informasi ikutan baik sifatnya berat atau ringan. Hal ini berguna untuk memberikan kelengkapan cerita, sehingga sebuah peliputan tidak kering dan melulu berbau hard news. Seringkali publik sangat membutuhkan cerita-cerita ikutan itu, disamping bahwa mereka membutuhkan membutuhkan kejelasan tentang informasi dan nilai-nilai yang dapat menjadi rujukan dalam bersikap dan bertindak. Maka model pemberitaan in depth report atau investigative report menjadi pilihan bagus untuk dapat menerjemahkan advokasi terhadap korban bencana.

Menjadikan kelima prinsip tersebut sebagai pijakan dalam peliputan bencana nampaknya dapat menjadi sebuah alternatif untuk membangun model peliputan yang pas untuk beragam bentuk bencana. Mudah-mudahan tidak terlalu berlebihan jika suatu saat nanti jurnalisme bencana dapat menjadi sebuah tren baru yang layak dipersandingkan dengan tren-tren jurnalisme yang telah ada semacam jurnalisme empati, jurnalisme advokasi, jurnalisme damai, jurnalisme lingkungan dan lain-lain. Wallahu a’lam bisshowab

*****

* Artikel dimuat di harian BERNAS JOGJA edisi Kamis, 22 Februari 2007
** Staf pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta

MEDIA PENYIARAN KOMUNITAS: MENGAPA DAN APA

OLEH : Zainal A.Suryokusumo
Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia

“ TEKNOLOGI KOMUNIKASI membuat lebih banyak orang terhubung secara elektronik, dan teknologi inipun berjanji akan mempersatukan kita. Tapi yang terjadi, justru memisahkan kita. Teknologi komunikasi merubah orientasi secara radikal. Kebenaran dan moralitas yang dulu kita lihat sebagai petunjuk, kini dianggap tidak berguna. Dengan keterhubungan elektronik itu, saban hari kita dibombardir dengan kekerasan, mimpi-mimpi kosong, gossip, tahayul dan gaya hidup diluar jangkauan kebanyakan orang. Semua itu dilakukan secara membabi buta, demi mencari keuntungan lebih besar. Kita telah kehilangan kontrol, sementara jurang antara kita semakin lebar. “

Adopsi dari novel: Angels & Demons; Dan Brown.

I. NATURE DARI KOMUNIKASI :


COMMUNICARE – bahasa Latin – to share – BERBAGI
UNSUR KESETARAAN;
LEWAT PROSES KOMUNIKASI, MANUSIA MENJADI LEBIH TAHU UNTUK BERTINGKAH LAKU, BERSIKAP, DAN BERBUAT SEHINGGA HIDUP MENJADI LEBIH SEJAHTERA.

II. MENGAPA PENYIARAN KOMUNI-TAS ?

SEJAK 15 TH TERAKHIR, MARAK BERKEMBANG DISCOURSE IHWAL MEDIA KOMUNITAS/PENYIARAN KOMUNITAS DAN GERAKAN MENDORONG PELAHIRAN MEDIA ALTERNATIF TSB. TENAGA PENDORONGNYA ADALAH:


SISTEM MEDIA DIDOMINASI OLEH MEDIA KOMERSIAL;
KONGLOMERASI INSTITUSI MEDIA;
INSTITUSI MEDIA TAK LAGI MEREPRESENTASIKAN DIRI SEBAGAI INSTITUSI PUBLIK. AKIBAT IKUTAN FENOMENA ITU ADALAH;
TERDAPAT KELOMPOK BE-SAR PUBLIK TAK TERLAYANI KEBUTUHAN INFORMASINYA.
KETIDAK ADILAN DALAM DISEMINASI INFORMASI

MENDUKUNG WACANA/GERAKAN TSB:
 LAHIR HASIL RISET & BUKU/KARYA TULIS, DARI SEJUMLAH SKOLAR, ANTARA LAIN:


ALAN O’CONNOR – 1990 – Perkembangan Radio Komunitas di Bolivia.
NORMA FAY GREEN – karya tentang publikasi berjudul “Street Wise” , terbit di Chicago;
CLEMENCIA RODRIGUES – 2001 – studi kasus internasional mengenai pengembangan “Citizens Media” ; & terbaru
KEVIN HOWLEY – 2005 – Community Media; People, places & Communication Technologies.

 GFMD; Amman,Jordan Conference 1 – 3 October 2005.

II. GERANGAN APAKAH MEDIA/PENYIARAN KOMUNITAS TERDAPAT DUA VERSI:

VERSI ILMU KOMUNIKASI: LAYAKNYA ILMU SOSIAL, TERDAPAT BERAGAM DEFINISI:


MEDIA KOMUNITAS ADALAH MEDIA ALTERNATIF;
MEDIA KOMUNITAS ADALAH MEDIANYA KAUM MARGINAL;
MEDIA KOMUNITAS ADALAH MEDIA KONFRONTATIF.

VERSI AMARC – ASOSIASI RADIO KOMUNITAS SEDUNIA - TENTANG APA ITU RADIO KOMUNITAS :

1. Community radio, rural radio, cooperative radio, participatory radio, free radio, alternative, popular, educational radio. If radio stations, networks & production group that makes up the World Association of Community Radio Broadcasters refer to themselves by variety of names, then their practices & profile are even more varied. Some are musical, some militan & some mix music & militancy. They are located in isolated rural villages & in the heart of largest cities in the world. The signals may reach only a kilometer, cover a whole country or be carried via shortwave to other parts of the world.
Some station are owned by not-for-profit groups or by cooperatives whos members are listeners themselves. Others are owned by students, universities, municipalities, churches or trade unions. There are stations finance by donations from listeners, by international development agencies, by advertising & by government.
“Waves from Freedom “
Report on the 6th World Conference of Community Radio Broadcasters. Dakkar-Senegal, January 23-29, 1995.

2. When radios fosters the participation of citizens & defend their interest, when it reflects the tastes of the majority & make good humor & hope its main purpose; when it truly informs, when it helps resolve the thousand & one problems of daily life; when all ideas are debated in its programs & all opinions are respected; when cultural diversity is stimulated over commercial homogeneity; when women are main players in communication & not simply a pretty voice or a publicity gimmick; when no type of dictatorship is tolerated, not even the musical dictatorship of the big recording studios; when everyone”s words fly without discrimination or censorship, that is community radio.

Radio Stations that bear this name do not fit the logic of money or advertising. Their purpose is different, their best effort are put at the disposal of civil society. Of course this service is highly political; it is a question of influencing public opinion, denying conformity, creating consensus, broadening democracy – whence the name – is to build community life.

“ Manual Urgente para Radialistas Apasionados “.

Jose Ignacio Lopes Vigili, 1997

3.The historical philosophy of community radio is to use this medium as the voice of the voiceless, the mouthpiece of oppressed people (be it on radial, gender, or class ground) and generally as a tool for development.

Community radio is defined as having three aspects; non-profit making, community ownership & control, community participation

It should be made clear that community radio is not about doing something for community but about the community doing something for itself, is owning & controlling its own means of communication.

“What is Community Radio ? A Resource guide “.
AMARC AFRICA & PANOS SOUTHERN AFRICA – 1998.

In Latin America, there are approximately one thousand radio stations that can be considered community, educational, grassroots or civic radio stations. They are characterized by their political objectives of social change, their search for a fair system that takes into account human rights, and makes power accessible to the masses & open to their participation. They can also be recognized by the fact that they are non-profit. This does not prevent them from growing & seeking a place in the market.
*Community radio is defined by community of shared interest it represents & by the coherent political-cultural, communication & business objectives of the same interest.
*Community & civic radio incorporated new language, new format, other sound, type of music, voices. It brings other ways of talking, new raltionships with listeners, ways of asking & answering questions, ways of making demand & pressuring the authorities.

“Gestion de la radio comunitaria y ciudadana”
Claudia Villamayor y Ernesto Lamas AMARC y Friedrich Ebert Stiftung, 1998.

Community radio in the commercially dominated media system, means radio in the community, for the community, about the community & by the community. There is a wide participation from regular community members with respect to menagement & production programs. This involvement of community members distinguishes it from the dominant media in the Philippines that are operated for PPPP – profit, propaganda, power, politics, privilege etc. Serving the big P (people or public) as a token gesture mainly to justify existence in the government bureaucratic licensing procedure (..). Stations collectively operated by the community people. Stations dedicated to the development, education & people empowerment. Stations which adhere to the principles of democracy & participation.

TAMBULI – Communication Project Phillipine.

Free, independent, lay radio station that are linked to human rights & concerned about the
Environment.

They are many & pluralistic.
They refuse mercantile communication.

They scrupulously respect to the code of ethic of journalist & work to disseminate culture by giving artist broader expression within their listening audience.

They have association status, democratic operation & financing consistent with the fact that they are non-profit organization.

Charte de la Confedartion des Radios Libres
CNRL - France

Over the years, community radio has become an essential tool for community development. People can recognize themselves & identity with community radio, in addition to communicating among themselves.

The tone of each community radio station is well modulated in the image of the listeners. The important thing is to seek out differences.
Alliance des radios communautaires du Canada.
ARC – CANADA.

III. KARAKTER MEDIA KOMUNITAS/ RADIO KOMUNITAS :

Dilongok dari batasan baik ilmu komunikasi, maupun rumusan AMARC , media komunitas/radio komunitas :


Peranti politik; yang mengejawantahkan hak-hak sipil & politik warganegara – voice of the voiceless; the mouthpiece of the oppressed people; creating consensus; broadening democracy.
Peranti pemberdayaan kaum papa informasi yang berada pada kalangan akar rumput pedesaan maupun perkotaan – to build community life; essetial tool for development.
Peranti cultural ; incorporate new format, other sound, type music, & voices; to seek out differences; to disseminate culture by giving artist broader expression within their listening audience.

IV PERAN KOMUNITAS ADALAH KATA KUNCI


Gozali, Effendi ( Dep Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2003):
“ Media yang memfokuskan diri pada program dan pelayanan bagi masyarakat dan melibatkan anggota komunitasnya, dalam operasional stasiun radio “;
Gerard, Bruce ( 2001 ) :
“Radio komunitas bergantung pada keterlibatan masyarakat, dalam struktur maupun operasional. Masyarakat yang menentukan prioritas dan sekaligus menjalankan radio.”;
Lewis, Peter ( 1998 ):
“Komunikasi bersifat partisipatif; participatory communication. Lantaran itu, maka tidak bisa lain, Media Komunitas, sifat kerjanya partisipatif. “
Howley, Kevin ( 2005 ) :
“ Community Media ; locally oriented and participatory media organizations and practices “

DASAR PEMIKIRAN MENGAPA KOMUNITAS DITEMPATKAN PADA POSISI SENTRAL DALAM PENGELOLAAN MEDIA :

PRAKTIK KOMUNIKASI INI, MEMUNGKINKAN TERBANGUN-NYA KERJA DIKALANGAN MASYARAKAT. PRAKTIK SERUPA ITU, JUGA MEMBANGUN KESEMPATAN UNTUK BERBAGI KEKUASAAN, YANG SEBELUMNYA CENDERUNG DIKUASAI OLEH ORANG-ORANG TERTENTU.

V. MEDIA KOMUNITAS DALAM PERSPEKTIF UU PENYIARAN 2002.

Berbeda dengan UU Pers 1999, maka UU Penyiaran 2002 mengatur dengan tegas, keberadaan Media Komunitas.

Simak bunyi Pasal 13 ayat ( 1 ) dan ( 2 ).
Pasal 13 ayat ( 1 ) :

Jasa penyiaran terdiri atas :

a. jasa penyiaran radio; dan
b. jasa penyiaran televisi

Pasal 13 ayat ( 2 ):

Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) diselenggarakan oleh :


Lembaga Penyiaran Publik;
Lembaga Penyiaran Swasta;
Lembaga Penyiaran Komunitas; dan
Lembaga Penyiaran Berlangganan. Ihwal Radio Komunitas, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengaturnya pada Bagian Keenam, yang terdiri atas empat pasal yakni, pasal 21 sampai dengan 24.

Berkaitan dengan masalah modal pendirian dan sumber pembiayaan, ketentuan-ketentuan pada pasal-pasal 21 s/d 23 tegas-tegas mengatur sebagai berikut :

 tidak komersial – pasal 21 ayat ( 1 )
 tidak untuk mencari laba atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata– pasal 21 ayat ( 2 ) butir a
 didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas – pasal 22 ayat (1)
 dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana operasional dari pihak asing – pasal 23 ayat (1)
 dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran komersial lainnya – pasal 23 ayat ( 2 )

Benar adanya, Radio Komunitas pada pasal 22 ayat ( 1 ) dibenarkan untuk didirikan dengan biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitasnya. Berdasarkan pengalaman praktek, kecuali komunitas keagamaan, komunitas diluar itu akan sangat sulit diharapkan kontribusinya secara teratur. Sampai pada investasi pendirian, rasanya masih mungkin. Tapi secara teratur memberikan kontribusi, bagi biaya operasional, sungguh menjadi pertanyaan besar.

Tiga elemen penting sustainabilitas radio komunitas adalah :


Faktor sosial;
Faktor institusi; dan
Faktor finansial

Faktor sosial, berhubungan dengan:

dukungan masyarakat, dalam keterlibatan mereka, baik dalam pendanaan, maupun operasional radio.

Sementara faktor institusi, kait-berkait dengan :

Aspek internal radio seperti manajemen dan program, maupun aspek eksternal radio, yang acap bertemali dengan pembinaan hubungan-hubungan dengan lembaga-lembaga swasta, pemerintah maupun antar stasiun radio komunitas.

( Penelitian Bank Dunia, bekerja sama dengan Combine ).

Menjawab tantangan tadi, memang harus dicarikan jalan keluar, agar Radio Komunitas tidak sekedar menjadi penghias perundang-undangan belaka. Dan yang terpenting adalah, untuk menjaga agar kebutuhan informasi dari komunitas-komunitas yang tak terlayani oleh penyiaran komersial maupun penyiaran publik, te tap dapat disediakan oleh Radio Komunitas.

Sebagaimana diperintahkan oleh pasal 28F Amandemen Kedua UUD 1945:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia “

Komunikasi dan informasi, pada hakikatnya adalah hak asasi manusia. Untuk itu, simak pula perintah pasal 28 ayat ( 1 ) yang menyatakan :

“…..hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Simak pula bunyi amanat pasal 28 ayat (3):

“ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban “

KEBERADAAN PENYIARAN KOMUNITAS, SESUNGGUHNYA KOKOH, BAIK BERDASARKAN KONSTITUSI MAUPUN UNDANG-UNDAN.

DALAM KONTEKS INDONESIA, MAKA POSISI RADIO KOMUNITAS :


SENANTIASA BERADA DIGARIS DEPAN – AVANT-GARDE;
BERFUNGSI SEBAGI TOOL OF DEVELOPMENT, PADA KOMUNITAS YANG BERADA DI WILAYAH-WILAYAH TERPENCIL.

VI. JALAN APA YANG BISA DITEMPUH RADIO KOMUNITAS :

Bergerak sendiri-sendiri, jelas akan sangat menyulitkan. Cara-cara yang bisa ditawarkan antara lain adalah :


membangun networking untuk Radio Komunitas sejenis atau seformat.
memproduksi produk-produk – baik dalam bentuk program atau iklan layanan masyarakat - yang dapat disiarkan secara bersamaan pada setiap anggota/afiliasi network yang seformat
head and tail dari saban produk acara atau mengembangkan ILM yang disiarkan network, diisi brand – contohnya; GIA, PLN, bank – institusi-institusi pendukung dana produksi program dan penyiaran ILM.
melakukan kegiatan-kegiatan merchandising dan off-air
organisasi nasional Radio Komunitas, mendirikan perusahaan pencari laba, dimana sebahagian dari keuntungan harus didistribusikan kepada anggota organisasi;
organisasi membentuk lembaga pencari dana dari berbagai badan-badan nasional, maupun internasional.

Usulan pada butir-butir 3 dan 4 memang sangat memungkinkan terbukanya perdebatan, terutama pada butir tiga, brand pendukung dana program, dalam pengertian penjualan, terbilang sebagai soft-sell. Dasar pertimbangan usulan ini adalah : undang-undang melarang penghimpunan laba,sebagaimana ketentuan pasal 21 ( 2.a ).

Radio Komunitas harus berupaya keras dan terencana untuk membangun public trust. Karena, kepercayaan publik tsb, sesungguhnya akan menjadi social capital.

Membangun kepercayaan publik, bukanlah karya enteng. Namun, merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan setiap media komunitas.

Paulo Freire :

Dalam menarik minat masyarakat, langkah terpenting adalah membuat mereka percaya bahwa, hak mereka terpenuhi. Hal itu akan membuat mereka lebih percaya diri, dan bersedia bekerja sama serta memberikan manfaat bagi kelompok.

<>o<>o<>o<>

Referensi:


Encyclopedia of Social Sciences; vol 3-4, 12th printing, 1957
Encyclopedia Britanica , Deluxe Edition, 2002
Media Asia, an Asian Mass Communication Quarterly; vol 27 number 1 2000 – an AMIC/SCS-NTU Publication
Media Communications and the Open Society; reader-ed Yassen N.Zas soursky & Elena Vartanova – Moskow State University Faculty of Journalism, Publishing IKAR, Moskow 1999
Media Law; Geoffrey Robertson QC and Andrew Nicol – Third Edition, Penguin Book, London 1992
Membangun Ilmu Komunikasi dan Sosiologi; reader-tim Ed Ana Nadhya Abrar, Setio Budi HH, Mario Antonius Birowo, Lucinda, F Anita Herawati – cetakan pertama, diterbitkan bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Politik-Pe nerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta 1999.
Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial; Charles F.Adrain, Penerjemah- Luqman Hakim, Cetakan Pertama, Penerbit PT Tiara Wacana, Yogya 1992.
Masyarakat Indonesia Dalam Transisis; Studi Perubahan Sosial: Wertheim WF, Penerjemah Misbah Zulfa Ellizabeth, Cetakan Pertama, Penerbit PT Tiara Wacana Yogya, Yogaya 1999
Konstruksi Sosial Industri Penyiaran; Plus Acuan Tentang Penyiaran Publik dan Komunitas; Effendy Gozali, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Jakarta, 2003.
Bruce Girard ( 2001 ) : A Passion of Radio; Radio Waves and Community. Electronic documen Retrieved on June 22, 2005. From: http//comunica org/passion/pdf/passion4radio.pdf
Peter Lewis ( 1998 ); Radio Theory and Community Radio. Retrieved on June 15, 2005, from http://www.teichenberg.at/essential/lewis.htm
What Is Community Radio; Retrieved on December 3-4, 2005 from : http://www.amarc.org.
Community Media: People, Places, and Communication Technologies, Kevin Howley , 2005, Cambridge University Press.

SUMBER:http://basuki1.ganeca.net/index.php/MEDIA-PENYIARAN-KOMUNITAS-MENGAPA-DAN-APA.html

Pengembangan Media Massa Pembelajaran

Ditulis pada Juni 3, 2008 oleh rezaervani

Bismilahirrahmanirrahiim

Ketika penulis menyebutkan media pendidikan, mungkin sebagian besar pendidik akan langsung teringat dengan Papan Tulis, White Board, OHP atau In Focus Projektor.

Ketika penulis coba ajukan pertanyaan, apakah televisi dan radio bisa menjadi media pembelajaran ? Mungkin sebagian besar pendidik menjawab “Ya”

Jikalau pertanyaan dilanjutkan kembali menjadi, “Apakah Televisi dan Radio saat ini pantas disebut sebagai media pembelajaran ?” Mungkin sebagian besar pendidik akan menjawab “Tidak”.

Ketika Rumah Ilmu Indonesia mencoba merancang media dengan menggunakan berbagai fasilitas yang memungkinkan, seperti internet dan radio, setidaknya ada beberapa hal yang harus dicapai tahapan-tahapannya :

1. Membangun “Opini Pembelajaran” di Masyarakat

Tahapan ini sesungguhnya harus dilakukan dengan sangat massive. Menggeser paradigma kebutuhan masyarakat akan media, dari media sebagai penyedia “hiburan” (entertaint) menjadi media sebagai penyedia materi pembelajaran (learning content) harus dilakukan dengan sangat kreatif dan produktif. Tanpa itu, sulit rasanya menggeser budaya menonton dan mendengar yang selama ini ada di masyarakat.

Selain itu peran `issu maker’ juga harus bisa diambil oleh media-media yang dirancang dan dimanfaatkan oleh Rumah Ilmu Indonesia. Maksudnya adalah, harus adanya kemampuan Rumah Ilmu Indonesia untuk mengendalikan aliran isu yang mengalir.

Di zaman euforia reformasi seperti yang masih berlangsung saat ini, kejadian apapun sebenarnya memiliki dua sisi opini yang saling kontra satu sama lain. Kasus Ahmadiyah misalnya, tampak jelas sekali kubu yang mendukung dan kubu yang menolak. Jika kemudian media massa masuk ke salah satu kubu, maka seolah-olah kubu itulah yang lebih besar, sekalipun nyatanya secara kuantitas kubu itu kecil adanya.

Kasus lain misalnya, Islam Liberal. Walau secara kuantitas orang-orang ini kecil, tetapi secara kemampuan infiltrasi media massa dan membangun opini, kita harus mengakuinya. Sehingga terkadang masalah yang sudah jelas “gelap terangnya” malah bisa bergeser menjadi abu-abu, masalah yang sudah jelas “halal haramnya” malah bergeser menjadi “syubuhat”

Contoh kasus tersebut dapat dipelajari oleh Team Media & Broadcast Rumah Ilmu Indonesia agar tidak terjebak pada isu-isu yang malah membawa kepada “politisasi pendidikan”. Mengendalikan apa yang didapat, ditonton dan didengar oleh masyarakat menjadi penting untuk membangun opini pembelajaran tadi.

Untuk itu, sedapat mungkin semua yang disampaikan haruslah berada dalam skenario yang dikaji secara matang, dan upayakan semua yang dilakukan patuh pada skenario tersebut.

Di tahap ini, materi-materi yang diangkat belumlah spesifik. Masih berkisar pada isu-isu dan masalah-masalah umum pendidikan.

Pemilihan tema programpun harus dipilih dengan hati-hati.

Pemilihan radio komunitas sebagai media sambung siar menjadi tepat karena pembangunan opini memang lebih mudah dilakukan pada komunitas-komunitas kecil daripada harus sekaligus `menyerang’ massa yang lebih besar dan sudah memiliki `own opinion’ yang dibangun oleh media massa-media massa yang lebih kuat dan besar skalanya.

Setidaknya, dalam pengamatan penulis, ada beberapa tahapan juga yang harus dilakukan di tahapan ini :

a. Kampanye marketing yang massive

Ingat selalu bahwa leaflet dan iklan juga merupakan media untuk membangun opini pembelajaran

b. Pelebaran penggunaan media dan jaringan media
Termasuk dalam hal ini adalah pelebaran tema dan penggunaan berbagai stasiun radio dan televisi yang sudah ada untuk menayangkan program-program media & broadcast Rumah Ilmu Indonesia

c. Pengembangan kegiatan offline
Program-program seperti pelatihan, Media goes to School dan semacamnya diharapkan mampu mendorong pembentukan opini pembelajaran yang lebih cepat dan lebih luas.

2. Memfasilitasi “Komunitas Pembelajaran” dengan Media yang Lebih Spesifik

Diharapkan jika tahap pertama ini bisa kita jalankan dengan baik, maka akan terbentuk kemudian komunitas-komunitas pembelajar di masyarakat.

Sebagai catatan kembali, pembentukan komunitas itu harus pula mampu didorong oleh media-media yang dirancang oleh Rumah Ilmu Indonesia. Beberapa hal sudah kita lakukan, misalnya mailing list rezaervani menghasilkan komunitas yang cukup besar. Hal lain yang dapat kita lakukan misalnya, mendorong tumbuhnya komunitas pendengar acara BINCANG GURU & PENDIDIKAN, atau komunitas pembaca buletin FORISTIC.

Ini harus pula dicermati dan mampu teranalisa dengan baik oleh seluruh komponen Rumah Ilmu Indonesia, jangan sampai tidak terdeteksi apalagi terlepas.

Komunitas-komunitas itu tidak akan banyak kuantitasnya, tapi itulah tantangannya. Memfasilitasi komunitas itu dengan media yang lebih spesifik diharapkan mampu mendorong terjadinya perpaduan antar berbagai media pembelajaran.

Contohnya adalah apa yang pernah dilakukan oleh BBC Step by Step (Pelajaran Bahasa Inggris) dan Deutsche Welle dalam pembelajaran Bahasa Jerman.

Selain mengadakan siaran di Radio dan televisi, mereka juga mengirimkan buku-buku panduan yang memudahkan para pendengarnya untuk mengikuti pelajaran yang dilangsungkan.

Karena itulah sebenarnya, Rumah Ilmu Indonesia juga menyiapkan Departemen Penerbitan.

Saat ini, Rumah Ilmu Indonesia juga sedang menjalani riset media Web 2.0 sebagai media pembelajaran. Perpaduan antara web based learning dengan media massa akan menjadi sangat optimal jika dilakukan secara terpadu.

Mampukah Rumah Ilmu Indonesia ? Harus !!

3. Membangun Media Massa Pembelajaran Mandiri

Jika tahapan-tahapan diatas dapat kita lakukan, maka tahapan terakhir yang nanti kita kerjakan adalah membangun media massa pembelajaran mandiri.

Ini dapat berarti kita harus punya radio sendiri, stasiun televisi sendiri, production house sendiri, majalah dan surat kabar sendiri, yang semuanya memiliki orientasi pencerdasan masyarakat.

Pra dan pasca tahap ketiga ini, harus pula dilakukan penelitian (research) seputar pemanfaatan media bagi pembelajaran. Banyak model yang sesungguhnya sudah dilakukan oleh negara-negara di luar Indonesia, termasuk yang dikembangkan di Afganistan. Kita bisa ambil model-model tersebut untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

***
Tanpa melewati tahapan-tahapan diatas, rigiditas Rumah Ilmu Indonesia di bidang media dapat dipertanyakan. Perjalanan akan membuat kita belajar lebih banyak dan menjadi kuat.

Akhir kata, ini adalah sebuah pekerjaan besar yang membutuhkan nafas panjang. Yang paling mahal dari semuanya adalah komitmen dan keteguhan niat kita untuk menjadikan Rumah Ilmu Indonesia menjadi salah satu garda terdepan dalam membangun budaya belajar masyarakat, sehingga harapan terbentuknya sebuah masyarakat madani yang berdiri di atas pondasi moral yang teguh dan ilmu yang luas dapat terwujud.

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Al Quran Al Karim Surah Al Maidah ayat 54)
Faidza azzamta fa tawakal `alaLlah

sumber: http://rezaervani.wordpress.com/2008/06/03/pengembangan-media-massa-pembelajaran/

Agenda Baru Etika Media Massa

Rabu, 12 November 2008 | 00:43 WIB
oleh: R Kristiawan

Kegelisahan masyarakat terkait praktik media massa akhirnya muncul juga. Media massa dianggap sebagai salah satu agen yang amat berperan dalam imitasi perilaku sosial, termasuk kriminalitas. Harian Kompas dan Tb Ronny Nitibaskara (10/11/2008) menulis, media massa, terutama televisi, berperan dalam imitasi perilaku kejahatan, termasuk mutilasi.

Telaah tentang pengaruh media massa bagi perilaku sosial sebenarnya sudah menjadi kajian lama. Riset Albert Bandura tahun 1977 menemukan, televisi mendorong peniruan perilaku sosial, bahkan pada tahap akhir mampu menciptakan realitas (teori pembelajaran sosial kognitif). Untuk konteks Indonesia, debat tentang tema itu masih berlangsung tanpa refleksi berarti bagi media massa, terutama televisi.

Dua wilayah etika media

Hingga kini, fokus perhatian etika media massa ada pada wilayah teknik jurnalistik. Wilayah teknis dalam etika media massa ini terkait proyek bagaimana menghasilkan berita yang sesuai dengan fakta dan mengurangi bias sekecil mungkin. Nilai berita, yaitu kebaruan, kedekatan, kebesaran, signifikansi, dan human interest, menjadi rambu-rambu teknis untuk menentukan kelayakan berita.

Pada wilayah itu, pembangunan etika didasarkan prinsip-prinsip teknis, yaitu akurasi, keberimbangan, dan keadilan (fairness). Tujuan utamanya adalah membangun obyektivitas dan kebenaran (truth). Hingga kini, berbagai jenis pelatihan etika jurnalistik hanya berorientasi pada masalah etika dalam wilayah teknik jurnalistik.

Dalam kompetisi industri media yang kian seru, pertimbangan teknis sering hanya didasari etika teknis. Sebuah talkshow di televisi baru-baru ini membahas mutilasi dengan mengundang dua narasumber: seorang kriminolog dan ahli forensik. Sang ahli forensik dengan dingin memaparkan aneka jenis modus mutilasi dengan amat rinci, termasuk cara pemotongan bagian-bagian tubuh.

Jika memakai kaidah etika teknik, tidak ada yang salah dengan acara itu karena memenuhi kaidah akurasi. Namun, sulit disanggah, susah menemukan makna publik di balik pemaparan berbagai teknik mutilasi itu bagi masyarakat. Tak heran jika Sri Rumiyati memutilasi suaminya karena terinspirasi Ryan lewat tayangan televisi.

Masalahnya, ada di wilayah etika kedua terkait makna publik. Wilayah ini melampaui wilayah teknik dan berusaha menampilkan media massa terkait makna publik (public meaning) di balik berita. Etika pada level ini tidak lagi berurusan dengan operasi teknis, tetapi sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik (Ashadi Siregar, 2008).

Jadi, masalahnya bukan bagaimana menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan analisis berita (news analysis) agar mempunyai makna publik. Dengan demikian persoalannya bukan apakah sebuah berita sesuai dengan fakta, tetapi apakah berita itu memiliki nilai publik.

Dalam konteks televisi, temuan Bandura tiga puluh tahun lalu seharusnya menjadi peringatan bahwa menampilkan fakta apa adanya ternyata tidak cukup. Menampilkan ahli forensik dalam talkshow TV dan memaparkan teknik mutilasi secara rinci harus dihadapkan pada konteks makna publiknya.

Berita dan kompetisi wacana

Konsekuensi dari etika jenis kedua adalah melihat berita sebagai wacana (discourse) dalam konteks kompetisi perebutan makna adalah kehidupan publik. Berita diposisikan sebagai unit yang mampu memengaruhi proses pembentukan makna dalam kehidupan publik. Kehidupan publik merupakan kawanan makna yang dihasilkan dari perebutan makna oleh berbagai pemegang alat produksi makna.

Postmodernitas mengajarkan, makna selalu relatif bergantung pada siapa yang keluar sebagai pemenang dari medan pertempuran makna. Media massa tidak bisa bersikap naif dengan melarikan diri dari pertempuran itu dan dengan selubung teknik jurnalisme. Persis saat media massa merupakan salah satu lembaga yang signifikan dalam produksi makna, di situ masalah etika publik menjadi relevan.

Dalam perang makna, ada tiga peserta utama, yaitu negara, pasar, dan masyarakat. Tiga hal ini saling berseteru memperebutkan makna sesuai kepentingan masing-masing. Kehidupan publik yang ideal adalah fungsi dari keseimbangan tiga sektor itu.

Di manakah posisi media massa? Secara struktural, sebenarnya bangunan kehidupan media massa sudah ideal. Negara sudah menumpulkan sengat politiknya lewat UU Pers No 49/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002. Artinya, hegemoni negara sudah bisa dilucuti. Untuk media penyiaran, aspirasi masyarakat sipil sudah termanifestasikan melalui KPI (meski KPI sering kelimpungan menghadapi industri yang keras kepala). Secara bisnis, bisnis media massa Indonesia sudah amat leluasa, bahkan cenderung mendominasi. Tiga pilar itu sudah hidup dengan leluasa dalam habitat media massa Indonesia.

Ketika fasilitas makro sudah diberikan dan ternyata masih timbul masalah, pendulum harus diarahkan pada wilayah internal media massa sendiri. Dalam iklim kebebasan media, mekanisme swa-sensor menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan berita, meninggalkan sensor eksternal dari negara. Dengan demikian, etika menjadi signifikan dalam proses self-censorship. Masalah muncul karena yang dominan dipakai media massa Indonesia adalah etika teknis yang amat rentan bagi publik dalam konteks kompetisi industrial.

Di sisi lain, menyambut liberalisasi, kita dihadapkan fakta, ada perbedaan bentuk kontrol negara dan kontrol pasar. Kontrol negara bersifat koersif, sedangkan kontrol pasar bersifat intrusif. Intrusivitas kontrol pasar itu menjelma dalam watak berita yang berorientasi pada kompetisi pasar, berlandaskan etika teknis sehingga berita sering kehilangan makna publiknya.

R Kristiawan Senior Program Officer for Media, Yayasan TIFA, Jakarta; Mengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

MEDIA MASSA: OUTLET BAGI PESAN ADVOKASI

Saat ini, advokasi selalu erat berkaitan dengan media massa. Ada baiknya media masa kita sikapi secara netral, bukan teman dan bukan musuh. Walau demikian ada satu tujuan yang dimiliki secara bersamaan oleh para aktivis dan media massa yaitu: membuat berita. Hubungan aktivis dan media massa adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling memanfaatkan.

Untuk bisa memanfaatkan media massa secara optimal guna menyalurkan pesan-pesan kepada publik dan pembuat keputusan, aktivis wajib memahami media massa. Media massa sebaiknya dipahami pada skala dunia. Ini penting karena sekarang ini hampir semua isu bisa dipastikan memiliki dimensi lokal, regional, nasional, dan global. Mengingat skala dan lingkup media massa yang demikian besarnya, aktivis harus mampu mengarahkan strategi komunikasinya pada media massa yang:
- Paling tertarik pada isu yang diadvokasikan.
- Akan menimbulkan dampak yang paling besar.

Struktur Media massa bisa dirinci sbb:
- Berdasarkan jenis media: Kantor Berita (wires), koran, majalah, TV, radio, dsb.
- Berdasarkan kawasan paparannya: Internasional, regional, nasional, daerah.
- Berdasarkan timeline publikasi/siaran -- hingga ke ukuran menit, jam, harian, mingguan, bulanan.
- Berdasarkan fokus yang diambil oleh media massa: berita, bisnis, feature, hiburan, speciality, dsb.

Kualitas dan kuantitas peliputan yang didapatkan oleh berita yang sengaja dibuat para aktifis melalui berbagai aksinya, sangat dibantu oleh strategi komunikasi yang didasari pengetahuan mengenai apa yang dicari oleh berbagai outlet media massa. Pengetahuan ini penting dimiliki oleh para aktifis.

Beberapa jenis media

Kantor Berita

Beberapa contoh kantor berita Internasional adalah Reuters, Associated Press (AP), Agence France Presse (AFP) dan United Press International (UPI). Indonesia juga memiliki kantor berita yaitu Antara. Masing-masing kantor berita tentu memiliki keunikan, akan tetapi pada umumnya semua memiliki fungsi yang sama yaitu mengirimkan tulisan (copy) dan foto pada para pelanggan mereka diseluruh dunia. Media lain sangat membutuhkan keberadaan kantor berita internasioanl ini. Stasiun-stasiun TV misalnya: memanfaatkan kantor berita untuk mengikuti perkembangan berita-berita baru yang merebak diseluruh dunia untuk perencanaan programnya. Copy atau photo yang disalurkan suatu kantor berita memiliki kesempatan besar untuk mencapai jutaan orang diseluruh penjuru dunia. Program komunikasi ORNOP sering melupakan peran penting kantor berita nasional maupun internasional dalam merencanakan kerjanya. Kantor-kantor berita Internasional yang utama, semuanya mempunyai perwakilan dan reporter di Jakarta, kenali siapa mereka. Mungkin juga mereka memiliki 'stringer' di kota-kota lain di Jawa maupun luar Jawa.

Koran
Hal penting yang perlu diingat tentang koran, adalah bahwa meskipun koran selalu dipacu untuk memuat 'hard news' terutama di halaman depan, akan tetapi di halaman-halaman lain terdapat berbagai bagian yang bisa anda manfaatkan. Misalnya bagian bisnis, 'lifestyle', berita daerah, 'entertainment', dan koran minggu. Juga ada bagian 'surat anda' atau surat pada editor yang biasa terdapat dihalaman opini. Bagi aktivis advokasi, halaman opini sangat penting dan wajib dimanfaatkan. Sebagai pembaca anda berhak menuangkan opini di halaman ini. Tulisan opini umumnya berkisar antara 500 hingga 800 kata, dan sebaiknya memberikan informasi yang meyakinkan untuk pembaca awam.

Majalah
Bagi aktivis, majalah merupakan outlet informasi yang penting terutama untuk informasi yang tidak bersifat hard news.Jenis majalah yang paling banyak dimanfaatkan oleh aktifis dan ornop Indonesia hingga kini baru majalah berita. Jobalah mulai menjalin hubungan dengan berbagai majalah spesialis seperti majalah wanita, olahraga, ekonomi, bisnis, kesehatan dan lain sebagainya. Melalui berbagai majalah anda bisa menjangkai pembaca yang belum tentu terjangkau oleh berita koran, radio, dan TV.

Para pembaca majalah spesialis biasanya punya lebih banyak waktu luang dan juga uang - mereka berpotensi menjadi pendukung aktif kampanye advokasi anda.

TV
Ada banyak ragam outlet TV diantaranya: International wire feeds (misalnya Reuters TV), International broadcasters (CNN, BBC,dsb), national bradcasters (RCTI,SCTV,TVRI,dsb), dan TV yang hanya melakukan bradcasting regional di daerah seperti TVRI Yogyakarta, TVRI Pontianak, dsb.

Banyak cara yang bisa anda tempuh untuk menyalurkan berita anda melalui TV. Salah satu yang lazim dilakukan adalah dengan membuat VNR (Video News Release) yang juga sering disebut Video Press Release. VNP sangat menolong bila anda mengundang wartawan TV ke konferensi pers yang anda selenggarakan.

Anda juga bisa menawarkan berita anda pada para produser berita atau produser dokumenter di berbagai stasiun TV. Upayakan mengenali orang-orang ini, sehingga anda bisa setiap saat mengontaknya. Produserr dokumenter dari berbagai TV international seperti CNN dan BBC sering tertarik pada berbagai isu lingkungan, Masyarakat Adat, dan yang sejenisnya dari negara berkembang seperti Indonesia.
Radio
Di Indonesia ada ratusan stasiun radio. Radio juga menjangkau jauh lebih banyak orang dibandingkan media massa lainnya di negeri ini. Kenali semua stasiun radio di daerah anda. Jika bisa terbitkan buletin informasi secara rutin sebagai servis anda pada semua stasiun radio yang ada. Upayakan factual, singkat, padat, dan menarik. Para pembawa acara radio biasanya membutuhkan informasi ringan untuk diobrolkan dari waktu ke waktu, manfaatkan peluang ini dengan baik

STIKER Sebagai Media Komunikasi

Stiker kerap kali digunakan sebagai salah satu dari sekian banyak media komunikasi. Ini bukan saja dilakukan oleh industri komersial (sebagai reklame produk atau corporate), melainkan juga organisasi non bisnis, seperti pemerintah, LSM, organisasi kecil (OSIS dll), bahkan belakangan partai-partai memanfaatkan media ini. Pesan yang ditampilkan pun sangat beragam. Mulai dari nama produk, organisasi, sampai dengan kalimat himbauan, ajakan, petunjuk-petunjuk tertentu, dan bahkan ada yang menyertakan gambar-gambat tertentu.
Kendati begitu beragam bentuk dan pesan yang muncul, setidaknya, sebagai media komunikasi stiker mempunyai fungsi atau manfaat berikut:
Mengkomunikasikan citra suatu organisasi (Nama, logo, atau bahkan corporate colour) – biasanya dalam rangka membangun citra.
Mengkomunikasikan pesan-peasan tertentu seperti: ajakan, himbauan, perintah, penolakan, petunjuk-petunjuk, atau semboyan, yel, jargon.
Mengkomunikasikan foto atau image tertentu: tokoh, binatang, buah-buahan dan lain-lain.

PESAN
Seberapa efektif sebuah stiker mendukung tujuan (pembuatan stiker) sangat bergantung pada beberapa hal:

Penampilan
Stiker harus menarik mata (ey-catching). Hanya dengan ini, mata seseorang akan dialihkan perhatiannnya. Apalagi, stiker sering ditempatkan di tempat yang bergerak dan di tempat umum (sumpek, lho). Untuk mewujudkan desain yang menarik, pengetahuann dasar tentang desain grafis harus dimiliki. Jangan segan-segan berkonsultasi dengan desain grafis.
Ukuran stiker harus optimum: cukup besar agar dapat dibaca dengan baik, dan cukup kecil hingga mudah dibawa-bawa dan ditempelkan.
Kualitas cetakan harus baik, tidak menyilaukan, dan tidak gampang sobek.
Awet & Terjangkau
Pembuat stiker harus mengenal betul sasaran pembaca (khalayak sasaran). Sebab, hanya dengan mengenal secara baik siapa yang menjadi sasaran sajalah, stiker bisa efektif. Prinsipnya, tempelkan stiker di tempat yang pasti atau biasa terlihat oleh sasaran kita. Jangan menempelkan stiker "STOP BBM, GUNAKAN BBG" di lemari kamar kita.
Gunakan bahan yang cukup awet sehingga menjamin keberlangsungan kampanye kita. Misalnya, pemilu belum usai, tetapi stiker sudah lapuk terkena air hujan dan sinar matahari. Jika perlu laminasi stiker anda dengan bahan yang tahan air dan sinar ultra violet. (percetakan dapat mengerjakannya).
Bahasa
To the point. Langsung dan hanya mengenai pokoknya saja.
Singkat, jelas dan akurat. Jangan bertele-tele menggunakan bahasa. Orang hanya membaca stiker secara sekilas. (Ingat stiker dipasang di outdoor dalam situasi sang pembaca relatif bergerak).
Mudah. Artinya, sesuaikan dengan tingkat intelektualitas dan wawasan khalayak sasaran kita. Jangan membunuh lalat dengan senapan.
Identitas penerbit tidak selalu perlu ditampilkan. Mengapa? Ini akan menimbulkan bias yang seringkali tidak menguntungkan. Biarkan khalayak sasaran memperoleh pesan dengan baik, tanpa harus mengetahui siapa yang mengajaknya. Perlu diingat identitas organisai kerap disikapi apriori oleh masyarakrat. "THE SONG NOT THE SINGER". Toh stiker tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus merupakan bagian dari strategi kampanye yang menyeluruh. Satu media komunikasi dengan media yang lain harus saling mendukung, demikian juga stiker harus mendapat dukungan dari strategi kampanye secara keseluruhan.

sumber: berbagai sumber

MENYEBARLUASKAN PESAN

Pada tingkat operasional, pada hakekatnya advokasi bisa diartikan sebagai perang informasi. Anda perlu memberi informasi yang tepat kepada publik supaya mereka memberikan dukungan pada upaya anda. Dalam upaya advokasi kita terlalu sering melupakan pentingnya 'public opinion'. Akibat dari ke alpaan ini akan merugikan bagi kita sendiri. Sudah bukan jamannya lagi informasi mengenai isu-isu kebijakan hanya dibahas dalam berbagai bentuk media yang berlabel 'untuk kalangan sendiri'. Di negara demokrasi, publik berhak tahu apa yang dibicarakan oleh NGO ketika bertemu dengan pemerintah dalam rangka suatu upaya advokasi. Suatu kampanye advokasi yang baik, secara kontinyu memberi 'update' kepada publik mengenai perkembangan isu yang diadvokasikan melalui pesan/informasi yang mengalir secara berkelanjutan.

Pesan anda bisa disebarluaskan melalui:
- Kantor Berita
- Koran (harian, mingguan, alternatif, dsb)
- Radio (Berita, wawancara/talk show, program radio dengan sasaran khusus seperti music rock, klasik, dsb)
- TV
- Iklan (TV, radio, cetak)
- Buku
- Pos langsung (direct mail)
- Jaringan aktivis
- Jaringan komputer (internet, bulletin boards)
- Selalu perhatikan teknologi baru yang berkembang seperti CD rom, dsb.

Jenis Cerita
Jangan khawatir bila anda tidak menjadi hard-news. Anda juga bisa menjadi:
· Cerita investigasi
· Berita feature
· Cerita bisnis
· Cerita hiburan (misalnya konser Frangky untuk menyelamatkan hutan di Indonesia)
· Surat Pembaca (anda bisa mengorganisis supaya sejumlah media kebanjiran surat-surat yang menggugat hal yang sama)
· VNR (Video News Release)
· Clip reel ( background footage yang bisa di 'cut & past' sendiri oleh pada editor berita menjadi cerita).

Strategi media anda sebisa mungkin mencakup sebanyak mungkin elemen diatas, supaya pesan anda sampai.
Pesan Anda:
Perlu dipikirkan dengan baik, jelas, mudah dipahami dan bisa diterima oleh publik serta media masa.
Sebisa mungkin bersifat interaktif -- selalu sertakan sesuatu yang bisa dilakukan oleh 'konsumen' pesan anda.
Membutuhkan kerja keras dan kontinu (lihat daftar berikut)
Perlu sesuai dengan tuntutan keadaan, mungkin perlu reaktif, atau justru proaktif.
Selalu ingat 'oposisi' anda, dan tebak bagaimana mereka akan menjawab pesan anda.
Selalu upayakan berada selangkah didepan mereka.

Kerja yang diperlukan dibelakang pesan yang efektif:
· Penelitian yang membuahkan laporan.
· Dokumentasi video dan photo dengan misi yang jelas.
· Isu dan cerita yang baru sehubungan dengan perjuangan anda.
· Iklan - Anda perlu sangat kreatif.
· Pupuk hubungan dengan celebritis yang mau mendukung tujuan anda, manfaatkan mereka untuk iklan, konferensi pers, dsb.
· Kembangkan etos kerja investigatif -- galang kerja sama dengan wartawan untuk mengungkap berita/cerita yang penting.
· Lakukan hal-hal yang luar biasa untuk menarik perhatian.
· Kumpulkan informasi/analisis finansial tentang berbagai alternatif yang ada, masalah yang anda lawan, dan Industri yang menimbulkan masalah tersebut -- lalu 'pasarkan cerita/ide cerita anda kepada media masa bisnis.
· Lakukan hal-hal positif untuk kejutan yang segar (misalnya: kirimkan ucapan selamat lewat iklan di koran bila departemen kehutanan menbuat keputusan/policy yang positif).
· Berpikirlah secara visual, apa kira-kira yang akan menarik perhatian publik.
· Selenggarakan pameran di galeri seni, kerjasamalah dengan body shop atau outlet lain untuk menyelenggarakan kampanye etalase.Selalu kembangkan gagasan baru

198 CARA MENDESAKKAN PERUBAHAN

Gene Sharp
Disadur bebas dari brosur Organisasi Konsumen Intemasional (IOCU), 198 Tactics to Make Things Happen, tanpa tahun. Gene Sharp merupakan salah seorang aktivis program kampanye IOCU. Terjemahan ini juga pemah dirnuat dalam Roem Topatimasang, Mansour Fakih & Widjanarka ES, Menggeser Neraca Kekuatan: Panduan Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat Konsumen; Jakarta, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), 1990.

PROTES & PERSUASI
Pernyataan Resmi
1. Pidato di depan umum
2. Surat pernyataan menentang
3. Maklumat terbuka (deklarasi)
4. Pernyataan dengan kumpulan tanda-tangan
5. Pernyataan sikap khusus
6. Petisi kelompok atau massa

Siaran Terbuka
7. Slogan & karikatur
8. Spanduk & poster
9. Selebaran & pamflet
10. Koran & kalawarta
11. Siaran radio & televisi
12. Corat-coret tembok & aspal jalan, spanduk terbang dengan balon gas
Perwakilan Kelompok
13. Perutusan Khusus
14. Kiriman hadiah ejekan (olok-olok)
15. Lobi kelompok
16. Pagar betis
17. Pemilihan pura-pura

Tindakan Simbolik
18. Pengibaran bendera dan umbul-umbul
19. Pakaian simbolik
20. Do'a atau sembahyang massal
21. Pengiriman benda-benda simbolik
22. Aksi telanjang protes
23. Perusakan harta benda sendiri
24. Penyorotan sinar/cahaya simbolik
25. Pagelaran foto-foto
26. Corat-coret protes
27. Pemakaian nama atau tanda-tanda baru
28. Pemakaian suara-suara simbolik
29. Pendudukan tempat tertentu secara simbolik
30. Gerakan atau sikap kasar

Tekanan Perseorangan
31. Membayang-bayangi/ memata-matai
32. Ejekan dan olok-olok
33. Berlagak sok akrab
34. Bersiaga penuh

Drama & Musik
35. Lawakan singkat
36. Pertunjukan sandiwara/musik
37. Nyanyi-nyanyi

Upacara
38. Jalan kaki
39. Pawai
40. Upacara keagamaan
41. Ziarah
42. Iring-iringan kendaran besar

Perkabungan
43. Perkabungan politis
44. Penguburan pura-pura
45. Penguburan demonstratif
46. Penghormatan di makam pahlawan

Rapat Umum
47. Rapat protes atau mendukung
48. Pertemuan protes
49. Rapat protes yang disamarkan
50. Diskusi terbuka

Penarikan Diri & Pemakzulan
51. Ke luar ruangan (walk out)
52. Aksi diam (mogok bicara)
53. Pembatalan penghargaan
54. Penarikan pengakuan/pemyataan

PEMBANGKANGAN SOSIAL
Pengasingan Orang
55. Boikot sosial
56. Boikot sosial terbatas (selektif)
57. Pengacuhan pribadi
58. Pengucilan
59. Pemegatan

Pemanfataan Peristiwa Sosial, Adat & Lembaga
60. Penghalangan kegiatan sosial/olahraga tertentu
61. Boikot suatu peristiwa kemasyarakatan
62. Pemogokan mahasiswa
63. Pembangkangan umum
64. Penarikan diri dari lembaga sosial tertentu

Pengunduran Diri dari Sistem Sosial
65. Berdiam di rumah
66. Penolakan kerjasama total
67. Minggat kerja
68. Menutup diri
69. Pengasingan diri kolektif
70. Pindah tempat tinggal sebagai protes

PERLAWANAN EKONOMIS (BOIKOT)
AksiKonsumen
71. Boikot beli
72. Boikot tidak pakai
73. Pengurangan pemakaian barang/jasa tertentu
74. Ngemplang sewa/bayar
75. Penolakan bayar pajak
76. Boikot nasional
77. Boikot internasional.

Aksi Buruh & Produsen
78. Boikot oleh buruh
79. Boikot oleh produsen
Aksi Kelas Menengah
80. Boikot para. penyalur/pengecer

Aksi Pengusaha & Manajemen
81. Boikot para pedagang
82. Penolakan menjual/membeli
83. Pensegelan toko/pabrik/kantor
84. Penolakan bantuan teknis
85. Pemogokan umum jaringan pengecer

Aksi Pemilik Modal
86. Penarikan deposito bank
87. Penolakan membayar upah
88. Penolakan bayar utang dan bunga
89. Pemotongan dana bantuan kredit
90. Penolakan penarikan piutang
91. Penolakan dana bantuan pemerintah

Aksi Pemerintah
92. Embargo dalam negeri
93. Pendaftar-hitaman para pedagang
94. Embargo pembeli internasional
95. Embargo penjual internasional
96. Embargo perdagangan umum

PERLAWANAN EKONOMIS (MOGOK)
Pemogokan Simbolik
97. Pemogokan protes
98. Mogok seketika, mogok berencana

Pemogokan Pertanian
99. Pemogokan petani
100. Pemogokan buruh-tani

Pemogokan Kelompok Khusus
101. Pemogokan buruh
102. Pemogokan narapidana
103. Pemogokan para pengrajin
104. Pemogokan kaum profesional

Pemogokan Buruh Umum
105. Pemogokan jangka-panjang, terus-menerus
106. Pemogokan di pabrik
107. Pemogokan menyatakan kesetiakawanan

Pemogokan Terbatas
108. Pemogokan sementara
109. Pemogokan dengan rintangan
110. Pemogokan dengan memperlambat pekerjaan
111. Pemogokan tak mau diperintah
112. Pemogokan dengan pura-pura, sakit
113. Pemogokan karena dipecat
114. Pemogokan setempat
115. Pemogokan selektif

Pemogokan Aneka Industri
116. Pemogokan umum.
117. Pemogokan berencana

Perpaduan Mogok dan Kepentingan Ekonomi
118. Pemberhentian kegiatan produksi
119. Penutupan tempat kerja

PERLAWANAN POLTIK
Penolakan Kekuasaan
120. Pencabutan kepatuhan
121. Penolakan memberi dukungan
122. Pidato, dan menulis anjuran menentang

Pembangkangan Rakyat
123. Boikot lembaga perwakilan
124. Boikot pemilihan umum.
125. Boikot fungsi dan tugas pemerintah
126. Boikot kementrian/lembaga pemerintah
127. Mundur dari lembaga pendidikan pemerintah
128. Boikot organisasi yang mendukung pemerintah
129. Penolakan bantuan lembaga pelayanan umum
130. Penghapusan tanda-tangan dan cap
131. Penolakan menerima petugas pemerintah
132. Penolakan pembubaran lembaga/organisasi

Penghindaran Kepatuhan
133. Memperlambat penyelesaian tugas
134. Tidak patuh saat tidak ada pengawasan
135. Pembangkangan umum
136. Pembangkangan terselubung
137. Menolak hadir dalam pertemuan warga, atau hadir dan bikin kacau
138. Mogok duduk
139. Menolak wajib militer dan deportasi
140. Menyembunyikan diri, melarikan diri, memalsukan identitas
141. Pembangkangan sipil pada hukum yang dianggap 'tidak sah'

Aksi Petugas Pemerintah
142. Penolakan selektif membantu program pemerintah
143. Menutup garis perintah dan informasi tertentu
144. Mengelak perintah dan memperlambatnya
145. Pembangkangan aturanicepegawaian
146. Menolak perintah pengadilan
147. Menciptakan kelambanan kerja pemerintah
148. Memberontak

Aksi Pemerintah di Dalam Negeri
149. Memperlambat pekerjaan dan menghindari hukum
150. Menolak kerjasama, dengan lembaga-lembaga lain

Aksi Pemerintah di tingkat Internasional
151. Merubah status hubungan diplomatik
152. Menunda hubungan diplomatik
153. Menolak pengakuan diplomatik
154. Pemutusan hubungan diplomatik
155. Mengundurkan diri dari organisasi internasional
156. Menolak keanggotaan dalam badan-badan internasional
157. Pengusiran dari organisasi internasional

PERLAWANAN TANPA KEKERASAN
Perlawanan Psikologis
158. Memaklumkan diri melawan tanpa kekerasan
159. Puasa, mogok makan (sebagai tekanan moral, sungguhan atau satyagraha)
160. Mogok bicara di pengadilan
161. Perlawanan diam

Perlawanan Fisik
162. Mogok duduk
163. Mogok berdiri
164. Mogok jalan
165. Mogok menyeberang jalan raya
166. Mogok kerja
167. Mogok sembahyang
168. Pengepungan secara damai
169. Penggerebekan secara damai
170. Penyerangan secara damai
171. Menyeru secara damai
172. Menghalangi secara damai
173. Menduduki secara damai

Perlawanan Sosial
174. Membentuk tatanan sosial baru tandingan
175. Mengggunakan fasilitas umum berlebihan
176. Mengulur-ulur waktu
177. Mogok omong
178. Pertunjukan teater pemberontakan
179. Membentuk lembaga tandingan
180. Membangun jaringan komunikasi tandingan

Perlawanan Ekonomis
181. Mogok kerja
182. Mogok di tempat
183. Menduduki suatu tempat secara damai
184. Memblokade barang
185. Pemalsuan dengan motif politik
186. Pembelian gelap
187. Pengakuan sejumlah kekayaan
188. Membuang persediaan barang
189. Mengikuti secara terbatas
190. Menciptakan jaringan pasar alternatif
191. Menciptakan alat angkut alternatif
192. Menjalin lembaga-lembaga ekonomi tandingan

Perlawanan Politis
193. Membebani sistem pelayanan umum dengan tugas berlebihan
194. Menyembunyikan identitas dari dari mata polisi dan tentara
195. Pembangkangan sosial terhadap hukum yang tidak memihak
196. Menjunjungi orang hukuman
197. Menolak total kerjasama/bantuan apapun
198. Menolak patuh tanpa harus berontak dengan kekerasan
Powered By Blogger